Peristiwa Daerah

Menengok Dampak Kebijakan Sentralisasi Pelayanan Adminduk di Jember

Sabtu, 06 Oktober 2018 - 21:54 | 120.50k
Suasana antrean di Kantor Dispendukcapil Kabupaten Jember. (FOTO: Sofy/TIMES Indonesia)
Suasana antrean di Kantor Dispendukcapil Kabupaten Jember. (FOTO: Sofy/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBERPemkab Jember pada tahun 2018 menerapkan sentralisasi pelayanan adminduk (administrasi kependudukan) di dua tempat, yakni Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil)  dan outet Dispendukcapil di pusat perbelanjaan Roxy Square. Bupati Jember dr Faida beralasan penerapan kebijakan ini untuk menekan praktik pungutan liar (pungli) yang kerap dilakukan petugas di kantor kecamatan, tempat pelayanan ini ada sebelumnya.

Antusias masyarakat dengan kebijakan tersebut amat tinggi. Buktinya, sejak kebijakan itu diterapkan, masyarakat berbondong-bondong  mendatangi kantor Dispendukcapil Kabupaten Jember yang terletak di Jalan Jawa maupun datang ke outlet Dispendukcapil yang dibuka di Roxy Square.

Advertisement

Setiap harinya, sekitar 700 - 1.000 orang mengantre di kedua tempat itu untuk mengurus dokumen kependudukan mulai dari Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP), Surat Kematian, dokumen urusan nikah, dan lainnya.

adminduk-di-Kantor.jpg

Namun, antusias masyarakat tersebut rupanya diikuti dengan banyak keluhan.

Salah seorang warga asal Desa Tamansari, Kecamatan Wuluhan, Eva mengaku berangkat sejak subuh demi mendapatkan nomor antrean awal. Ia memilih outlet pelayanan Dispendukcapil di Roxy Square dengan alasan antrean lebih sedikit dari di Kantor Dispendukcapil Kabupaten Jember

“Setelah datang sama saja,” kata Eva kepada TIMES Indonesia yang menemuinya pada Kamis (4/9/2018) kemarin di outlet Dispendukcapil Kabupaten Jember di Roxy Square.

Datang sejak subuh, Eva baru dilayani sekitar pukul 14.00 WIB. Tidak hanya itu, ia mengaku hampir diinjak saat mengantre nomor antrean.

“Kalau tidak kuat nggak usah ngantre, mending bayar orang saja. Daripada diinjak kayak saya tadi,” ucap perempuan yang bekerja di salah satu bank di Bali itu dengan nada kesal.

adminduk-di-Kantor-a.jpg

Eva mengaku dijanjikan bahwa E-KTP miliknya selesai dua bulan sejak permohonannya masuk ke Dispendukcapil Kabupaten Jember. Hal tersebut amat berbeda dengan informasi yang dia dengar,  bahwa pembuatan E-KTP dapat selesai hanya selama lima menit.

“Lima menit apanya, dua bulan ini,” tandasnya.

Keluhan yang sama juga disampaikan Teguh. Warga asal Gumelar ini harus bolak-balik Kantor Dispendukcapil Kabupaten Jember untuk mengurus KK. Pertama, ia harus balik karena tidak mendapat nomor antrean, “Kedua berkas saya kurang lengkap,” ucap Teguh kepada media ini.

Menurutnya, pelayanan kependudukan yang terpusat di dua tempat sangat membuang-buang waktu. Untuk mengurusi KK kata dia, dirinya harus izin dari tempat kerja. Hal itu membuat uang gaji bulanannya bakal dipotong.

“Sudah gitu untuk ke sini juga pasti butuh ongkos. Apalagi ngantre dari subuh, pulang sore,” pungkasnya.

Di lain pihak, permasalahan terkait antrean Dispendukcapil juga telah dikritik keras oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jember. Sebelumnya, Sekretaris Komisi A DPRD Jember, Lukman Winarno menilai, legislatif sudah berulang kali melayangkan teguran kepada Kepala Dispendukcapil Kabupaten Jember.

Namun, teguran tersebut seakan tidak diperhatikan. Menurutnya, kondisi pelayanan yang ada, jauh dari kata layak karena hampir setiap hari terpantau selalu berjubel oleh masyarakat yang akan mengurus dokumen adminduk.

“Hampir setiap hari kami mendengar keluhan warga terkait pelayanan di Dispendukcapil Jember yang dinilai lambat,” tegasnya.

Pelayanan Publik Ekonomi Biaya Tinggi Hingga Potensi Pasar Gelap

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Jember (Unej) Rahmat Hidayat mengatakan sentralisasi pelayanan adminduk yang tidak mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial masyarakat dapat memunculkan ekonomi biaya tinggi.

“Jika misal warga Silo, harus ke Dispenduk untuk ngurus E-KTP misal atau KK dan pasti itu seharian, dia harus meninggalkan pekerjaan. Itu mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dari suatu kebijakan publik,” kata Rahmat saat ditemui di tempat kerjanya, Jumat (5/9/2018) kemarin.

Ia mengatakan logika memberantas pungli yang menjadi alasan Pemkab Jember boleh saja dibangun. Namun alih-alih memberantas pungli, praktek calo atau yang Rahmat sebut pasar gelap berpotensi muncul karena ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh sebuah kebijakan publik.

“Jika suatu kebijakan publik memicu ekonomi biaya tinggi, masyarakat kemudian akan abai. Akhirnya malah muncul potensi pasar gelap,” ucap Dosen Administrasi Negara itu.

Pemkab Jember kata Rahmat, seharusnya dapat memanfaatkan teknologi atau menggandeng pihak lain untuk meningkatkan mutu pelayanan kependudukannya. Seperti yang saat ini dilakukan Pemkab Banyuwangi yang menggandeng PT Pos Indonesia untuk mempercepat pengiriman obat-obatan ke daerah.

“Kan bisa misal berkas dari masyarakat itu dikirim via pos. Kewenangan petugas kecamatan hanya cukup verifikasi berkas saja kemudian itu dikirim via pos ke Dispendukcapil. Nah ini kan jelas memberantas pungli,” katanya.

Rahmat juga melihat Pemkab Jember tidak konsisten dengan ide sentralisasi pelayanan adminduk. Jika memang pelayanan terpusat kata dia, mengapa ada satu outlet pelayanan di pusat perbelanjaan Roxy Square, “Jika memang ini dinilai efektif, mengapa tidak direplikasi gitu kan. Mengapa harus di mall, harus elit, kan bisa di pasar, atau mobile seperti Samsat,” ucap dia.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Administrasi Unej itu juga menilai bahwa kebijakan sentralisasi pelayanan adminduk di Jember jauh dari semangat desentraliasi yang digagas pemerintah pusat sejak 2000. Padahal desentralisasi kata dia, dicetuskan agar pelayanan publik bisa dekat dengan masyarakat.

“Nah bentuk-bentuk inovasi ini seharusnya muncul di era desentralisasi. Padahal intinya itu mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, lha kalau tidak bisa mendekatkan, berarti gagal menyerap semangat desentraliasi,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam acara peluncuran Gerakan Indonesia Sadar Adminduk  (GISA) pada Agustus 2018 lalu, Bupati Jember dr Faida mengatakan bahwa lambannya pelayanan adminduk, khususnya pengadaan E-KTP kepada masyarakat di Dispendukcapil Kabupaten Jember merupakan imbas dari megakorupsi E-KTP yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Hal itu berdampak pada terbatasnya blanko E-KTP," kata Faida.

Dalam kesempatan tersebut, dia juga mengakui bahwa praktek percaloan maupun pungli masih ada dalam kebijakan sentralisasi pelayanan adminduk di Jember. "Karena itu kami akan menjatuhkan sanksi berat bagi pejabat di lingkungan Pemkab Jember yang terbukti melakukan pungli," tegasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Jember

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES