Gelisah Urus Tanah Keraton, Ikatan PPAT Undang Panitikismo

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Simpang siur tata cara pengurusan tanah Keraton Yogyakarta, Kadipaten Puro Pakualaman, dan Tanah Desa berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai mulai ada titik terang. Kesimpangsiuran itu mulai terjawab dalam momentum Seminar Nasional Bertema Kupas Tuntas Peran PPAT Dalam Menciptakan Hubungan Hukum atas Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten Setelah Berlakunya Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2022.
Seminar yang diikuti ratusan anggota Ikatan PPAT tersebut diselenggarakan di UC UGM, Selasa (2/8/2022). Hadir sebagai keynote speaker adalah Suyitno, Perwakilan Panitikismo Keraton Yogyakarta mewakili GKR Mangkubumi yang berhalangan hadir. Sedangkan nara sumber yaitu Wakil Penghageng II Tepas Panitikismo KRT Suryo Satriyanto, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Pemda DIY Krido Suprayitno, dan Tri Hartanto dari Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY. Seminar yang digelar Ikatan PPAT Sleman tersebut dipandu oleh Sumendro.
Advertisement
Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Pemda DIY Krido Suprayitno mengatakan, dasar hukum seputar pertanahan yang ada di wilayah DIY mengacu UUD 1945 Pasal 18B ayat 1 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Sebagai turunan UUD 1945 tersebut kemudian terbitlah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan dalam urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya adalah urusan pertanahan.
Selanjutnya, sebagai turunan UU 13 Tahun 2012, Pemda DIY bersama DPRD DIY membuat Perdais Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
“Salah satu dalam Perdais berbunyi bahwa masyarakat atau pihak ketiga yang telah memanfaatkan tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten dapat melanjutkan sepanjang pemanfaatannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tandas Krido.
Dengan adanya Perdais Nomor 1 Tahun 2017, Gubernur DIY kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Kadipaten. Dalam Pergub ini dijelaskan bahwa penggunaan tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten harus mendapatkan serat kekancingan dari Kasultanan dan Kadipaten.
Tak cukup sampai disitu saja, Gubernur DIY juga menerbitkan Pergub Nomor 49 Tahun 2021 tentang Prosedur Permohonan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Juga Keputusan Gubernur DIY Nomor 308/TIM/2021 tentang Pembentukan Tim Verifikasi Penatausahaan Tanah Kasultanah, Tanah Kadipaten, dan Tanah Desa.
“Jadi, jika ada yang memanfaatkan tanah Kasultanan dan Kadipaten tidak ada serat kekancingan, maka jelas perbuatan tersebut melanggar hukum,” tandas mantan Camat Depok, Sleman ini.
Nah, bagaimana dengan pengurusan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang belum berakhir? Krido menerangkan, penetapan Hak Milik kepada Kasultanan atau Kadipaten dapat dilakukan setelah pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai melepaskan tanahnya kepada Kasultanan atau Kadipaten. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat 1.
Maksudnya, pemegang hak milik melepaskan kepemilikan tanah tersebut kepada Kasultanan atau Kadipaten. Sebagai jaminan bahwa tanah tersebut tidak akan dikuasai orang lain maka keraton akan menerbitkan surat ijin sementara yang berlaku satu tahun. Setelah sertifikat Hak Milik Atas Nama Kasultanan atau Kadipaten, baru kemudian pemohon akan mendapatkan Surat Kekancingan yang kemudian digunakan untuk pengurusan HGB di BPN.
“Jadi, HGB dapat diperpanjang setelah HGB habis dan ada pelepasan dari pemohon yang saat ini memanfaatkan tanah tersebut. Selanjutnya, diajukan proses sertifikat atas nama keraton. Baru kemudian setelah sertifikat terbit kemudian dapat diurus HGB,” ungkap Krido.
Wakil Penghageng II Tepas Panitikismo KRT Suryo Satriyanto mengatakan, sejatinya pengurusan HGB dan Hak Pakai Tanah Kasultanan atau Kadipaten cukup mudah. Karena itu, pihaknya minta PPAT dapat ikut menyosialisasikan tata cara dan prosedur pengurusan penggunaan atau pemanfaatan tanah Tanah Kasultanan atau Kadipaten kepada masyarakat.
“Ada banyak tanah Tanah Kasultanan yang diatasnya dibangun untuk tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan pusat ekonomi. Dan perlu diingat, apabila ada tempat ibadah yang menggunakan Tanah Keraton. Maka, tidak perlu mengganti di tempat lain atau tukar guling. Ajukan saja ke Panitikismo tentu nanti akan diproses,” tandas pria yang akrab disapa Adwin ini dalam seminar yang digelar Ikatan PPAT Sleman. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Amar Riyadi |
Publisher | : Rizal Dani |