Kota Kepanjen, Ibukota Kabupaten Malang yang Sarat Sejarah Kerajaan dan Potensi Modern

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejak resmi ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Malang pada 2008 silam, Kecamatan Kepanjen terus tumbuh menjadi kawasan strategis dengan geliat pembangunan yang signifikan di berbagai sektor. Pusat pemerintahan, fasilitas pelayanan publik, hingga geliat industri yang mulai berorientasi pariwisata menjadikan Kepanjen sebagai simpul baru pertumbuhan kawasan selatan Malang.
Ikon kawasan ini salah satunya adalah Stadion Kanjuruhan, yang mulai dibangun sejak tahun 2006 oleh pemerintah pusat. Di sekitarnya, mulai bermunculan hotel dan penginapan sebagai penunjang sektor jasa. Namun, Kepanjen belum sepenuhnya memiliki sentra perbelanjaan modern atau ruang publik yang mewadahi kreativitas anak muda secara representatif.
Advertisement
Di balik pembangunan fisik yang kian masif, tersimpan pula kekayaan sejarah yang masih banyak belum tergali. Jejak masa lalu Kepanjen sebagai kawasan strategis masa kerajaan Hindu-Buddha menjadi catatan penting yang kini coba ditelusuri ulang oleh para pegiat sejarah lokal seperti komunitas Amartya Bhumi Kepanjen.
Salah satu tokohnya, Budi Hartono, menelusuri rekam jejak Kepanjen yang diyakini berada di jalur penting politik dan militer masa lalu. Letaknya yang diapit oleh Gunung Kawi, Gunung Semeru, dan pegunungan Malang Selatan menjadikan wilayah ini kerap terlibat dalam dinamika perebutan kekuasaan antar kerajaan besar, seperti Panjalu dan Janggala—dua kerajaan yang muncul dari pemisahan wilayah oleh Raja Airlangga.
Pembelahan ini disebut dilakukan oleh Mpu Bharada yang menuangkan air kendi hingga menjadi Sungai Brantas. Sungai tersebut kemudian menjadi garis batas kekuasaan antara dua anak Airlangga: Sri Samarawijaya (Panjalu) dan Mapanji Garasakan (Janggala). Perseteruan antar keduanya berlangsung hingga enam dekade, termasuk di wilayah Malang.
Di Dusun Karangkates, Desa Karangkates, Sumberpucung, masih berdiri Arca Ganesha berdiri yang diyakini sebagai penanda batas dan simbol perlindungan wilayah Janggala dari ancaman luar. Wilayah Kepanjen sendiri menjadi penting dalam pertahanan, dibuktikan dengan keberadaan pos pantau di Desa Jenggolo, yang menyisakan peninggalan berupa tembok bata merah dan umpak berukir indah—kemungkinan besar peninggalan kerajaan besar.
“Apakah mungkin hanya sebuah desa memiliki umpak seindah itu? Ini masih menjadi tanda tanya,” kata Budi, pensiunan guru sejarah yang kini aktif mengkaji jejak-jejak sejarah lokal.
Nama Kepanjen sendiri, menurut Budi, kemungkinan berasal dari kata “Panji”—gelar bangsawan atau pemimpin pada zaman kerajaan. Ini merujuk pada hipotesis bahwa Kepanjen pernah menjadi tempat tinggal bangsawan atau pusat musyawarah para pemimpin kerajaan, termasuk kemungkinan keturunan Mapanji Garasakan.
Catatan tertulis seperti Prasasti Turryan dan kitab Pararaton pun menyebut beberapa tempat di Malang selatan seperti Tugaran (Tegaron di Panggungrejo), Taloka (Talok, Turen), dan Turiyyan tapada (Turen), yang menunjukkan kawasan ini aktif dalam sejarah panjang kerajaan Jawa.
Menariknya, Budi juga menyampaikan bahwa cerita populer yang menyebut Kepanjen berasal dari legenda Raden Panji Pulang Jiwo dari Madura, mungkin hanya bagian dari narasi lisan yang belum tentu faktual.
“Kami ingin memperdalam hipotesis yang lebih masuk akal dan berbasis arkeologis,” tandas Budi.
Dengan pesona masa lalu dan geliat masa kini, Kepanjen menyimpan potensi besar bukan hanya sebagai ibukota administratif, tetapi juga sebagai kota sejarah dan budaya yang layak dikembangkan lebih lanjut. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |