Kala Ujian Nasional Jadi Perdebatan, Antara Motivasi Belajar dan Beban Psikologis

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perdebatan mengenai kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai alat ukur kelulusan kembali mencuat, bahkan menarik perhatian para guru untuk menggelar debat khusus dalam acara Temu Pendidik Nusantara (TPN) XI.
Pada Sabtu (2/11/2024) di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Yayasan Guru Belajar memfasilitasi diskusi ini melalui sesi debat Cerdas Cermat Guru (CCG) dengan mosi “Kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai Alat Ukur Kelulusan Murid.”
Advertisement
Diskusi ini menjadi lebih dari sekadar debat pendidikan. Guru-guru, sebagai saksi dan pelaku di ruang kelas, hadir dengan pandangan berbeda mengenai dampak UN bagi murid.
Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Pandu Ario Bismo, yang juga juri debat, menyatakan, “Guru harus punya kemampuan berpikir kritis dan berani bersuara dalam advokasi kebijakan pendidikan yang lebih baik.”
Ujian Nasional, Motivasi atau Beban?
Tim yang mendukung kembalinya UN menyebut, ditiadakannya ujian ini justru membuat motivasi belajar murid menurun.
“Murid merasa tidak perlu belajar keras, karena mereka tahu akan lulus,” ujar salah satu perwakilan tim pro. Menurut mereka, UN menanamkan daya juang yang penting bagi murid.
Namun, anggapan ini mendapat tanggapan keras dari tim kontra. Andily, guru dari Bandung, mempertanyakan apa yang dimaksud dengan daya juang. Menurutnya, bahwa tekanan UN bisa menyebabkan murid mengalami stres, bahkan depresi.
“Berjuang seperti apa yang diharapkan? Apakah bapak-ibu sepakat murid melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri karena hidup mereka ditentukan oleh UN yang hanya 3 hari itu?” tanyanya.
Para guru di tim kontra menegaskan bahwa pendidikan seharusnya tidak memukul rata kemampuan murid hanya lewat angka. UN dianggap terlalu menitikberatkan aspek kognitif tanpa mempertimbangkan kecerdasan lain yang dimiliki murid.
Mereka menyarankan bahwa penilaian harus lebih holistik, mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan karakter murid, yang tentunya tidak cukup diwakili oleh soal-soal pilihan ganda.
Dampak UN di Sekolah, Juga di Rumah
Bukan hanya di kelas, tekanan UN juga berdampak pada kehidupan di rumah. Nissa, guru dari Kabupaten Rembang, menuturkan bahwa ketakutan tidak lulus UN kerap menimbulkan konflik di rumah.
“Ketika anak tidak lulus UN, rantai tekanan bisa merembet hingga keluarga. Dalam keluarga yang tidak terbagi perannya, ibu bisa saja disalahkan karena dianggap gagal,” ujarnya.
Menurutnya, dalam keluarga di mana tugas domestik masih banyak dibebankan kepada perempuan, ibu sering kali menanggung tekanan lebih besar.
Ketika anak gagal dalam UN, rasa malu dan kekecewaan bisa memicu tindakan emosional dari orang tua, terutama ayah, yang merasa gagal sebagai kepala keluarga.
“Suami yang merasa gagal sebagai kepala keluarga sering melampiaskan kekecewaannya pada istri. Ini adalah dampak psikologis dari UN yang jarang dibicarakan, tapi nyata di lapangan,” ungkap Nissa, yang juga anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang.
Ruang Dialog bagi Kebijakan yang Lebih Berpihak
Yayasan Guru Belajar sebagai penyelenggara berharap bahwa debat seperti ini bisa menginspirasi guru untuk lebih kritis dalam menilai kebijakan pendidikan.
Melalui inisiatif seperti Kampus Guru Cikal dan Cerita Guru Belajar, yayasan ini ingin memastikan bahwa suara guru tidak hanya terdengar, tetapi juga menjadi masukan bagi kebijakan pendidikan yang lebih adil dan holistik. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |