Peristiwa Daerah

Mengenal Tradisi Jalan Kaki Santri Tremas Berziarah Makam KH Abdul Manan Pacitan

Kamis, 15 September 2022 - 20:18 | 357.78k
Tradisi Santri Tremas berjalan kaki untuk berziarah makam pendahulunya, KH Abdul Manan di Desa Semanten, Kecamatan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Tradisi Santri Tremas berjalan kaki untuk berziarah makam pendahulunya, KH Abdul Manan di Desa Semanten, Kecamatan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Tidak hanya mengaji, santri juga memiliki berbagai kegiatan lain. Seperti tradisi santri Perguruan Islam Pondok Tremas yang berjalan kaki untuk berziarah makam sang pendiri, yakni KH Abdul Manan Dipomenggolo di Desa Semanten, Kecamatan/Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. 

Tradisi ziarah santri Pondok Tremas dengan dengan berjalan kaki itu diperkirakan sudah berjalan sejak satu abad silam. Pertama kali dilakukan pada masa KH Dimyathi bin Abdullah, cucu KH Abdul Manan

Advertisement

Namun, tradisi ziarah makam tersebut nyatanya masih terus dilestarikan oleh para santri Pondok Tremas hingga era kekinian. Jarak dari PIP Tremas menuju pusara KH Abdul Manan sekitar 10 kilometer. Umumnya jika ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 1,5 jam. Biasanya dilakukan setiap hari Kamis dan Jumat. 

Santri-Tremas-2.jpgTiap Kamis dan Jumat para santri PIP Tremas Pacitan berbondong-bondong berziarah di makam KH Abdul Manan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

Kepada TIMES Indonesia, seorang santri Pondok Tremas asal Kecamatan Tegalombo, Syeftyan Afat (23) mengaku punya niatan tersendiri. Antara lain adalah melatih diri untuk prihatin. Sebab, salah satu syarat mendapatkan ilmu dalam nadhom 'alaa laa' adalah laku sabar. 

"Pertama, niatnya pengen prihatin. Salah satunya tirakat jalan kaki ziarah ke makam KH Abdul Manan Semanten. Kedua, belajar sabar. Meski era sekarang sudah dimudahkan dengan fasilitas kendaraan dan angkutan umum. Tetap berlatih untuk menahan diri," katanya, Kamis (15/9/2022). 

Melalui tirakat, menurut Afat, bisa dijadikan cara untuk menghayati falsafah kehidupan. Mulai rasa panas akibat terik matahari, hujan dan apa saja yang ditemui selama perjalanan. Hal itu dilakukan tanpa ada paksaan. Memang sudah mendarah daging. 

"Soalnya lumayan cukup menguras tenaga. Biasanya bareng-bareng, jadi biar ada rasa kepedulian kepada teman. Kami bisa menghayati setiap kejadian. Kan ada orang lalu-lalang, sesekali warga kasih perhatian dengan rasa iba. Jika ada yang butuh bantuan, seketika itu bisa membantu," terangnya. 

Selain mendapatkan fisik yang sehat, dari berjalan kaki pulang-pergi sejauh 20 kilometer tersebut, Afat dan umumnya para santri merasa bersyukur. Hal ini terlepas beredarnya mitos dan anggapan masyarakat setempat. 

"Dari situ, intinya kami bisa belajar syukur. Mensyukuri karunia  Allah SWT. Alhamdulillah masih bisa jalan kaki dan diberi kekuatan. Kalau soal mitos setelah melakukan tirakat dapat apa, saya belum pernah mendengar. Bisa berziarah kepada pendahulu itu hati sudah bahagia. Intinya ikhlas," jelasnya. 

Di samping itu, melalui tradisi jalan kaki untuk berziarah makam KH Abdul Manan, maka tercerminlah kesungguhan dan keihlasan para santri. Sebagaimana yang dicontohkan para pendahulu Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan.

Sejarah Berdirinya Pondok Tremas

Dilansir dari pondoktremas.com, sejarah berdirinya Perguruan Islam “Pondok Tremas” Pacitan tidak lepas dari sejarah pendirinya yaitu KH Abdul Mannan putra R. Ngabehi Dipomenggolo seorang Demang di daerah Semanten pinggiran kota Pacitan. KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap problematika religius. Pada masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari.

Santri-Tremas-3.jpg

Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunan, kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso dalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya.

Setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau.

Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.

Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliau mutasi ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat kondusif bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.

Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut Pondok Tremas. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH Abdul Manan pada tahun 1830 M. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES