Pakar UB Soroti Stagnasi Reformasi Hukum Acara Pidana di Indonesia: Negara Lain Sudah Gunakan AI

TIMESINDONESIA, MALANG – Reformasi hukum acara pidana di Indonesia dinilai stagnan dan tertinggal jauh dibanding negara-negara Asia lainnya. Ketika banyak negara mulai menerapkan kecerdasan buatan (AI) dalam proses hukum, Indonesia justru masih berkutat pada perdebatan usang seperti dominasi jaksa (dominus litis) dan perlunya pengawasan yudisial terhadap tindakan paksa.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Fachrizal Afandi, Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI). Ia menilai bahwa Indonesia belum bergerak secara substansial dalam memperbarui sistem hukum acara pidana, baik dalam aspek teknologi maupun perlindungan hak asasi manusia.
Advertisement
“Sementara negara lain sudah membahas penerapan algoritma dan etika AI dalam sistem peradilan, kita masih terjebak dalam diskursus abad ke-20,” ujarnya.
Fachrizal menyoroti bahwa alasan klasik seperti luasnya wilayah Indonesia dan keterbatasan aparat peradilan sering dijadikan dalih untuk menunda perbaikan sistemik. Padahal, reformasi hukum acara pidana sangat mendesak, terutama untuk memperkuat perlindungan hak tersangka, korban, dan kelompok rentan lainnya.
Sebagai perbandingan, India telah memungkinkan laporan polisi (First Information Report) dilakukan secara daring, sidang remand dilakukan secara virtual, dan dokumen perkara diserahkan secara elektronik. Malaysia bahkan mulai menguji penggunaan AI untuk memberikan rekomendasi putusan pidana, sementara Singapura, Australia, dan Hong Kong mengembangkan hukum pembuktian yang lebih akomodatif terhadap korban, termasuk korban kekerasan seksual.
“Reformasi hukum acara tidak cukup hanya dengan revisi pasal-pasal. Ia harus menyentuh sistem, prosedur, pelatihan, hingga distribusi sumber daya,” ujar Fachrizal, menegaskan pentingnya pendekatan menyeluruh dalam reformasi hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam Konferensi Tahunan ke-2 Asian Law Schools Association (ALSA) Criminal Law Chapter yang berlangsung pada 9–10 Juni 2025 di Thammasat University, Bangkok, Thailand. Konferensi ini menghadirkan pakar hukum pidana dari berbagai negara seperti Australia, India, Malaysia, Singapura, dan Thailand untuk mendiskusikan arah reformasi hukum pidana di Asia Pasifik.
Para pembicara dalam forum tersebut menggarisbawahi bahwa integrasi teknologi dalam hukum acara pidana adalah keniscayaan. Namun mereka juga mengingatkan bahwa tanpa pengawasan publik dan standar etika yang kuat, digitalisasi sistem peradilan bisa berujung pada pelanggaran hak asasi, terutama bagi komunitas marginal.
Fachrizal berharap, refleksi dari konferensi ini dapat menjadi pemicu bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan. “Reformasi hukum acara pidana harus berpihak pada keadilan substansial, bukan sekadar kosmetik. Dunia sudah berubah. Hukum pun harus bergerak bersama zaman,” pungkasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |