Wapres Gibran dan Misi Percepatan Pembangunan Papua: Antara Harapan dan Tantangan

TIMESINDONESIA, MALANG – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini menjadi sorotan setelah muncul kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto memberikan penugasan khusus kepada dirinya untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.
Banyak yang menilai ini sebagai langkah politis atau bahkan strategis dari Istana. Namun, klarifikasi dari pemerintah menyebutkan bahwa penugasan tersebut bukanlah mandat baru dari Presiden, melainkan amanat resmi dari Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Advertisement
Dalam UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, disebutkan secara jelas bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan sebagai Ketua Badan Percepatan Pembangunan Otsus Papua. Dengan demikian, kehadiran Gibran di garis depan urusan Papua adalah bentuk pelaksanaan amanah konstitusional, bukan kehendak politik sepihak.
Badan Percepatan Pembangunan Papua ini memiliki struktur besar dan lintas sektor. Dalam susunannya, selain Wakil Presiden sebagai ketua, turut terlibat Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, serta wakil dari setiap provinsi di tanah Papua. Tugas utamanya adalah melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi terhadap pelaksanaan Otsus yang selama ini dinilai belum maksimal.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Sebagai ketua badan tersebut, Gibran mengemban tanggung jawab besar. Ia diharapkan mampu menjembatani berbagai kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan dasar, serta menekan konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini kerap mewarnai Papua.
Dalam pernyataannya, Gibran menyatakan kesiapannya menjalankan peran ini, melanjutkan jejak Wapres Ma’ruf Amin yang juga pernah berkantor di Papua dalam konteks tugas serupa.
Menariknya, beberapa laporan menyebut bahwa akan ada kantor khusus Wapres di Papua, yang akan difungsikan sebagai pusat koordinasi kerja percepatan pembangunan. Namun, hal ini diklarifikasi lebih lanjut bahwa Gibran tidak akan “berkantor tetap” di Papua, melainkan hadir secara periodik. Sementara itu, sekretariat badan percepatan memang akan berkedudukan di Papua, sesuai amanat UU.
Langkah ini menuai beragam respons dari publik dan elite politik. Di satu sisi, banyak yang menyambut baik kehadiran Gibran sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menangani Papua secara lebih komprehensif. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang mempertanyakan efektivitas penugasan ini. Politisi dari PDIP, misalnya, menyuarakan kekhawatiran bahwa penugasan ini bisa menjadi “tambahan beban” yang justru kontraproduktif, jika tidak dibarengi dengan strategi kerja nyata dan terukur.
Tantangan Gibran dalam menjalankan peran ini memang tidak ringan. Papua bukan sekadar wilayah tertinggal, melainkan daerah dengan kompleksitas tinggi—baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun kultural. Pendekatan yang dibutuhkan tidak cukup hanya berbasis pembangunan fisik, tetapi juga harus menyentuh aspek sosial dan kemanusiaan. Banyak suara dari tokoh adat dan masyarakat sipil Papua yang menuntut pendekatan dialogis dan partisipatif, bukan sekadar proyek pembangunan dari atas ke bawah.
Dalam konteks ini, tugas Gibran mengandung dua sisi: sebagai penggerak percepatan pembangunan, dan sebagai simbol representasi negara dalam menjawab aspirasi masyarakat Papua yang selama ini merasa terpinggirkan. Keberhasilan atau kegagalan badan ini akan sangat memengaruhi citra pemerintah secara keseluruhan, dan tentu saja menjadi sorotan dalam rekam jejak politik Gibran sebagai Wapres muda.
Dari sudut pandang penulis, penempatan Wapres Gibran sebagai ketua Badan Percepatan Pembangunan Otsus Papua adalah alarm penting—sebuah ujian awal untuk menunjukkan kualitas dan kinerjanya sebagai Wakil Presiden.
Apakah Gibran mampu menjawab tantangan di Papua dengan pendekatan baru yang lebih inklusif dan berkeadilan? Apakah ia dapat melampaui anggapan sinis bahwa posisinya hanya simbolik? Waktu dan hasil konkret akan menjawabnya. Namun yang pasti, tugas ini bukan sekadar beban, melainkan kesempatan emas untuk mencatatkan warisan positif bagi bangsa—dimulai dari timur Indonesia. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |