Warung Kacang Ijo Bang Amir Kraksaan Probolinggo, Merawat Ingatan Sejak 1995

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Di tengah riuhnya Jalan Raya Panglima Sudirman, Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jatim, ada satu tempat yang tak sekadar menyajikan bubur kacang ijo. Ia menyuguhkan kenangan, ketenangan, dan sebungkus sejarah yang terus dirawat dengan setia. Namanya Warung Kacang Ijo “Bang Amir”, satu-satunya di Probolinggo yang bertahan sejak 1995 hingga kini.
Berdiri di sisi utara jalan pantura, tepatnya di Kelurahan Patokan, Kecamatan Kraksaan, warung ini tidak pernah berpindah tempat. Bahkan kursi dan meja tuanya masih tetap berdiri, tak diganti, tak dipindah. “Kami menjaga sejarah. Tempat ini tidak akan berubah,” tegas Hafidz Jaedi, penerus warung yang kini setia menjaga bara kecil warisan ayah dan saudaranya.
Advertisement
Warung ini memang bukan sembarang warung. Didirikan oleh Amir Jaedi pada 1995, awalnya merupakan toko buku dan agen koran. Seiring waktu, berubah haluan jadi warung bubur kacang ijo, namun tak meninggalkan ruh lamanya: bacaan. Satu suguhan yang tetap tak tergantikan hingga kini adalah koran pagi yang selalu tersedia di meja pelanggan.
“Kebanyakan pelanggan ke sini tujuannya bukan makan dulu, tapi baca koran. Bisa sampai lima jam duduk di sini,” cerita Hafidz sembari tersenyum mengenang pelanggannya yang datang hampir setiap malam hanya untuk membaca dari awal hingga khatam.
Pelanggan itu, seorang guru SMP, kini sudah uzur dan tak diperbolehkan konsumsi kopi. “Tapi kenangan tentang beliau masih melekat di sini,” tambah Hafidz.
Warung ini menjadi tempat melarungkan lelah dan merawat sunyi, seperti kata Arif, salah satu pelanggan muda. “Kalau ingin menyendiri dalam keramaian, ya ke sini. Sendiri dan tenang,” ujarnya, disambut gelak tawa teman-temannya yang asyik menyeruput kopi di pojok meja kayu.
Menu khasnya sederhana namun legendaris: bubur kacang ijo hangat, berbahan biji kacang hijau, kelapa, kayu manis, jahe dan pandan. Tapi bukan cuma itu. Ada juga kopi arab, kopi jahe, teh jahe, wedang jahe, hingga kopi kapulaga. Dahulu bahkan sempat menyediakan roti maryam makanan khas Arab, namun kini tidak lagi tersedia karena menu itu kini dikelola oleh putra keluarga yang membuka usaha sendiri.
Dulu, bubur kacang ijo di warung ini hanya dibanderol seharga Rp 250, sementara secangkir kopi hanya Rp 50. Kini, harga bubur naik menjadi Rp 6.000, dan kopi Rp 5.000. Kenaikan harga yang sepadan dengan cerita yang disajikan dalam setiap sajian.
Warung Literasi
Warung ini pernah disinggahi Bupati Probolinggo Kolonel CZI Murhadi saat menjabat di periode 1998–2003. Bahkan, tempat ini juga menjadi titik temu para tokoh masyarakat dan sahabat diskusi santai warga Probolinggo. Di sinilah obrolan ngalor-ngidul bisa jadi inspirasi, dan tawa bisa jadi terapi.
Syakib, putra almarhum Bang Amir, sempat melanjutkan usaha ini selama dua tahun setengah setelah wafatnya sang pendiri. Sayang, Syakib juga meninggal dunia. Tongkat estafet lalu diteruskan ke adiknya, Hafidz Jaedi, yang kini menjadi penjaga setia warung ini.
“Pernah ada yang komplain, katanya sekarang sudah era media sosial, ngapain masih nyediain koran? Tapi bagi kami, koran itu identitas. Tidak bisa dipisahkan dari warung ini,” ujar Hafidz mantap.
Tak berlebihan jika warung ini juga disebut sebagai ruang literasi sederhana bagi masyarakat Probolinggo. Di saat banyak tempat umum meninggalkan budaya baca, warung ini justru terus menyuguhkan bacaan sebagai teman setia menikmati sajian. Sebuah bentuk perlawanan sunyi terhadap derasnya arus digital.
Jam bukanya mulai pukul 5 sore hingga 12 malam. Dan pelanggannya tak hanya dari Probolinggo. Dari Surabaya, Bondowoso, hingga Banyuwangi, semua pelanggan yang kebetulan lewat Kraksaan pasti menyempatkan mampir.
“Warung ini bukan cuma tempat makan, tapi tempat mencari inspirasi, menenangkan pikiran, dan membunuh lelah setelah kerja,” tutur Yusuf, pelanggan setia lainnya.
Warung Kacang Ijo Bang Amir adalah saksi perjalanan waktu. Ia bertahan bukan karena kemewahan, tapi karena kehangatan. Bukan karena viral di media sosial, tapi karena kedekatan yang terbangun dari secangkir bubur, selembar koran, dan sepenggal obrolan hangat yang menyejukkan hati.
“Harapan kami, warung ini tetap lestari. Seperti apa adanya. Tanpa perubahan. Karena di sinilah kenangan orang-orang lama masih hidup,” tutup Hafidz dengan nada lirih.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Sholihin Nur |