Kopi TIMES

Menanamkan Digital Mindset ASN melalui Learning Organization

Kamis, 17 Juli 2025 - 11:38 | 10.99k
Akbar Faris Rama Hunafa, S.Tr. Pas., Mahasiswa Pascasarjana IPDN.
Akbar Faris Rama Hunafa, S.Tr. Pas., Mahasiswa Pascasarjana IPDN.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAWA BARAT – Di tengah era disrupsi digital yang berlangsung cepat dan kerap tak terduga, kualitas birokrasi tidak lagi diukur dari seberapa besar kewenangan yang dimiliki, melainkan seberapa cepat dan adaptif birokrasi tersebut dalam merespons perubahan. 

Dalam konteks ini, menanamkan digital mindset bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan.

Advertisement

Jika ASN tidak siap secara mental dan kompetensi digital, maka bukan hanya akan tertinggal, tapi juga dapat menjadi hambatan serius dalam proses transformasi pemerintahan digital yang tengah digencarkan oleh negara. Transformasi ini menuntut kesiapan menyeluruh, mulai dari regulasi hingga pola pikir para penggerak utamanya.

Secara normatif, arah transformasi digital ASN telah ditegaskan dalam sejumlah regulasi strategis. Misalnya, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang mengedepankan budaya kerja berbasis teknologi informasi. 

Kemudian, Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 secara eksplisit menekankan pengembangan kompetensi ASN secara berkelanjutan, termasuk penguasaan teknologi digital dan kemampuan berpikir adaptif.

Namun, regulasi yang progresif tidak akan efektif tanpa perubahan budaya kerja yang mendasar. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa baru sekitar 30% ASN yang memiliki digital mindset yang memadai, sementara sisanya masih perlu banyak berbenah dalam hal pemahaman dan keterampilan digital.

Kondisi ini selaras dengan temuan E-Government Survey 2022 yang dirilis United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). Dalam survei tersebut, Indonesia berada di peringkat 77 dari 193 negara dalam implementasi SPBE. 

Jurang antara kebijakan dan kesiapan sumber daya manusia tampak jelas. Dan kesenjangan ini tidak akan tertutup hanya dengan pelatihan teknis jangka pendek atau pengadaan perangkat lunak mutakhir.

Di sinilah konsep Learning Organization yang diperkenalkan oleh Peter Senge dalam The Fifth Discipline menjadi sangat relevan. Menurut Senge, organisasi yang ingin bertahan di tengah perubahan cepat harus menjadi organisasi pembelajar, yaitu organisasi yang mampu terus belajar dan meningkatkan kapasitas kolektifnya.

Senge menguraikan lima disiplin utama dalam organisasi pembelajar: personal mastery, mental models, shared vision, team learning, dan systems thinking. Kelima pilar ini sangat kontekstual bagi birokrasi modern.

Sebagai contoh, personal mastery mendorong ASN untuk secara aktif dan terus menerus mengembangkan kompetensi termasuk di bidang digital. Mental models mengajak ASN meninjau ulang pola pikir lama yang mungkin sudah usang. 

Shared vision membantu membangun kesatuan arah menuju birokrasi yang modern dan adaptif. Team learning membuka ruang kolaborasi lintas sektor yang sangat penting dalam proyek transformasi digital, dan terakhir systems thinking memberi kemampuan ASN untuk melihat keterkaitan antar kebijakan dan bekerja secara holistik.

Beberapa kementerian telah mulai menerapkan pendekatan ini. Kementerian Keuangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, tidak hanya menyediakan pelatihan teknis, tetapi juga membangun ekosistem belajar yang kolaboratif, eksperimental, dan reflektif. 

Hal ini sejalan dengan studi McKinsey (2022) yang menunjukkan bahwa organisasi sektor publik yang memiliki budaya belajar yang kuat cenderung lebih cepat mengadopsi teknologi baru dan mengalami peningkatan kepuasan publik hingga 30 persen lebih tinggi.

Meski demikian, mengadopsi digital mindset melalui pendekatan learning organization tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan keberanian para pemimpin birokrasi untuk membuka ruang partisipasi, menerima kritik, dan merangkul kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Sayangnya, tidak semua pimpinan siap meninggalkan budaya hierarkis yang tertutup.

Perlu disadari bahwa membangun digital mindset bukan proyek jangka pendek. Ia merupakan investasi jangka panjang yang menuntut kesabaran, konsistensi, dan keteladanan.

ASN hari ini bukan lagi sekadar pelaksana administratif, melainkan aktor perubahan (agent of change) yang menentukan arah masa depan birokrasi.

Jika Indonesia ingin menjadi negara digital yang tangguh, maka transformasi birokrasi tidak bisa ditunda. Ia harus dimulai dari yang paling mendasar: perubahan mindset, perubahan cara belajar, dan perubahan budaya kerja ASN. Dan semua itu, seperti kata pepatah, harus dimulai dari diri sendiri sekarang juga.

***

*) Oleh : Akbar Faris Rama Hunafa, S.Tr. Pas., Mahasiswa Pascasarjana IPDN.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES