Pusat Studi Hukum FH UMY Gelar Kajian Pembaharuan Hukum Pidana

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pusat Studi Hukum Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) menggelar kajian tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Kamis (25/7/2019).
Acara bertema "Upaya Membangun KUHP Nasional” ini menghadirkan empat pemateri dengan bahasan yang cukup spesifik dipusatkan di Gedung Ki Bagus Hadikusumo, Ruang Sidang Fakultas Hukum kampus terpadu UMY.
Advertisement
Dosen Hukum Pidana Universitas Atmajaya Yogyakarta, Dr Aloysius Wisnubroto SH mengatakan, tentang asas legalitas materiil. Ia berpendapat bahwa Hukum Pidana Indonesia tetap mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat.
“Asas legalitas materiil ini menandakan bahwa hukum pidana Indonesia tetap mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat, sebagai contoh di daerah Bali yaitu Awik-awik, tidak hanya itu saja, di daerah Aceh juga masih mengadopsi hukum yang hidup di masyarakat sekitar, contohnya Qonun. Sehingga hal tersebutlah yang membuat kami bependapat asas ini tetap harus dipertahankan dalam RUU KUHP agar tercapai kepastian hukum yang adil,” kata Aloysius.
Aloysius menerangkan, ada beberapa poin tentang pembaharuan asas legalitas yang perlu diperhatikan. Diantaranya, mengenai perumusan asas legalitas yang terlalu ketat dipandang sulit untuk mengikuti perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang dinamis. Selain itu, diperlukan formasi yang tepat, setidaknya dimungkinkan analogi secara terbatas yang mensyaratkan adanya alasan umum yang berkualitas.
“Yang terpenting adalah pencantuman ketentuan dimungkinkannya hukum yang hidup dalam masyarakat perlu dikaji secara komprehensif agar tidak menimbulkan suatu hal yang berlebihan dan bersifat kontra produktif,” terang Aloysius.
Dosen Fakultas Hukum UMY, Heri Purwanto mengatakan, perluasan delik kesusilaan perlu disesuaikan. Sebab, kejahatan kesusilaan menjadi kejahatan terhadap tubuh sehingga ancaman hukumannya dibandingkan dengan kejahatan terhadap kesusilaan.
Menurut Heri, ada beberapa catatan kritis terkait delik-delik khusus. Catatan kritis yang dimaksud adalah mengenai diskresi atau kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana akan semakin besar.
"Apalagi ada penyesuaian sanksi hukum pidana pada masing-masing tindak pidana utama yang diatur dalam RKUHP. Serta dengan adanya pengaturan tindak pidana khusus berdampak pada tataran aturan pelaksana yaitu RUU KUHAP yang bisa jadi menimbulkan tumpang tindik kewenangan,” imbuh dosen FH UMY ini. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Rizal Dani |
Sumber | : TIMES Yogyakarta |