
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tanggal 14 Juli diperingati sebagai hari pajak di Indonesia. Kata pajak pertama kali disebut oleh Radjiman Wedyodiningrat dalam sidang BPUPKI, yang kemudian dituangkan pada Rancangan Undang-Undang Kedua pada tanggal 14 Juli 1945.
Pada Pasal 23 RUU tersebut, disebutkan “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang.”. Sejak saat itu, pajak menjadi pasal penting dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan menjadi sumber penerimaan utama bagi negara Indonesia.
Advertisement
Menteri keuangan Indonesia, Sri Mulyani menyampaikan tax ratio Indonesia pada triwulan III tahun 2024 masih berada pada presentase 10,02% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka tersebut belum mencapai angka tax ratio ideal yaitu pada kisaran 11,5% sampai dengan 15%. Hal ini berarti, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance), salah satunya melalui upaya membangun kesadaran pajak.
Kesadaran pajak merupakan pemahaman dan pengakuan Wajib Pajak mengenai pentingnya pajak bagi keberlangsungan negara. Semua kemudahan akses transportasi, keamanan daerah, keamanan negara dari konflik dan kriminalitas.
Fasilitas kesehatan dan pendidikan negeri yang menjadi hak bagi rakyat Indonesia dikelola dan dibangun dari APBN. Masyarakat mendapat hak menikmati semua itu, tetapi tidak seluruhnya menyadari bahwa tulang punggung APBN kita adalah pajak.
Beberapa pihak bertindak sebagai free rider atau penumpang gelap, yakni pihak yang mendapatkan manfaat dari suatu hal tanpa berkontribusi atau membayar untuk itu. Kita tidak sedang membicarakan orang-orang yang memang diatur tidak memiliki kewajiban pajak karena tidak memenuhi aspek obyektif pajak. Tetapi, berapa banyak orang dan/atau pihak yang seharusnya memiliki kewajiban membayar pajak tapi lalai atau sengaja tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Sementara, hampir semua aktivitas kesehariannya memanfaatkan manfaat dari pembayaran pajak. Subsidi listrik, subsidi bahan bakar minyak dan gas, fasilitas umum, keamanan dari kriminalitas adalah beberapa manfaat lain yang dia peroleh secara ‘cuma-cuma’ dari kontribusi pajak orang lain.
Hari pajak selayaknya bisa menjadi momentum refleksi bagi kita, bahwa negara ini berdiri dan bertahan sampai dengan saat ini karena ada pihak-pihak yang masih peduli dan sadar melaksanakan kewajiban pajaknya.
Kita bisa membayangkan jika semua orang memilih tidak acuh dengan pajak dan negara ini hanya mengandalkan penerimaan negara dari bukan pajak saja, kekacauan barangkali akan terjadi di mana-mana. Negara bisa saja mengalami kebangkrutan yang akan mengancam kedaulatan negara karena tidak mampu membiayai pertahanan dan keamanan negara.
Jika terjadi, apakah kita akan merasa ini adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara ataukah kita hanya akan menjadi pihak yang sibuk menyalahkan pemerintah sebagai penyebab kegagalan penyelenggaraan pemerintahan?
Indonesia adalah negara kepulauan besar dan jumlah penduduk yang banyak yang tentu tidak mudah bagi pemerintah melakukan pengelolaan sebagaimana negara dengan wilayah yang lebih kecil dan penduduk yang lebih sedikit.
Tapi, dengan kebesaran negara kita, kita memiliki asas gotong royong yang selayaknya menjadi kekuatan bagi kita. Kita menjunjung tinggi asas gotong royong, tapi sering lupa bahwa membayar pajak adalah bagian dari implementasi gotong royong dalam kehidupan bernegara.
Upaya membangun kesadaran pajak tidak bisa dilakukan dari satu sisi, tidak akan berhasil hanya dari keyakinan masyarakat bahwa membayar pajak adalah penting bagi keberlangsungan negara.
Masyarakat juga perlu dibuat yakin dan percaya bahwa pemerintah mengelola dengan baik pajak yang mereka setorkan dan mampu menjadi sarana redistribusi penghasilan dari orang kaya kepada masyarakat kurang mampu.
Membangun kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah tidak menyalahgunakan pajak untuk kepentingan pribadi maupun segelintir golongan.
Refleksi hari pajak hendaknya menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari orang miskin hingga orang kaya. Semua lapisan masyarakat perlu menyadari bahwa pajak adalah sarana redistribusi penghasilan agar tidak ada kesenjangan ekonomi dan kesenjangan akses akan hak memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak.
Orang kaya menyadari bahwa membayar pajak adalah bentuk tanggung jawab sosial mereka sebagai orang yang diberikan priviledge ekonomi kepada orang yang tidak memiliki itu.
Orang yang menerima manfaat menyadari bahwa seluruh fasilitas yang mereka terima adalah hasil gotong royong dari rakyat untuk rakyat, sehingga kita mempunyai rasa memiliki untuk menjaga, merawat, dan tidak menyalahgunakan pajak yang sudah masyarakat setorkan.
***
*) Oleh : Arifah Nurwijayanti, Penyuluh Pajak Ahli Pertama.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |