
TIMESINDONESIA, JAKARTA – TERSEBUTLAH seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu (Suhita: tahun 1429-1447). Ia adalah penguasa Kerajaan Majapahit ke-6. Di era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah yang kemudian dijadikan sebagai bagian wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan.
Salah satu kerajaan yang menjadi takhlukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Bali, Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.
Advertisement
Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu. Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas.
Ratu Majapahit itu pun berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara untuk mengalahkannya.
Siapapun yang berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, maka akan dijadikan suaminya dan diangkat menjadi Adipati Blambangan yang baru. Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet.
Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan (Probolinggo). Ia adalah putera Ki Ajar Pamenger.
Rupanya, Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi kuning (gada yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh Dayun, seorang pemanjat kelapa yang sakti, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menepati janjinya dan menobatkan Jaka Umbaran menjadi Adipati Blambangan yang baru dengan gelar Menak Jinggo. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Wungu menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu tidak lagi tampan akibat pertarungannya dengan Adipati Kebo Marcuet.
Jaka Umbaran alias Menak Jinggo tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Lamaran Menak Jinggo bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah dengannya.
Penolakan itu membuat Menak Jinggo murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Untuk melampiaskan kemarahannya, Menak Jinggo merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit (Perang Paregrek). Tidak hanya itu, Menak Jinggo pun berniat untuk menyerang ibu kota Majapahit. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Menak Jinggo ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun menggelar sayembara kedua.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil mengungguli kesaktian Menak Jinggo. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang Ratu semakin memuncak, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan.
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itupun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun, akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik Menak Jinggo. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Menak Jinggo, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan terpikat melihat ketampanan Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka rahasia kesaktian Menak Jinggo.
Pada malam hari, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka Gada Wesi Kuning saat Menak Jinggo tidur terlelap. Pusaka itu kemudian diberikan kepada Damarwulan. Setelah menguasai senjata itu, Damarwulan pun kembali menantang Menak Jinggo untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Menak Jinggo saat melihat sejata pusakanya ada di tangan Damarwulan. Menak Jinggo-pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Menak Jinggo Adipati Blambangan itu tewas oleh pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada Menak Jinggo untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu. Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu dan mendampinginya menjadi Raja Majapahit bergelar Brawijaya dengan dua pendampingnya Sabdapalon dan Noyogenggong.
Pendahuluan
Membaca Balambangansch Adatrecht karya Dr.Y.W. De Stoppelaar (1927), kita dapat memahami bahwa ternyata yang mendikte sejarah Blambangan harus bermula dari Arya Wiraraja adalah Brandes yang didukung oleh Muhlefenfeld, Stoppelaar, dan sebagainya. Brandes tidak bisa membedakan antara Blambangan dengan Lamajang Tigangjuru-nya Arya Wiraraja.
Juga pendapat Brandes mengenai Bhre Wirabhumi. Kesalahan besarnya adalah menyamakan Mandala Wirabhumi dengan Kerajaan Blambangan, dan Stoppelaar menyamakan Bhre Wirabhumi dengan tokoh Menak Jinggo.
Kita tidak akan pernah menemukan sejarah Blambangan dalam karya mereka. Justru mereka membahas Lamajang Tigangjuru, loncat ke Mandala Wirabhumi dan melompat jauh ke Kabupaten Banyuwangi.
Menelusuri mitos Menak Jinggo merupakan hal yang sangat menarik untuk mengungkap apakah sosok ini tokoh fiktif atau nyata?.
Namanya adalah nama gelar ataukah nama sesungguhnya?, Apakah satu orang atau beberapa orang?. Dan yang paling utama, mengingat tokoh ini sangat diidentikkan dengan Blambangan dan Banyuwangi. Apakah Menak Jinggo berkaitan dengan Blambangan (dalam hal ini Banyuwangi) atau tidak?
Penelusuran ini mengarah kepada sisi politik dimana Blambangan selalu diadu secara paksa melawan Majapahit dan Mataram, termasuk adudomba antara Hindu melawan Islam.
Padahal fakta-fakta prasasti tidak pernah mengatakan adanya hal itu, karena Blambangan saya yakini belum berdiri saat Majapahit ada. Kecuali fanatisme sebagian kecil kita yang di Banyuwangi (sebagaimana orang daerah lain) yang selalu merasa bahwa daerahnya lebih hebat dari daerah lain.
Menganggap bahwa Blambangan baru ada setelah tahun 1400-an bukan berarti menjadikan wilayah Ujung Timur Pulau Jawa ini sebagai tanah tak bertuan di tahun-tahun sebelum itu.
Walau belum ada bukti catatan tertulis, namun peradaban pernah ada di Alas Purwo (Tegaldlimo Banyuwangi), Kendeng Lembu (Glenmore Banyuwangi), Kawah Ijen Banyuwangi, Situs-situs Megalitik di Bondowoso, Jember, dan Situbondo, juga Candi-candi di Jember, Lumajang, dan Probolinggo. Dapat disebutkan beberapa nama seperti Kerajaan Purwacarita dalam Babad Tanah Jawi dan Kerajaan Ijennagari/Tarumpura dalam Suluk Balumbung. Juga nama Sadeng, Ketah, Pakembangan, Patukangan, Lamajang dan sebagainya dalam Negarakertagama yang kesemuanya menggambarkan adanya peradaban tua yang sudah ada sebelum Blambangan ada di wilayah timur Jawa ini.
Seperti Keraton Jogjakarta Hadiningrat yang berdiri diatas reruntuhan Kerajaan Mataram Jawa. Kerajaan Mataram Jawa berdiri diatas reruntuhan Kesultanan Pajang. Kesultanan Pajang berdiri diatas reruntuhan Kerajaan Pengging. Kerajaan Pengging berdiri diatas reruntuhan Mandala Pajang (wilayah Bhre Pajang era Majapahit). Mandala Pajang berdiri diatas reruntuhan Kerajaan Boko/Prambanan. dan seterusnya.
Banyuwangi, Jember, Sitobondo, Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo juga berdiri dari reruntuhan Kerajaan Blambangan. Blambangan berdiri dari reruntuhan Mandala Wirabhumi dan Pakembangan serta Kadipaten Balumbung (era Majapahit). Kadipaten Balumbung dan Mandala Wirabhumi berdiri dari reruntuhan Majapahit Kedhaton Wetan. Majapahit Kedhaton Wetan berdiri dari reruntuhan Kerajaan Lamajang Tigangjuru, dan seterusnya.
Menurut saya, kita tidak perlu memaksakan nama Kerajaan Blambangan sudah ada sejak tahun sekian atau abad sekian. Fakta yang saya dapatkan nama itu benar-benar ada pada tahun 1705 saat Prabu Danurejo membangun ibukota baru di Alas Kebhrukan Muncar yang disebut sebagai Kutharaja Blambangan (situs stinggil, Umpak Songo, dll).
Nama kerajaan pun tidak disebutkan dan jika diyakini Blambangan ada kaitannya dengan Hayam Wuruk, maka kerajaan itu lebih tepat jika disebut Kadipaten Balumbung, seperti tertulis dalam Negarakertagama.
Kita perlu mengingat bagaimana nama Kedhaton Singhasari (ibukota) lebih terkenal sebagai nama keraajaan daripada Tumapel yang merupakan nama sesungguhnya. Demikian pula Kedhaton Blambangan (ibukota) yang lebih popular daripada nama Balumbung.
Asal Mula Nama Blambangan
Nama Blambangan berasal dari kata Pa-lumbu-an. Lumbu di Jawa biasa disebut Talas/Suweg/ Walur/Lateng/Bunga bangkai. Mungkin ini alasannya mengapa Kedhaton Menak Cucu/ Menak Jinggo III di Candi Bang (daerah Wongsorejo) disebut Baluran dari kata Walur dan Ibukota Blambangan di Rogojampi disebut Kutho-Lateng.
Blambangan bisa juga berasal dari kata Pa-lambang-an yang dasarnya adalah Lambang/simbol, yaitu Simbol Dewa Siwa (Lingga-Yoni) yang merujuk pada pendapat bahwa Gunung Semeru/Meru/Mahameru yang ada di wilayah Blambangan dianggap sebagai Kailasa tempat Dewa Siwa beristana. Jadi Mahameru yang merupakan Simbol Siwa itu ada di wilayah Pa-lambang-an yang karenanya kemudian disebut Blambangan.
Nama Ba-Lumbung dapat dilihat di Negarakretagama dalam pupuh XXVIII. Saat itu kunjungan Hayam Wuruk ke daerah timur Majapahit ke suatu daerah yang disebut Patukangan (Panarukan/Situbondo). Di sana raja menerima para mentri Majapahit dari Bali, Madura, dan Ba-lumbung andalannya. Diperkirakan menteri yang ikut hadir di Patukangan mewakili Balumbung adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kepakisan, karena dialah yang diangkat oleh Gajah Mada menjadi Adipati setelah pemberontakan Mpu Nambi berhasil dipadamkan tahun 1318. Kata lumbung disini berarti tempat menyimpan bahan pangan. Artinya, daerah ini adalah negeri subur yang gemah ripah loh jinawi.
Dengan argument tersebut, terungkap fakta tentang Blambangan; bahwa Kerajaan Lamajang Tingangjuru bukan Majapahit Kedhaton Wetan dan bukan pula Blambangan.Kerajaan Wirabhumi bukan Blambangan. Blambangan bukan hanya Banyuwangi. dan Blambangan tidak pernah berperang melawan Majapahit (Trowulan).
Bhre Wirabhumi dan Menak Jinggo
Cerita masyarakat selama ini menyebut bahwa di Blambangan hanya ada Adipati bernama Kebo Marcuet yang mengancam kekuasaan Ratu Majapahit Kencono Wungu (Prabustri Sri Suhita). Lalu sang ratu mengadakan sayembara untuk mengalahkan Kebo Marcuet dan siapa yang bisa mengalahkannya akan diangkat menjadi adipati Blambangan yang baru. Kemudian tampillah Jaka Umbaran yang berhasil mengalahkan Kebo Marcuet dan kemudian Jaka Umbaran diangkat menjadi adipati Blambangan bergelar Menak Jinggo.
Belakangan Adipati Menak Jinggo ingin merebut tahta Majapahit dan memperistri Kencono Wungu. Untuk menolak hal itu, Kencono Wungu mengadakan sayembara kedua. Siapa yang bisa membinasakan Menak Jinggo akan dijadikan suami. Kemudian muncullah tokoh Damarwulan yang sanggup mengalahkan Menak Jinggo.
Selama ini kisah Damarwulan melawan Menak Jinggo hanya kita simak sepotong dari dua kisah diatas. Pertama, Kebo Marcuet dikalahkan Jaka Umbaran alias Menak Jinggo. Kedua, Menak Jinggo dikalahkan Damarwulan. Kita hanya mengingat tentang kisah Damarwulan memenggal kepala Menak Jinggo, tapi kisah Kebo Marcuet justru kita lupakan.
Sekarang mari kita pilah satu persatu; Pertama, tentang Gelar Kebo, adalah gelar bangsawan keturunan raja. Identifikasi tentang tokoh Kebo Marcuet ini identik dengan putera seorang raja, lebih tepatnya putera Prabu Hayam Wuruk.
Kita selama ini hanya mengenalnya sebagai Bhre Wirabhumi, seorang putera Hayam Wuruk dari selir. Karena kurangnya wawasan sejarah, kita pun tidak mengetahui nama siapa nama aslinya. Padahal dalam Prasasti Biluluk diungkapkan bahwa dia bernama Bhattara Rajanatha, jadi inilah nama asli Bhre Wirabhumi.
Selanjutnya, arti kata Bhre dalam nama Bhre Wirabhumi adalah berasal dari kata Bhattara i (Raja di…), artinya Bhre Wirabhumi adalah raja di wilayah Wirabhumi. Atau Wirabhumi atau Bumi/Tanah nya Wira (Arya Wiraraja) tentu adalah daerah Lamajang dan Tigangjuru (Pasadehan/Pasuruan, Banger/Probolinggo, dan Patukangan/Situbondo).
Jadi sudah jelas bahwa Bhre Wirabhumi adalah raja di wilayah Wirabhumi yang mencakup; Lumajang, Pasuruan (timur), Probolinggo, dan Situbondo (barat), dimana Blambangan tidak termasuk di dalamnya.
Sekarang kita sudah mengetahui bahwa raja di Wirabhumi (Bhre Wirabhumi) yang merupakan Kebo, anak raja Hayam Wuruk ini bernama asli Bhattara Rajanatha. Dalam legenda dia disebut sebagai Kebo Marcuet.
Dalam identifikasi ini saya menyamakannya dengan tokoh Bhre Wirabhumi II yaitu Aji Rajanata Dyah Kebo Marcuet dalam Suluk Balumbung. Bhattara memiliki makna sepadan dengan Aji. Disebut Bhre Wirabhumi II karena sebelum bergelar Bhre ada satu tokoh lagi yang menjadi Bhre di Wirabhumi, yakni Negarawardhani, dialah Bhre Wirabhumi I.
Kedua, identifikasi selanjutnya adalah mengenai siapa sosok Jaka Umbaran yang berhasil mengalahkan Kebo Marcuet. Perang antara Jaka Umbaran sebagai panglima perang Majapahit dengan Bhre Wirabhumi II Bhattara Rajanatha Dyah Kebo Marcuet inilah yang dalam Pararaton disebut dengan Paregrek tahun 1402-1406.
Setelah Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha Dyah Kebo Marcuet kalah, maka Jaka Umbaran diangkat sebagai adipati menggantikannya. Disini jelas bahwa Ratu Kenconowungu tidak ingkar janji karena telah mengangkat Jaka Umbaran sebagai raja menggantikan Kebo Marcuet. Setelah menjadi raja yang baru, tokoh Jaka Umbaran yang menang sayembara pada tahun 1406 itu kemudian bergelar Adipati Menak Jinggo.
Jadi jelas bahwa putera Hayam Wuruk yang menjadi Bhre Wirabhumi itu bukanlah Menak Jinggo karena gelar Menak Jinggo diberikan untuk Jaka Umbaran. Artinya, Menak Jinggo bukan putera Hayam Wuruk dari selir. Karena putera raja itu bergelar Kebo, yaitu Kebo Marcuet, dan justru dia-lah yang dikalahkan oleh Jaka Umbaran alias Menak Jinggo.
Dalam sejarah Suluk Balumbung menyebut bahwa tokoh Joko Umbaran ini adalah nama lain dari Raden Gajah yaitu pimpinan pasukan pengawal istana Majapahit. Jabatannya adalah seorang Bra Narapati, karena itu dia juga dikenal sebagai Raden Gajah Narapati. Dia adalah putera dari Bima Sakti Kepakisan, yang dalam Babad Dalem disebut sebagai adipati Pasadehan/ Pasuruan. Maka ketika dia menjadi Bhre Wirabhumi III setelah berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, dia memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayahnya sendiri di Banger/ Probolinggo.
Jaka Umbaran alias Raden Gajah adalah seorang Bra Narapati menjadi Bhre Wirabhumi III dengan ibukota di Banger/Probolinggo bergelar Menak Jinggo.
Memberontak Kepada Majapahit
Saat ini kita tidak melanjutkan pembahasan tentang Kebo Marcuet atau Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha putera Hayam Wuruk. Namun yang sedang kita lacak adalah siapa yang memberontak kepada Majapahit.
Raden Gajah Narapati alias Menak Jinggo, dialah yang mengobarkan perang Banger tahun 1433 karena lamarannya terhadap Kenconowungu ditolak. Saat itu, Majapahit menggelar sayembara kedua dan muncul sosok Damarwulan mengalahkan Menak Jinggo.
Damarwulan adalah putera dari Prabu Wikramawardhana Dyah Gagak Sali dengan selirnya Dyah Aniswari (puteri dari Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha Dyah Kebo Marcuet).
Setelah mengalahkan Menak Jinggo dia tidak menikah dengan Ratu Kenconowungu yang merupakan kakak tiri beda ibu dengannya. Dia diangkat menjadi raja di Palembang. Sejarah mencatatnya sebagai Arya Damar atau Arya Dilah.
Semangat perjuangan Menak Jinggo itulah yang kemudian oleh masyarakat Banger/Probolinggo diabadikan sebagai nama supporter bola mereka. The Lasminggo (Laskar Menak Jinggo) pendukung Persipro (Persatuan Sepakbola Probolinggo).
Menak Jinggo tidak pernah disebut dalam fakta sejarah berdasarkan Prasasti, yang ada justru Sang Muggwing Jinggan yang artinya ‘penguasa di Jinggan’ yaitu sebuah daerah di wilayah Keling/Kediri.
Sang Muggwing Jinggan ini adalah gelar dari Pangeran Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya yang memberontak pada pemerintahan Prabu Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa di Majapahit tahun 1478. Jadi sebutan bahwa Penguasa Jinggan adalah pemberontak itu lebih tepat disematkan pada tokoh Dyah Samarawijaya ini.
Dikaitkan dengan Blambangan
Dari ketiga sumber diatas; baik Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet, dan Bhre Wirabhumi III Jaka Umbaran/Raden Gajah Narapati/Menak Jinggo, maupun Dyah Samarawijaya (Sang Muggwing Jinggan), jelas bahwa ketiganya tidak ada yang berkuasa di Ujung Timur Jawa. Lalu bagaimana bisa Menak Jinggo kemudian dianggap sebagai Raja Blambangan?.
Untuk memutus mata rantai sejarah yang akan diwariskan pada generasi yang akan datang, kompeni memang sengaja memerintahkan tangan-tangan lokal-nya untuk menulis ulang dan menyebarkan sejarah Blambangan yang baru versi mereka. Maka dari itu muncullah kisah-kisah kontroversial tentang Blambangan, dimana ciri khasnya adalah menjadikan Blambangan selalu pada posisi sebagai objek dan cenderung antagonis dalam sejarah daerah-daerah lain yang hanya dibahas secara sekilas.
Pada saat Kompeni memerintahkan penulisan legenda Damarwulan melawan Menak Jinggo menjadi Serat Kanda atau Serat Damarwulan, yang berkuasa di Blambangan saat itu adalah Pangeran Mas Sepuh alias Pangeran Jingga Danuningrat (1736-1764).
Semua mafhum bahwa selama ini kompeni selalu menerapkan politik devidet et impera kepada lawan-lawannya, termasuk kedua tulisan itu juga digunakan untuk mengadudomba antara Jawa dengan Blambangan. Antara orang Mataraman dengan orang Blambangan. Karena itu kemudian kompeni mendeskreditkan penguasa Blambangan dengan tuduhan dan hinaan sebagai seorang raja raksasa tak bermoral berkepala Anjing, kakinya pincang, bicaranya cadel, dan buruk rupa.
Pangeran Jingga Danuningrat dituduh sebagai keturunan Bali yang tak berhak berkuasa di ujung timur Jawa. Pangeran Jingga Danuningrat dituduh keturunan dari pemberontak. Dan Pangeran Jingga Danuningrat dituduh dengan berbagai macam tuduhan yang sangat tidak manusiawi. Kemudian namanya dikait-kaitkan dengan istilah Jinggan dan Jinggo untuk menguatkan kesan kebenaran cerita dalam Serat Kandha atau Serat Damarwulan, bahwa Pangeran Mas Sepuh alias Pangeran Jingga Danuningerat Raja Blambangan yang sedang berkuasa saat mitos ini ditulis adalah sama dengan tokoh Menak Jinggo.
Beredarnya Serat Damarwulan tentu semakin menyudutkan penduduk dan para pejuang Blambangan dalam Perang Bayu 1771-1772 agar kian terpinggir dan dibenci sekaligus ditakuti karena dianggap bukan keturunan manusia.
Adipati Mangkunegara IV Raden Mas Sudira, yang berkuasa tahun 1853-1881 diperintahkan untuk membuat sendratari dengan lakon Damarwulan Menak Jinggo. Setelah Adipati Mangkunegara IV mangkat pada tahun 1881, Belanda menempatkan salah satu puteranya yg bernama Harya Suganda menjadi Bupati Banyuwangi keenam (1881-1888) agar proses penyebaran cerita Menak Jinggo lebih maksimal.
Babad-babad tersebut kemudian sengaja banyak diedarkan pada abad 18 dan 19. Cerita-cerita tutur dibuat dan disebarkan melalui para pendongeng keliling yang dibiayai kompeni.
Setelah Generasi saksi mata banyak yang meninggal, maka muncullah generasi-generasi yang hanya mendengar cerita dari pendongeng keliling yang sengaja disebar kompeni tersebut. Akibatnya muncul banyak versi tentang satu kejadian yang sama dalam Sejarah Blambangan yang di masa kemudian membingungkan generasi anak-cucu. Sejarah Blambangan kini tertutupi oleh mitos dan kental dengan adu domba.
Kompeni Belanda sengaja membuat jurang pemisah atas dasar perbedaan etnis dan agama, serta menumbuhkan perpecahan di masyarakat dengan adudomba atas nama Agama, Suku, dan Daerah.
Padahal jika kita melihat dalam sejarah Blambangan secara lengkap, sebenarnya Blambangan itu tidak asing dengan budaya pluralisme-nya.
Maka Menak Jinggo yang sekarang kita pahami di Banyuwangi ini telah tumpang tindih. Kita harus jeli agar bisa melihat dan membedakan keempat tokoh berikut;
Pertama, yang merupakan putera Hayam Wuruk adalah Bhre Wirabhumi II yaitu Aji Rajanatha Dyah Kebo Mercuet.
Kedua, yang melamar Suhita atau Kenconowungu adalah Bhre Wirabhumi III yaitu Jaka Umbaran alias Raden Gajah Narapati alias Menak Jinggo.
Ketiga, yang berkuasa di Jinggan dan memberontak pada Majapahit adalah Sang Muggwing Jinggan, Pangeran Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya.
Keempat, yang merupakan raja Blambangan adalah Pangeran Mas Sepuh/Pangeran Jingga Danuningrat.
Empat tokoh beda masa dan beda kronologis sejarahnya itu telah dicampur aduk menjadi satu tokoh benama Menak Jinggo dengan segala kebejatan dan keburukan moralnya lalu disematkan sebagai Raja Blambangan oleh lawan politiknya.
Penutup
Selama ini kita menganggap Bhre Wirabhumi II putera Hayam Wuruk adalah sosok Menak Jinggo. Padahal Menak Jinggo yang selama ini kita bela sebenarnya lebih tepat adalah Jaka Umbaran alias Raden Gajah Narapati adalah raja Ywangga atau Banger alias Probolinggo.
Mungkin jika kita mengkultuskan sosok Menak Jinggo sebagai ikon Banyuwangi sangatlah kurang wajar dan tidak logis. karena berdasarkan sejarah atau cerita rakyat dan letak geografis, Menak Jinggo adalah berasal dan meninggal di Probolinggo, bukan di Banyuwangi.
Disamping itu, masyarakat Probolinggo juga membuktikan kecintaan pada rajanya ini dengan mengabadikannya sebagai julukan untuk suporter Persipro yaitu “The Lasminggo” Laskar Menak Jinggo.
Kita sebagai rakyat Banyuwangi, jika tidak jeli akan pemalsuan sejarah oleh Belanda ini kemudian membela habis-habisan sosok Menak Jinggo, raja Wirabhumi III yang justru bertahta di Probolinggo.
Selama ini kita membantah Menak Jinggo yang digambarkan sebagai raksasa, kejam, cadel, buruk rupa, berkepala anjing, pincang, bengis, licik, dengan segala keburukan lainnya, dan membelanya dengan mengatakan bahwa Menak Jinggo adalah sosok yang tampan, gagah perkasa, pemberani, dan setia sehingga layak kita agungkan dan kita bangun patungnya di seantero wilayah untuk membuktikan bahwa Menak Jinggo tidak seperti yang diceritakan selama ini. Tapi sayangnya, yang kita bela dan kita sanjung-sanjung itu ternyata bukanlah raja Blambangan.
Sudah seharusnya kita mempelajari sejarah kita lebih dalam lagi, bukan hanya bermodal katanya dan katanya, tapi berdasarkan sumber yang benar, yang tentu bukan karangan Belanda. Agar kita dapat mengenali siapa saja raja-raja Blambangan dan adakah dalam silsilah raja-raja Blambangan itu sosok bernama Menak Jinggo?.
Sinisme antara Jawa atau Mataraman dengan Blambangan harus diakhiri. Adudomba warisan Belanda itu harus disudahi.
Bagaimanapun akan sangat lucu, karena Belanda yang mengadudomba telah pulang ke negaranya, namun kita dengan setia dan tulus ikhlas tetap melestarikan adudomba nya itu.
Ketika kedua belah pihak sama-sama saling membenci dan mencurigai, maka persatuan di Banyuwangi tidak akan terjadi. Dan jika persatuan tidak terjadi, maka penjajahan gaya baru pun akan terus abadi.(*)
* Penulis : Mas Aji Wirabhumi, Banjoewangie Tempo Doeloe dan Blambangan Kingdom X-Plorer
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |
Sumber | : TIMES Pasuruan |