BEM Unisla Gelar Sekolah Sosial Politik, Dorong Mahasiswa Peduli Sosial dan Tangguh Berpolitik

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Lamongan (Unisla) melalui Kabinet Kooperatif sukses menyelenggarakan kegiatan Sekolah Sosial Politik bertema "Peduli Kehidupan Sosial, Tangguh dalam Berpolitik".
Kegiatan yang menjadi wadah strategis bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan serta memperkuat literasi sosial dan politik ini berlangsung selama 2 (dua) hari, pada Kamis dan Jumat, 12–13 Juni 2025, bertempat di Auditorium Unisla.
Advertisement
Dengan pendekatan yang menggabungkan teori dan praktik, Sekolah Sosial Politik memberikan ruang dialog yang hidup antara dunia kampus, masyarakat, dan dunia kebijakan publik.
Sekolah Sosial Politik ini merupakan bagian dari program kerja BEM UNISLA untuk meningkatkan literasi dan partisipasi politik mahasiswa, di tengah tantangan sosial-politik yang terus berkembang.
Melalui forum ini, para peserta tidak hanya diajak memahami dinamika politik dari sisi praktis, tetapi juga dari perspektif akademik dan filosofis, terutama dalam konteks nilai-nilai Islam dan kemaslahatan publik.
Sejumlah narasumber dari kalangan akademisi, aktivis, hingga praktisi politik turut hadir sebagai pemateri. Salah satunya, Ja’far Shodiq, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Unisla, yang menyampaikan materi tentang analisis kebijakan publik dalam perspektif teori kemaslahatan Islam (maslahah).
“Setiap kebijakan publik idealnya tidak boleh lepas dari nilai-nilai kemaslahatan. Kesejahteraan rakyat harus menjadi orientasi utama,” ujar Ja’far, Jumat (13/6/2025).
Ia mengutip kaidah ushul fikih klasik "Tasharruf al-imām ‘ala ar-ra’iyati manutun bi al-maslahah", yang bermakna bahwa kebijakan pemerintah terhadap rakyat harus senantiasa mempertimbangkan kemaslahatan.
"Kaidah ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi merupakan dasar filosofis dari sistem pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat," katanya.
Lima Pilar Kemaslahatan dalam Kebijakan Publik
Dalam kesempatan tersebut, Ja’far memaparkan lima pilar utama yang menjadi tolok ukur kemaslahatan dalam merancang kebijakan publik.
Yang pertama, Ja'fare menjelaskan, memelihara Agama (Hifzh al-Din) bahwa kebijakan publik harus mendukung kebebasan beragama dan tidak mengganggu pelaksanaan ibadah umat beragama.
"Kemudian memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs), dimana pemerintah bertanggung jawab menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat, misalnya melalui sistem kesehatan yang adil," ujarnya.
Ketiga memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql), bahwa Pendidikan yang merata dan bebas dari diskriminasi menjadi wujud nyata kebijakan publik yang memelihara akal masyarakat.
Sedangkan, yang keempat Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl) Perlindungan terhadap keluarga, anak-anak, dan generasi muda menjadi aspek penting dalam pembangunan sosial.
"Yang terakhir memelihara Harta (Hifzh al-Mal), kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam harus menjamin distribusi yang adil dan tidak menyengsarakan rakyat," tuturnya.
Dengan menekankan lima prinsip tersebut, Ja’far mengajak peserta untuk melihat kekuasaan bukan sebagai alat dominasi, melainkan instrumen pelayanan bagi masyarakat.
“Ini bukan hanya soal teori politik, tapi tentang bagaimana kita memaknai kepemimpinan, kebijakan, dan keberpihakan secara nyata," Ja’far Shodiq, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Unisla. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |