
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Bagi warga Banyuwangi, Jawa Timur, nama Desa Kradenan, Kecamatan Purwoharjo, pasti sudah tak asing lagi. Tapi tak semua orang tahu, nama yang melekat pada desa ini, 'Kradenan', memiliki sejarah yang kental dengan masa kerajaan Blambangan.
Seperti apa kisahnya, berikut hasil penelusuran para sejarawan muda Bumi Blambangan, yang tergabung dalam Komunitas Blambangan Kingdom Xplorer.
Advertisement
Raden Purawijaya
Sekitar tahun 1760 an, Raja Blambangan, Pangeran Jingga Danuningrat (1736-1763) tengah menghadapi ketidakpercayaan rakyat akibat menjalin kerjasama dengan kompeni Belanda pimpinan Gezaghebber Hendrik Breton yang bermarkas di Surabaya.
Sejak itu, rakyat Blambangan mulai mendukung adik sang raja, Patih Agung Wilis untuk menjadi raja baru menggantikan Jingga Danuningrat. Melihat rasa cinta rakyat terhadap Agung Wilis yang sangat anti Belanda, Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memerintahkan agar sesegera mungkin Blambangan ditaklukkan. Saat itu seluruh kerajaan-kerajaan di Jawa telah takluk kepada Kompeni, dan hanya Blambangan yang masih merdeka.
Untuk melaksanakan perintah itu, Gezaghebber Hendrik Breton memerintahkan Kapten Ferdinand Carel van Hogewitz, penguasa Loji Pasuruan agar bekerjasama dengan Mas Bagus Tepasana untuk menghasut putera mahkota Blambangan, Mas Anom Sutajiwa.
Selanjutnya, karena hasutan Mas Anom Sutajiwa dan Mas Bagus Tepasana, akhirnya Pangeran Jingga Danuningrat memecat Agung Wilis dari jabatan patih di Kerajaan Blambangan. Jabatan yang dulu diemban Agung Wilis kemudian diduduki oleh dua orang putra mahkota yang memiliki kedekatan dengan Kompeni, yakni Mas Anom Sutajiwa sebagai Patih Kiwa yang menangani urusan dalam keraton dan Mas Bagus Sutanegara sebagai Patih Tengen yang menangani urusan luar keraton.
Sementara itu, setelah tidak menjabat Patih Blambangan, Agung Wilis memilih menyepi di Pesisir Manis yang terletak di pantai selatan dan mendirikan pesanggrahan. Kemudian, karena Raja Jingga Danuningrat semakin berhubungan erat dengan kompeni, akhirnya rakyat memilih berbondong-bondong bersatu dengan Agung Wilis di Pesanggrahan (Pesanggaran).
Pada tahun 1763, datang 80 orang prajurit dari Mengwi yang dipimpin Ki Perangalas dan Wayahan Kotang yang menuntut pertanggungjawaban Raja Jingga Danuningrat atas kematian Ranggasatata. Pasukan dari Mengwi segera bergabung dengan para pendukung Agung Wilis yang dipimpin oleh sepupunya, Raden Purawijaya bersama dua senopati; Ki Singagarit dan Ki Balengker.
Karena khawatir akan terjadinya pemberontakan dari pendukung Agung Wilis yang semakin banyak, akhirnya Mas Anom Sutajiwa mengerahkan prajurit Blambangan dari Kutharaja Lateng (Rogojampi) ke Pesanggaran. Mereka bergerak melalui satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Benculuk dengan Desa Grajagan.
Saat pasukan Raden Purawijaya bersama dua senopatinya, Ki Singagarit dan Ki Balengker menyeberangi sungai Setail, mereka berpapasan dengan pasukan Blambangan yang bersenjatakan senapan Kompeni di utara jembatan kayu yang melintang diatas sungai. Disitulah terjadi perang besar yang menewaskan Raden Purawijaya.
Raden Purawijaya adalah putra dari Bagus Dalem Prabayeksa (Ki Tulup Watangan), Lurah Pruwa. Sedangkan Bagus Dalem Prabayeksa sendiri adalah putra Pangeran Mas Arya Gajah Binarong, anak bungsu Bhattara Dalem Susuhunan Prabu Tawangalun II yang berkuasa di Macanputih pada tahun 1655-1691.
Jenazah Raden Purawijaya akhirnya dikebumikan di tempat tersebut dan sejak itu putranya, Mas Jalasutra dan keluarga menetap di sana untuk menjaga makam sang ayah. Daerah itu kemudian berkembang menjadi Desa Ke-Radenan, yaitu tempat keluarga Raden Purawijaya atau tempat terbunuhnya Raden Purawijaya.
Mas Jalasutra
Mas Jalasutra putera Raden Purawijaya juga menorehkan namanya dalam Perang Semesta Blambangan II yang terjadi tahun 1771-1774 di Hutan Bayu, Songgon. Saat itu rakyat Blambangan dipimpin Mas Surawijaya, Sayuwiwit, dan Mas Rempeg Jagapati menghadapi pasukan Kompeni dalam perang besar yang dikenal sebagai Perang Bayu.
Saat itu Rempeg Jagapati menyerukan persatuan kepada seluruh rakyat Blambangan untuk menentang penjajah. Mereka kompak tidak menaati pemerintahan Raden Kertanegara, bupati antek kompeni. Saat itu Mas Jalasutra atau juga dikenal dengan sebutan Ki Jalasutra (bekel Desa Kradenan) ikut serta menggerakkan rakyat Kradenan untuk bergabung bersama Rempeg Jagapati dan para pejuang di hutan Bayu.
Bagaimana nasib Ki Jalasutra selanjutnya tidak dijelaskan, kemungkinan besar Ia ikut gugur bersama para pemimpin perang Bayu lainnya, seperti Rempeg Jagapati yang gugur pada 18 Desember 1771. Perang bersejarah tersebut kini diabadikan sebagai Hari Lahir Kabupaten Banyuwangi. (*)
Oleh: Mas Hidayat Aji Wirabhumi, sejarawan muda Blambangan.
Sumber :
Suluk Balumbung
Babad Tawangalun
Babad Mas Sepuh
Babad Wilis
Babad Bayu
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |