Peyoratif Masyarakat terhadap Komunitas Sound Horeg

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Sound horeg sangat fenomenal akhir-akhir ini. Sebagian besar masyarakat awam “menyerang” komunitas yang menyukai hiburan battle sound di Pulau Jawa itu. Di media sosial, informasi seputar sound horeg selalu ramai dikunjungi dan dikomentari, baik komentar positif, negatif, dan moderat. Seolah-olah, dalam konteks sound horeg ini, semua orang banyak menjadi “korban” kebisingan dan kepadatan parade sound system tersebut.
Sejak Pondok Besuk mengeluarkan “fatwa haram” terhadap pelaksanaan sound horeg, khususnya di Jawa Timur, menyusul kemudian dukungan PBNU, MUI, dan himbauan larangan dari Polda Jatim. Mereka ini berada di barisan massa yang mengadu dan merasa dirugikan oleh keberadaan “subkultur” kontemporer sound horeg.
Advertisement
Bahkan tak tanggung-tanggung, dari sudut pandang sains (ilmu pengetahuan), yang dikemukakan oleh kalangan akademisi (UNESA), juga ikut mengomentari fenomena sound horeg ini.
Kaum terpelajar itu memberikan kesimpulan yang lugas: “Sound horeg bukan hanya soal selera musik atau hiburan jalanan. Dari segi agama, hukum, dan sains, aktivitas ini memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan publik, stabilitas sosial, dan ketertiban lingkungan” (UNESA, 19 Juli 2025).
Tidak dapat dipungkiri, memang, keberadaan sound horeg memicu keresahan dan kemarahan warga. Selain suaranya yang “bising”, aktivitas yang dilakukan oleh muda-mudi yang mengikuti parade sound system itu dianggap “amoral” dan dapat mengundang seseorang melakukan “kemaksiatan”.
Misalnya, “jogetan” yang mengiringi dentuman musik, sebagian orang yang mabuk (akibat minum alkohol), cek-cok yang berujung tawuran, dan lain sebagainya.
Peyoratif dalam Perbedaan
Dari pelbagai kanal media yang memuat pendapat tokoh publik, ulama, ahli hukum, aktivis LSM, dan pemerintah tentang sound horeg, saya menemukan ada semacam “penindasan” dalam memandang fenonema budaya masyarakat tersebut.
Penindasan di sini, bukan tindakan yang memperbudak atau melakukan tindak kekerasan, melainkan lebih kepada sudut pandang yang cenderung merendahkan (peyoratif), dan kemudian “menekan” ekspresi kebudayaan massa.
Memang benar, bahwa dalam kebebasan berekspresi, masing-masing dari kita dibatasi oleh hak-hak “yang lain”. Kita, sebagai individu maupun komunitas, memiliki tanggung jawab etis terhadap “yang lain” tersebut.
Sebab, secara sosial, kita adalah makhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan orang lain. Dari kita lahir hingga kita dikebumikan. Mengenai persoalan hak-hak masyarakat ini, saya sepakat.
Tapi, sejauh ini, saya melihat mayoritas masyarakat yang setuju (pro) terhadap keputusan Pondok Besuk, PBNU, MUI, dan Polda Jatim itu cenderung merendahkan komunitas sound horeg. Beragam komentar negatif dan pandangan peyoratif terhadap mereka yang bergelut di dunia sound system menyembul ke permukaan.
Fenomena ini bisa kita jumpai di dua dunia: nyata dan maya. Mereka yang merasa terganggu dan dirugikan oleh keberadaan subkultur sound horeg, secara umum memiliki anggapan ini: sound horeg meresahkan masyarakat dan banyak mudaratnya, oleh karena itu harus dilarang.
Dan suara yang selama ini mereka “pendam”, selang beberapa tahun kemudian, akhirnya berhasil disampaikan. Dimulai dari “gong” yang dibunyikan Kiai Muhib (pengasuh Pondok Besuk), lalu didukung oleh PBNU, MUI, Polda Jatim, dan kaum akademisi, masyarakat yang sudah sejak lama “tidak menyukai” tradisi sound horeg itu akhirnya berbungah hati.
Seakan-akan, perasaan yang hanya disampaikan lewat “rasan-rasan” laten itu, lantas didengar oleh mereka yang memiliki “otoritas” tertentu, seperti: agama, hukum, dan ilmu pengetahuan.
Seyogianya, menurut saya, kita harus memandang polemik sound horeg ini secara jujur dan terbuka. Jujur, bahwa sound horeg itu adalah subkultur, dan terbuka dari sudut pandang yang lain.
Dalam mengatasi persoalan sound horeg ini, menurut saya tidak cukup hanya mengacu pada aduan masyarakat dan fatwa belaka. Apalagi, perspektif yang digunakan itu dilandasi oleh “ketidaksukaan” (dislike) terhadap komunitas dan aktivitas yang dilakukan saat parade sound horeg berlangsung.
Bagi saya, dengan menggunakan sudut pandang “kebencian” dan merendahkan semacam itu, adalah wujud dari “penindasan” interpretatif. Sebab, selain merendahkan “yang lain”, perspektif itu berpotensi “membunuh” subkultur yang menjadi identitas budaya masyarakat tertentu.
Mengenai hal ini, kita perlu memberikan pertanyaan: apakah demikian sikap demokratis itu, dengan cara memarginalisasi dan “menindas” mereka yang berbeda?
Dialog Elemen Masyarakat
Sebagaimana yang telah saya singgung di atas, bahwa untuk mengatasi persoalan sound horeg ini, tidak mungkin hanya melihat dari sisi hukum, agama, dan sains. Kita juga perlu mempertimbangkan sisi-sisi yang lain, seperti kebudayaan, ekonomi, sosial, dan seterusnya.
Jika semua sisi sudah ditelaah dengan baik, langkah yang harus dilakukan adalah mendorong pemerintah membuat kebijakan khusus.
Salah satu caranya ialah dengan menciptakan ruang dialogis antar-elemen masyarakat yang juga menghadirkan pengusaha sound system dan perwakilan komunitas penyelenggara kegiatan sound horeg.
Pihak yang memfasilitasi ruang dialog ini tentu saja pemerintah. Upaya ini dilakukan, selain untuk menampung berbagai aspirasi yang muncul, juga sebagai sarana untuk mendengarkan suara-suara dari pengusaha sound system dan penyelenggara itu.
Kemudian, perspektif yang digunakan dalam ruang dialog tersebut harus memperhatikan aspek-aspek dan sisi-sisi yang selama ini belum dipahami. Dengan membaca persoalan itu secara menyeluruh, diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang “moderat”.
Artinya, pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan dari segi agama, hukum, sains, kebudayaan, ekonomi, sosial, dan seterusnya. Sebab tidak mungkin mengeluarkan kebijakan-kebijakan tanpa dasar dan pertimbangan yang jelas dan komprehensif.
Selain itu, pemerintah juga tidak boleh “berat sebelah” hanya karena banyak aduan dari sebagian besar masyarakat. Sebagai pemimpin dan pemangku kebijakan, pihak pemerintah (eksekutif dan legislatif) harus memandang persoalan ini secara jujur dan adil serta berpijak pada nilai-nilai demokrasi.
Oleh karena itu, kita harus mendorong pemerintah untuk segera melakukan ruang dialog yang benar-benar mampu menjadi lokus penyampaian pendapat dari berbagai pihak (pro dan kontra), sebelum pemerintah memutuskan aturan mengenai sound horeg ini.
Hal ini dilakukan, selain untuk menampung aspirasi masyarakat, juga sebagai sarana untuk mendengarkan dan mempertimbangkan suara-suara dari pengusaha, penyelenggara, dan pencinta sound horeg. Karena bagaimanapun, mereka juga “warga negara” yang harus diperhatikan.
Di sini saya tidak menolak seseorang atau masyarakat menyuarakan pendapat atas keresahan yang mereka alami dari keberadaan sound horeg. Saya juga tidak sedang memerangi kebebasan berpendapat orang-orang yang kontra terhadap komunitas sound horeg. Bukan demikian maksud saya.
Secara sederhana, posisi saya dalam persoalan ini adalah, mencegah “keretakan” sosial yang disebabkan oleh pandangan peyoratif yang “menindas” terhadap komunitas sound horeg yang dianggap “berbeda” oleh mayoritas masyarakat. (*)
***
*) Oleh : Dendy Wahyu Anugrah, Pemuda Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |