Dosen Ubaya Sebut Naiknya PPN 12 Persen Salah Momentum
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kenaikan PPN 12% yang akan berlaku tahun 2025 memunculkan reaksi kontra dari masyarakat. Pasalnya, kenaikan ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat.
Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya), Aluisius Hery Pratono, Ph.D., menyebut kenaikan ini dilakukan pada momentum yang kurang tepat.
Advertisement
Dosen yang akrab disapa Hery itu mengatakan, bahwa saat ini daya beli masyarakat masih rendah, sementara suku bunga sedang tinggi dan diperparah dengan kenaikan US dollar.
Pertumbuhan ekonomi masih berkisar di angka 5 persen. Sayangnya, bukan didukung oleh sektor manufaktur yang kuat, tetapi didukung oleh sektor konstruksi yang rentan terhadap gelembung ekonomi.
“Padahal, masyarakat juga masih membutuhkan pembiayaan untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Khususnya bagi kaum menengah yang upahnya sedikit di atas UMR. Bagi mereka yang hidup di sektor informal dan tidak punya akses ke pasar uang konvensional terpaksa memilih pinjol (pinjaman online) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” jelasnya, Selasa (26/11/2024).
Selain itu, lanjutnya, kenaikan PPN dilakukan saat daya beli masyarakat belum pulih sejak terjadinya pandemi.
“Saat ini inflasi indonesia cukup rendah. Menurut data BPS, inflasi bulan Oktober 2024 sekitar 1,7% atau masih dalam target Bank Indonesia. Perlu dicatat bahwa rendahnya angka inflasi tidak terlepas dari daya beli masyarakat yang belum pulih sejak terjadinya pandemi,” imbuhnya.
Upaya menurunkan suku bunga ia sebut masih sulit dilakukan karena tekanan pasar uang. Hery menambahkan, rupiah kembali melemah di angka Rp15.900 yang artinya akan ada tekanan inflasi dari barang-barang impor.
Belum lagi akhir tahun akan ada lonjakan permintaan dilanjutkan dengan Ramadan pada beberapa bulan berikutnya.
Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat semakin tidak mampu menjangkau harga barang-barang kebutuhan yang masih mengandalkan impor, termasuk beras, kedelai dan daging.
Hery bisa memahami keputusan pemerintah menaikan PPN tersebut. Pemerintah berusaha menaikan rasio pajak terhadap GDP dari 8,3% pada 2000 menjadi 10,4% pada 2022.
Artinya, ekspansi ekonomi yang dimotori oleh pengeluaran pemerintah pada zaman Jokowi banyak didanai dari pendapatan non pajak, termasuk utang.
"Dengan kata lain, pemerintahan Prabowo tidak mempunyai ruang yang cukup besar untuk melakukan ekspansi dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%," tandasnya.
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Ubaya itupun memberikan saran bagi pengusaha untuk melakukan restrukturisasi pengadaan barang di tahun ini agar beban kenaikan PPN 12% tidak terlalu berat.
Selain itu, pengusaha yang akan melakukan impor disarankan untuk melakukan hedging (beli US dollar untuk tahun depan). Dari sisi pemerintah, Hery menyebut perlu disiapkan beberapa skenario baik untuk masyarakat miskin, usaha mikro, dan usaha kecil. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sholihin Nur |