Pendidikan

FMIPA dan FH Universitas Brawijaya Sumbang Dua Profesor Baru

Rabu, 25 November 2020 - 14:44 | 85.19k
Dua profesor baru Universitas Brawijaya. (Foto: Humas UB)
Dua profesor baru Universitas Brawijaya. (Foto: Humas UB)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANGUniversitas Brawijaya (UB) menambah deretan profesornya. Hari ini (25/11/2020) ada dua profesor yang dikukuhkan. Masing-masing dari Fakultas MIPA (FMIPA) dan Fakultas Hukum (FH) UB.

Pertama, Dr. Eng. Didik Rahadi Santoso, M.Si., sebagai Profesor aktif ke-23 dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Profesor aktif ke-189 di UB, dan ke-269 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan oleh UB.

Advertisement

Kedua, Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum sebagai Profesor aktif ke 5 dari Fakultas Hukum (FH), Profesor aktif ke-190 dari UB, serta Profesor ke-270 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan UB.

profesor Universitas Brawijaya 2

Keduanya dikukuhkan di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19 ketat. Tamu undangan dibatasi untuk mencegah kerumunan massa.

Dalam paparannya, Didik Rahadi Santoso membawakan naskah pidato ilmiah berjudul Peluang dan Tantangan Pengembangan Sistem Instrumentasi di Era Industri 4.0.

Sebagai disiplin ilmu, instrumentasi merupakan cabang dari ilmu fisika (applied physics) yang membahas metode dan sistem peralatan yang terkait dengan pengukuran atau pengendalian suatu besaran fisis.

Menurutnya, instrumentasi memegang peran yang sangat penting dalam eksperimen-eksperimen ilmiah, pengaturan kerja mesin industri, serta sebagai modul kendali dalam peralatan-peralatan modern lainnya.

"Saat ini teknologi instrumentasi berkembang sangat pesat, baik dalam desain produk maupun terapannya. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan IPTEK secara menyeluruh, khususnya di bidang komponen elektronika serta teknologi informasi dan komunikasi," bebernya.

Didik menilai, teknologi instrumentasi yang berkembang pesat adalah peluang sebagai tantangan bagi peneliti dan industri instrumentasi, khususnya di Indonesia.

Pengembangan produk instrumentasi akan memberikan solusi bagi ketersediaan sistem peralatan untuk menunjang perkembangan IPTEK secara menyeluruh.

Dalam naskah akademik ini dikemukakan beberapa hal terkait dengan kajian desain dan pengembangan produk sistem instrumentasi modern beserta contoh penerapannya.

Pertama adalah Bioelectical Impedance Spectrometer (BIS), yakni sebuah sistem instrumentasi untuk keperluan riset di bidang biofisika.

Kedua adalah sistem instrumentasi untuk monitoring aktivitas gunungapi secara realtime dari jarak jauh.  

"Keberadaan sistem instrumentasi tidak mungkin dipisahkan dalam perkembangan IPTEK modern. Pengembangan sebuah sistem instrumentasi akan memberikan solusi bagi ketersediaan sistem pengukuran atau pengendalian secara menyeluruh," tukasnya.

Didik menjelaskan, usaha pengembangan sistem instrumentasi EIS/BIS dan sistem pemantauan gunungapi yang telah dilakukan, dapat membantu dosen dan mahasiswa khususnya di Jurusan Fisika UB melaksanakan pendidikan dan penelitiannya dengan lebih baik.

Hal ini kata dia terbukti mereka dapat melakukan publikasi ilmiah dengan topik riset terkait. Usaha ini diharapkan juga akan bisa mengurangi ketergantungan nasional terhadap impor peralatan instrumentasi modern.

Sementara itu, Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum mengusung judul pidato ilmiah Peraturan Delegasi di Indonesia: Ide Untuk Membangun Kontrol Preventif terhadap Peraturan Pemerintah.

Pria Kelahiran Bondowoso ini menyampaikan bahwa peraturan delegasi harus dikontrol. Memang, peraturan delegasi diperlukan di negara demokrasi khususnya pada era yang menuntut pelayanan publik dilakukan dengan cepat, efektif, efisien tanpa melanggar hukum.

"Di dunia ini dikenal tiga jenis kontrol, yaitu kontrol parlemen, kontrol yudisial dan  kontrol jenis lainnya," ungkapnya.

Sesuai Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Peraturan Pemerintah (PP) disebut secara eksplisit, dijustifikasi dan diposisikan dengan fungsi untuk menjalankan undang-undang (UU) sebagaimana mestinya dalam Pasal 5 ayat (2) konstitusi di Indonesia. 

Persoalannya, lanjut Fadli, PP hanya dibentuk oleh lembaga eksekutif, padahal berisi delegasi dari UU untuk menangani urusan publik. Sementara tidak ada kontrol yang handal terhadapnya.

Dalam kajiannya, ia menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan filsafati (philosophical approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yang menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, dan dianalisis dengan teknik preskriptif.

"Berdasarkan analisis terhadap kontrol PP dapat disimpulkan bahwa kontrol terhadap PP, masih sebatas kontrol represif," ungkapnya.

Kontrol tersebut melalui pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU ke Mahkamah Agung (MA). "Kontrol represif rawan dan tidak cukup untuk menjamin agar PP tidak eksesif, ultra vires, atau inkonsistensi dengan UU induk," imbuhnya.

"Mengingat kita menganut hierarki peraturan seperti dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), maka materi muatan semua peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan jenisnya," kata Fadli menambahkan.

Dalam konteks demikian, Fadli menilai penting untuk melakukan kontrol preventif. Ia mengusulkan dalam rekomendasinya membentuk kontrol preventif terhadap PP.

Caranya, setelah penyusunan draf rancangan PP rampung, diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menilai atau memberi persetujuan sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah. 

"Untuk itu materi muatan yang akan didelegasikan ke PP telah mulai dipikirkan sejak penyusunan Naskah Akademik suatu RUU. Dengan kontrol preventif tersebut diharapkan validitas PP terjamin: tidak eksesif, ultra vires atau bertentangan dengan UU induk dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, karena materi muatan PP sudah sesuai dengan materi muatan yang didelegasikan oleh UU induknya," urainya.

Kesimpulan yang ia sampaikan, mengingat PP berfungsi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya, maka dalam UU yang mendelegasikan kewenangan telah diatur dengan jelas bentuk dan ruang lingkup yang akan didelegasikan dan diatur dalam PP.

Materi muatan PP hanya mengatur yang didelegasikan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi tingkatannya. PP tidak boleh membentuk badan atau lembaga baru. PP tidak boleh restriktif. PP yang melebihi materi muatan delegasi maka batal demi hukum (van rechtwege nietig, void) karena ditetapkan oleh pejabat atau badan yang tidak berwenang.

"Dalam hal demikian, penting memedomani aturan pendelegasian sesuai dengan Lampiran UU P3. Untuk mencegah supaya PP tidak eksesif, ultra vires, dan inkonistensi dengan UU induknya, maka perlu kontrol dalam sistem (kontrol sistemik)," katanya.

Di Indonesia, sambung Fadli, kontrol terhadap PP masih sebatas kontrol represif melalui pengujian PP ke MA. Kontrol represif masih belum cukup, dan harus dilengkapi dengan kontrol preventif, yang patut dimulai pada waktu pembentukan UU induk dan pada saat penyusunan PP. Salah satu cara untuk melakukan kontrol preventif pada saat penyusunan PP adalah penilaian atau persetujuan dari DPR sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah.

Sebagai informasi, Dr.Eng. Didik Rahadi Santoso, M.Si. lahir di Jombang, 10 Juni 1969. Ia menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Brawijaya, S2 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan S3 di Hiroshima University, Jepang.

Sementara Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum lahir di Bondowoso, 1 April 1965. Ia menyelesaikan Pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Hukum (FH) UB, dan S3 di Universitas Padjadjaran, Bandung.

Prof Fadli lahir dari seorang bapak yang bekerja sebagai petani dan juga seorang ulama yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan. Tiga dari enam anaknya adalah profesor di tiga perguruan tinggi negeri yang berbeda. Termasuk Prof Fadli yang hari ini dikukuhkan jadi Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES