
TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan resmi merancang kebijakan baru yang menargetkan aktivitas ekonomi di media sosial sebagai objek pajak mulai tahun 2026. Meski niatnya adalah untuk memperluas basis penerimaan negara dan mengimbangi pertumbuhan ekonomi digital, kebijakan ini justru memantik gelombang kontroversi. Tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan keadilan, proporsionalitas, hingga aspek etika dari kebijakan ini.
Pada dasarnya, yang menjadi sasaran utama adalah content creator, influencer, akun bisnis online, hingga platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan Spotify yang memiliki sistem monetisasi. Pemerintah berdalih bahwa pemajakan ini menyasar mereka yang telah memperoleh penghasilan secara nyata, bukan pengguna biasa. Namun, rumusan kebijakan ini membuka banyak celah pertanyaan yang belum terjawab secara jelas.
Advertisement
Salah satu masalah mendasar dalam rencana ini adalah ketiadaan batasan penghasilan yang jelas. Pemerintah memang menjanjikan bahwa tidak semua kreator akan dikenai pajak, hanya yang penghasilannya melebihi ambang tertentu. Namun, hingga kini belum ada kejelasan berapa nominal ambang tersebut. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa content creator pemula atau pelaku UMKM digital kecil bisa saja terbebani oleh kewajiban administratif yang rumit dan denda yang tidak proporsional.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di saat negara lain berlomba-lomba memfasilitasi kreator lokal sebagai bagian dari kekuatan ekonomi kreatif, kebijakan ini justru berpotensi mematikan inisiatif digital akar rumput yang baru tumbuh.
Bukan hanya soal kewajiban membayar pajak, tetapi juga administrasi yang menyertainya. Kreator konten yang sebagian besar bekerja secara individual kini dihadapkan pada keharusan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menyusun pembukuan, melaporkan penghasilan berkala, hingga kemungkinan ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika melewati ambang tertentu. Tanpa bimbingan dan edukasi yang memadai, hal ini berpotensi menjadi momok birokratis baru yang menghambat pertumbuhan ekosistem digital Indonesia.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah negara terlalu cepat menuntut kontribusi fiskal dari sektor yang masih berkembang, tanpa lebih dulu memastikan infrastrukturnya siap?
Dari sisi etika dan privasi, rencana pemerintah menggunakan teknologi crawling—yakni pemantauan algoritmik atas aktivitas media sosial pengguna—menuai sorotan tajam. Dalam penjelasan Direktorat Jenderal Pajak, pemantauan akan dilakukan terhadap akun-akun yang memperlihatkan gaya hidup mewah atau aktivitas promosi sebagai indikator potensi penghasilan.
Namun, langkah ini dinilai membuka ruang pelanggaran privasi yang besar. Di era di mana ekspresi personal sangat cair dan beragam di media sosial, bagaimana negara dapat memastikan bahwa unggahan seseorang tentang mobil, rumah, atau barang mewah bukan hanya konten visual semata, melainkan benar-benar mewakili penghasilan nyata?
Kekhawatiran ini bukan sekadar teknis, melainkan menyangkut prinsip dasar hubungan negara dan warga: apakah negara memiliki legitimasi moral untuk mengawasi dan menilai kehidupan digital seseorang hanya berdasarkan algoritma?
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan persoalan keadilan. Kreator dengan penghasilan miliaran rupiah mungkin tidak akan keberatan membayar pajak, namun bagaimana dengan pelaku mikro yang hanya mendapatkan ratusan ribu rupiah per bulan dari siaran langsung atau endors kecil? Apakah mereka akan diperlakukan sama dengan platform besar seperti Netflix atau Shopee Live?
Ketiadaan kerangka insentif atau relaksasi pajak untuk pelaku kecil bisa menyebabkan ketimpangan perlakuan. Pemerintah tampaknya masih menempatkan semua pelaku ekonomi digital dalam satu keranjang yang sama, tanpa membedakan skala usaha, model bisnis, dan kapasitasnya dalam menanggung beban fiskal.
Tidak bisa disangkal, pemajakan aktivitas digital adalah keniscayaan. Negara memang membutuhkan penerimaan baru seiring meningkatnya peran ekonomi digital. Namun, cara pendekatan yang terlalu mekanistik dan berorientasi fiskal semata justru berpotensi memicu resistensi dan penurunan partisipasi warga dalam dunia digital.
Yang dibutuhkan bukan sekadar kebijakan pajak, tetapi ekosistem pendukung yang ramah dan inklusif—mulai dari regulasi yang proporsional, sistem pelaporan yang sederhana, hingga edukasi berkelanjutan bagi para pelaku digital. Pemerintah juga perlu membuka ruang diskusi luas dengan komunitas kreator sebelum menerapkan kebijakan ini secara menyeluruh.
Pada akhirnya, semangat untuk menciptakan sistem perpajakan yang modern dan adaptif adalah hal yang patut diapresiasi. Namun, perlu diingat bahwa media sosial bukan hanya ruang bisnis, tetapi juga ruang ekspresi, ruang eksperimen, dan ruang demokratis baru bagi masyarakat. Jangan sampai semangat memajaki malah menjadi alat pemberangus kreativitas dan inovasi.
Jika negara ingin memperluas basis pajak dari sektor digital, maka negara juga harus bersedia memperluas perlindungan dan dukungannya terhadap para pelaku di sektor tersebut. Pajak boleh ditarik, asal tidak membuat ekosistem kreatif kita mati suri.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |