Pendidikan

Refleksi Akhir Tahun FISIP UB, Politik Indonesia Masih Terpolar

Rabu, 26 Desember 2018 - 15:29 | 78.27k
Refleksi akhir tahun 2018 yang digelar FISIP UB. (FOTO: Imadudin Muhammad/TIMES Indonesia)
Refleksi akhir tahun 2018 yang digelar FISIP UB. (FOTO: Imadudin Muhammad/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Brawijaya (UB) menggelar Refleksi Akhir Tahun 2018 di Ruang Sidang Lantai 7 Gedung B FISIP UB, Rabu (26/12/2018) siang. Refleksi akhir tahun FISIP UB iniimembahas tentang politik Indonesia yang masih Terpolar.

Peneliti FISIP UB, Wawan Sobari menyebutkan selama tahun 2018, banyak fenomena politik yang menyita perhatian masyarakat Indonesia. Data Laboratorium Terpadu Ilmu Sosial Social Data Analytics FISIP UB mencatat banyak perbincangan yang mengarah ke politik di medsos.

Advertisement

"Semua data tersebut membuat polar, atau membagi atas dua bagian kelompok orang yang berkepentingan dan yang berlawanan. Semua mengarah ke politik dan Pilpres 2019 nanti," kata Wawan.

FISIP-UB.jpg

Wawn menyebutkan dalam penelitian ini pihaknya  menganalisis sejumlah fenomena politik yang diperoleh dari media sosial. Mulai dari kicauan twitter tentang reuni akbar 212, program TV Mata Najwa dengan judul ‘Anak Muda Pilih Siapa’, video Rocky Gerung yang menyatakan ‘212 Reuni Akal Sehat’, pelemahan rupiah, kasus penembakan di Papua, kicauan film ‘Hanum dan Rangga, hingga kicauan twitter tentang Jan Ethes. 

"Kami menemukan semua perbincangan itu mengindikasikan adanya Solidaritas, Resistensi dan Simplifikasi (SRS). Kehidupan perdebatan politik nasional yang tampak di permukaan (cyber/netizen) semakin personal mengarahkan pada dua figur yang berkompetisi saat ini," terangnya.

Dosen Politik UB ini juga menambahkan fenemona tersebut, membuat politik identitas kelompok dalam membela kandidat. Kemudian diliput dan direproduksi media menghasilkan polarisasi atau keterbelahan politik.

"Personalisasi ini melahirkan polarisasi politik yang cenderung ekstrim di masyarakat. Dalam kasus ini, figur/tokoh politik menjadi lebih penting daripada kebijakan-kebijakan yang dibuat," katanya.

Keterbelahan menjadi ‘alarm’ bagi penyelenggara pemilu, pemerintah dan aparat keamanan dengan harapan untuk dilakukan rekonsiliasi. Ia pun berharap ini dapat diwujudkan secara teknis melalui upaya-upaya pelibatan, pengakuan, serta reduksi personalisasi politik. 

Sementara itu, Peneliti Pemerintahan FISIP UB, Rachmad Gustomi menyebutkan polarisasi yang terjadi, tidak terlalu buruk. Sebab,  secara tidak langsung memberikan edukasi kepentingan dan membuat masyarakat semakin tinggi dalam berpolitik.

"Saat ini politik Indonesia tengah berada pada fase Rezim Kebenaran. Ini berkaitan dengan hasrat berkuasa golongan atau figur tertentu," katanya.

Ia mencontohkan tentang respon netizen terkait film 'Hanum dan Rangga', dan film 'A Man Call Ahok'. Kemudian, hastag 2019 Ganti Presiden saat Reuni Akbar 212  yang saat itu mencapai 13 persen. Acara yang berlangsung saat itu, sangat positif, dengan diwarnai sholawat, takbir, dan berlangsung damai.

"Rezim kebenaran ini bertingkat. Salah satunya, agama bukan sebagai kebenaran tapi alat untuk membenarkan," katanya.

Sebagai informasi dalam upaya memberikan wawasan kepada masyarakat atas fenomena sosial politik di Indonesia, FISIP UB menyelenggarakan Refleksi Akhir Tahun 2018  dengan tema Membaca Indonesia yang Terpolar. Tiga narasumber dalam kegiatan kali ini adalah Wawan Sobari, Rachmad Gustomi, Yusli Effendi, dan Sukaesi Marianti. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES