TIMESINDONESIA, MALANG – Sinar pagi belum sepenuhnya menghangatkan lereng Arjuno saat sosok Chizuru Inoue melintasi garis finis. Pelari asal Jepang itu tersenyum, menyeka keringat di dahinya—bukan karena lelah semata, melainkan rasa puas yang tak mampu ia sembunyikan. Hari itu, ia menuntaskan tantangan pertamanya di Mantra116, ajang lari lintas alam ekstrem yang digelar di Malang Raya, Jawa Timur.
"Halo, saya Chizuru Inoue dari Jepang. Terima kasih," ucapnya hangat, membuka wawancara singkat dengan penuh keramahan. Tak ada nada membanggakan diri, hanya pancaran bahagia dari seseorang yang baru saja melewati medan terjal, kabut pegunungan, dan—mungkin—dirinya sendiri.
Advertisement
Chizuru mengaku belum pernah mendengar soal Mantra116 sebelumnya. Namanya asing, begitu pula jalurnya. Namun sebuah podcast yang dibagikan temannya, Yuta Matsuyama, membukakan rasa ingin tahunya.
“Saya tidak tahu tentang Mantra116 sebelumnya. Tapi Yuta Matsuyama, teman saya, memperkenalkannya lewat podcast,” katanya.
Yuta sendiri bukan nama asing dalam dunia ultra trail run. Tahun lalu ia finis sebagai juara kedua, dan tahun ini, ia berdiri di podium tertinggi sebagai juara pertama kategori 116K.
Berbekal rasa penasaran dan semangat baru, Chizuru akhirnya mendaftar. Dan begitu ia menginjakkan kaki di tanah Jawa Timur, ia tahu bahwa lomba ini akan berbeda dari apa yang pernah ia alami di negaranya.
Antara Gunung, Pilihan, dan Panorama
“Di Jepang tidak banyak lomba seperti ini,” tuturnya, sembari menatap jalur menurun yang baru saja ia lewati. “Jalurnya unik, banyak pilihan kategori, dan ketinggian kumulatifnya berbeda-beda. Saya pikir itu sangat bagus.”
Mantra116 memang terkenal bukan hanya karena medannya yang menantang, tetapi juga karena fleksibilitasnya. Ada berbagai pilihan: dari pemula di 10K hingga penakluk sejati di 116K. Setiap jalur memiliki ciri khasnya, setiap kilometer menyuguhkan wajah lain dari pegunungan Arjuno dan Welirang.
“Orang bisa memilih gunung mana yang ingin mereka daki tahun ini dan tahun depan,” ujar Chizuru, matanya berbinar.
Tapi bukan hanya jalurnya yang membuatnya jatuh hati. Atmosfer lomba, semangat pelari lain, dan sambutan hangat dari warga lokal menjadi pengalaman yang ia sebut "berbeda dan menyenangkan."
Lari Bersama, Lari untuk Diri Sendiri
Ada kebahagiaan tersendiri yang terpancar dari wajah Chizuru saat ia menyebut nama Yuta.
“Ini sangat menyenangkan. Dan saya senang bisa berlari bersama Yuta untuk pertama kalinya di race ini,” katanya.
Bagi Chizuru, lomba ini bukan tentang kecepatan atau persaingan. Ia lebih mirip ziarah: perjalanan untuk menemukan kembali semangat, tubuh, dan keberanian. Hal yang, menurutnya, masih jarang ditemukan dalam format lomba di negaranya.
“Saya pikir event seperti ini lebih dibutuhkan di Jepang. Di sini, saya merasa sangat termotivasi,” ungkapnya.
Sebuah Lomba, Sebuah Makna
Chizuru tak banyak bicara panjang. Namun dari cara ia menjawab, cara ia memandangi lintasan dan menghela napas dalam-dalam, terlihat bahwa lomba ini lebih dari sekadar pencapaian fisik. Ia membawa pulang bukan hanya medali atau cerita untuk teman-teman, tetapi juga sebuah kesadaran: bahwa lintasan alam Indonesia bukan hanya rintangan, tetapi ruang perenungan.
“Sangat menginspirasi,” ucapnya lirih. Tapi makna dari dua kata itu memancar jauh lebih kuat daripada panjangnya kalimat.
Jejak yang Tinggal di Hati
Mantra116 kembali membuktikan dirinya bukan sekadar ajang lomba. Ia adalah ruang bertemunya para petualang lintas benua, para pencari batas, dan mereka yang hanya ingin menemukan kembali dirinya sendiri di tengah pepohonan, kabut, dan tanah pegunungan.
Bagi Chizuru Inoue, ini bukan perlombaan pertamanya. Tapi di Arjuno, ia menemukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mungkin tak pernah ia cari, tapi kini akan terus ia kenang.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.