Pendidikan

FISIP UB Gandeng LBM NU Rumuskan Fatwa Hijau Tentang Konservasi Mangrove

Jumat, 09 Agustus 2024 - 11:19 | 21.78k
Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan FISIP UB bekerjasama dengan LBM NU untuk merumuskan fatwa hijau tentang konservasi mangrove. (Foto: Dok Tim Pengabdian Masyarakat FISIP)
Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan FISIP UB bekerjasama dengan LBM NU untuk merumuskan fatwa hijau tentang konservasi mangrove. (Foto: Dok Tim Pengabdian Masyarakat FISIP)

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Mulai 29 Juli 2024 hingga 5 Agustus 2024, tim dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atau FISIP UB mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di pesisir pantai Paciran, Lamongan.

Kegiatan ini bertajuk "Penguatan Fatwa Hijau Nahdlatul Ulama dan Pentingnya Konservasi Hutan Mangrove Berkelanjutan". Acara ini dihadiri oleh para kyai sepuh NU dan kyai muda NU serta para santri di lingkungan pondok pesantren Paciran Lamongan, seperti KH. Abdul Ghony, KH. Abdul Latief, KH. Abdul Madjid, dan Gus Taufik Hidayat sebagai ketua LBM MWC NU Paciran, yang turut memberikan dukungan dan arahan terkait pentingnya konservasi hutan mangrove.

Advertisement

Pengabdian masyarakat tersebut menurut Prof Dr Ali Maksum M.Ag M.Si bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat setempat mengenai urgensi konservasi hutan mangrove.

“Menurut berbagai kajian akademik, hutan mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, habitat berbagai spesies laut, dan penyerap karbon dioksida yang efektif,” ucapnya.

Ali Maksum menambahkan mangrove juga memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, kondisi mangrove di berbagai daerah mengalami kerusakan yang cukup parah disebabkan oleh segelintir keserakahan ulah manusia, termasuk yang terjadi di lingkungan Paciran Lamongan.

Tercatat Hutan mangrove hanya tersisa dua titik yaitu di Desa Kandang Semangkon dan Desa Klayar, dengan kondisi deforestasinya terus meningkat.

Dalam acara pengabdian masyarakat tersebut, tim FISIP Universitas Brawijaya yang terdiri dari Ali Maksum, Moh Anas Kholis, Ahmad Sukron, Shofi Saiful Haqqi, dan Aditya Harwanto merespon kerusakan ekologis dengan mengajukan pertanyaan fundamental kepada LBM MWC NU Lamongan tentang pentingnya konservasi mangrove.

Salah satu yang dipertanyakan oleh Pihak FISIP UB adalah Bagaimana hukum konservasi hutan mangrove di pesisir Pantai Utara Lamongan melalui perspektif Fikih Prioritas manhaj LBM NU Paciran Lamongan di tengah meningkatnya kerusakan ekosistem laut akibat pencemaran limbah industri, limbah pesantren, pemanasan global, meningkatnya abrasi, rusaknya terumbu karang, dan banyaknya reklamasi?

Apalagi posisi konservasi hutan mangrove sangat strategis sebagai basis pencegahan dari berbagai kerusakan ekosistem laut. Bahkan menurut studi yang dilakukan oleh Greenpeace, pada tahun 2050 sebagian besar pesisir di Indonesia akan tenggelam secara permanen dikarenakan pemanasan global yang berdampak terhadap meningkatnya permukaan air laut dan diperparah dengan menurunnya permukaan tanah yang disebabkan oleh arus pembangunan infrastruktur yang masif di daerah pesisir pantai Nusantara.

Konservasi mangrove menurut tim pengabdian Masyarakat Anas Kholish merupakan kebutuhan yang mendesak sekaligus sebagai basis prevensi agar pesisir pantau utara Lamongan tidak mengalami kondisi yang serupa sebagaimana yang terjadi di Semarang dan Pekalongan.

“Kedua kota tersebut tenggelam secara permanen yang diakibatkan meningkatnya permukaan air laut dan menurunnya permukaan daratan sebagai dampak dari arus industrialisasi dan pembangunan infrastruktur yang terus meningkat,” paparnya.

Dari pertanyaan oleh tim dosen FISIP UB tersebut, pihak LBM MWC NU Paciran Lamongan memberikan keputusan hukum terkait konservasi mangrove di Paciran Lamongan dalam bentuk fatwa hijau yang progresif.

Menurut kajian akademik dari turast klasik yang dilakukan oleh tim LBM MWC NU Paciran Lamongan merumuskan bahwa  hukum konservasi mangrove adalah fardlu kifayah. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan fiqih prioritas manhaj LBM NU yang menilai bahwa kemaslahatan konservasi mangrove adalah kemaslahatan jangka panjang yang harus diprioritaskan daripada kemaslahatan jangka pendek untuk mengedapankan kebutuhan ekonomi sesaat.

Pada waktu yang bersamaan konservasi mangrove merupakan kemaslahatan umum yang berkelanjutan yang harus diprioritaskan daripada kemaslahatan khusus yang menguntungkan segelintir pihak pemodal dalam bentuk pembangunan industri-industri yang ada di Lamongan.

Dalam konteks Paciran arus industrialisasi dan reklamasi terus didorong dan mengabaikan isu-isu pelestarian lingkungan seperti konservasi mangrove. Menurut tim LBM MWC NU Paciran Lamongan, jika konservasi mangrove tidak dilakukan, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang berkelanjutan yang akan berdampak negatif pada kehidupan masyarakat dan ekosistem pesisir Paciran Lamongan.

Berdasarkan keputusan fatwa hijau tentang konservasi mangrove tersebut maka LBM MWC NU Paciran Lamongan merekomendasikan kepada pemerintah daerah sebagai konsekuensi hukum fardlu kifayah yang ditetapkan dalam kajian akademik tersebut.

Oleh karena itu NU mendorong pemerintah mulai dari tingkat kabupaten hingga desa untuk menyisihkan anggaran khusus guna konservasi mangrove. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat upaya pelestarian lingkungan dan memberikan dukungan finansial yang diperlukan untuk keberlanjutan program konservasi mangrove.

Menurut Ali Maksum, penting rumusan fatwa hijau ini untuk dijadikan sebagai role-model  bagi ormas islam yang lain.

“Kerjasama FISIP Universitas Brawijaya dengan LBM MWC NU Paciran Lamongan diharapkan menjadi pemantik sekaligus menjadi katalisator gerakan ekologi di masyarakat pesisir Paciran Lamongan melalui fatwa konservasi mangrove,” paparnya.

Ali Maksum mengungkapkan peran NU sebagai ormas Islam terbesar di dunia harus terus didorong untuk bangkit sebagaimana esensi dari nama “Nahdlatul Ulama” yang artinya adalah kebangkitan para ulama dari penetrasi dan kooptasi kolonialisme Belanda dan Inggris kala itu.

“Patronisme kyai yang mereprenstasikan ulama  harus mampu bangkit sebagai intelektual organik untuk merespon problem-problem ekologis yang terus berdiaspora selama ini. Sehingga di titik inilah FISIP Universitas Brawijaya menggandeng NU untuk bergerak bersama sebagai Guardian of Ecology di masyarakat pesisir lamongan,” pungkas Ali Maksum.  

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES