Makna Tradisi Menyambut Ramadan, Ruwahan dan Megengan

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjelang Ramadan 2024 masyarakat akan disibukkan oleh dua hal pokok. Pertama, menyibukkan diri untuk memperbaiki diri, kedua menyibukkan diri untuk menyambut Ramadan dengan penuh suka cita.
Kesibukkan kedua itu biasanya diawali dengan nyekar kepada leluhur lalu selamatan menyambut Ramadhan, seperti Ruwahan atau dalam tradisi lain disebut Megengan. Lalu, apa makna dibalik tradisi tersebut?
Advertisement
Pakar Sastra Lisan Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Sulistyorini, menjelaskan secara gamblang makna di balik tradisi menyambut Ramadan yang tidak pernah dilewatkan masyarakat.
Nyekar makam, Ruwahan, hingga elemen-elemen gastronomi yang melengkapi tradisi tersebut memiliki makna yang saling berkaitan. Dwi meengawali dengan menjelaskan makna dibalik tradisi Ruwahan, atau di tempat lain disebut Megengan.
Dia menjelaskan, Ruwahan adalah tradisi lokal yang dilakukan pada bulan Ruwah (kalender Hijriyah: Sya’ban). Bulan Ruwah adalah bulan ke delapan, tepat sebelum bulan Ramadan (Kalender Jawa: Pasa). Di bulan ini, kegiatan menyambut Ramadan digalakkan, biasanya dengan mengadakan nyekar makam leluhur dan selamatan.
“Apabila ditelusuri dari akar kata, ruwah asalnya dari bahasa Arab yang artinya arwah. Arwah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai roh,” jelas alumnus Doktor Kajian Budaya UNS itu, Sabtu (9/3/2024).
Selanjutnya, Dwi juga menghubungkan pernyatan tersebut dengan kearifan tradisional.
“Kalau orang Jawa, mengaitkan kata Ruwah dengan menggabungkan kata aruh-aruh dan arwah (kerata basa) yang artinya menyapa arwah. Oleh karena itu, cara menyapa arwah dilakukan dengan nyekar ke makam leluhur maupun sanak saudara yang sudah meninggal,” ungkapnya.
Sajian menu ruwahan, apem, ketan, dan kolak dalam takir.
Berikutnya, Dwi juga menjelaskan elemen-elemen gastronomi atau tata boga yang melengkapi tradisi ruwahan. Biasanya masyarakat menyajikan menu utama dalam tradisi ini, yaitu apem, kolak, dan ketan.
Menurut Dwi, makanan-makanan yang tersaji dalam tradisi ruwahan memiliki makna yang begitu adiluhung. Apem, kolak, dan ketan memiliki makna ngraketake ikatan atau mempererat ikatan silaturahmi.
“Ketiga makanan tersebut disajikan dalam takir kecil dari daun pisang,” kata Dwi mengawali penjelasan.
“Ketan yang digunakan untuk selamatan berwarna putih mempunyai makna bersih atau suci dalam memohon pengampunan," tambahnya.
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UM itu juga menjelaskan makna pada makanan apem dan kolak. Permohonan ampun juga didukung dengan sarana suguhan apem. Apem berasaal dari bahasa Arab, yakni Affum; affan; afwan yang memiliki arti maaf atau pengampunan. Lalu memohon ampun dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Allah yang disimbolkan dengan adanya kolak.
“Kolak memiliki akar kata dari bahasa Arab, yakni khalaga yang artinya Yang Menciptakan. Alam diciptakan oleh Allah, oleh karena itu, manusia harus mendekatkan diri kepada Allah untuk memohon ampun atas segala dosa-dosanya,” tambah filolog asal UM itu.
Bulan Ruwah yang dalam kalender Hijriyah adalah Sya’ban dimaknai sebagai bulan kebaikan. Dalam hal ini, berbaik-baik semustinya dilakukan secara seimbang, antara vertikal dan horizontal.
Dalam ajaran Islam dikenal istilah hablum minannas dan hablum minallah. Tradisi ruwahan mengakomodir ajaran tersebut, yakni dengan membagi kebaikan dengan para tetangga melalui selamatan (hablum minannas) dan berbagi kebaikan melalui doa (hablum minallah), yang dalam hal ini dilakukan dengan nyekar, mendoakan leluhur yang sudah meninggal.
Bagi Dwi, tradisi menyambut Ramadan yang penuh lokalistik ini merupakan perpaduan budaya pribumi, sosial, maupun ekonomi. Sebagai misal tradisi nyekar. Nyekar merupakan akulturasi budaya Jawa-Hindu-Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan ketika prosesi nyekar berlangsung. Masyarakat pergi ke makam tidak hanya sekadar menabur bunga, tetapi juga membaca Yasin, Tahlil, dan sejenisnya.
Selain itu, Dwi mengatakan bahwa tradisi nyekar bisa dijadikan sebagai ajang refleksi atau perenungan. Melalui tradisi nyekar, manusia dapat memaknai dari mana ia berasal, dibesarkan oleh siapa, dan akan kembali ke mana. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |