Peristiwa Daerah

Ini Tanggapan Dinas Sosial DIY Soal Pendataan Penyandang Difabel Tahun 2022

Jumat, 16 Desember 2022 - 22:05 | 99.64k
Para narasumber dari berbagai instansi maupun lembaga dalam acara Workshop Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Tahun 2022 saat membahas Pendataan Penyandang Disabilitas: antara kebutuhan dan kewenangan. (Foto: Hendro S.B/TIMES Indonesia)    
Para narasumber dari berbagai instansi maupun lembaga dalam acara Workshop Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Tahun 2022 saat membahas Pendataan Penyandang Disabilitas: antara kebutuhan dan kewenangan. (Foto: Hendro S.B/TIMES Indonesia)    
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Difabel dalam pasal 22 disebutkan Hak pendataan untuk Penyandang Difabel meliputi hak didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, mendapatkan dokumen kependudukan serta mendapatkan kartu Penyandang Disabilitas.

Kemudian, lebih lanjut pada pasal 117 Ayat 1 mengamanatkan Penyelenggaraan pendataan terhadap Penyandang Disabilitas dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial secara mandiri atau bersama dengan Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Advertisement

Hal itu tertuang dalam pembahasan Workshop Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Tahun 2022 “Pendataan Penyandang Disabilitas: antara kebutuhan dan kewenangan” yang digelar di Aula Dinas Sosial DIY pada Jumat (16/12/2022).

Penyandang-Difabel-b.jpg

Narasumber yang didapuk pada pembahasan ini antara lain dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Bantul, Ketua Tim Statistik Sosial BPS DIY, Perwakilan Direktorat Sentra Antasena Magelang Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Balai Kemensos RI, Ketua Forkom Difabel DIY, Perwakilan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan Perwakilan Pusat Rehabilitasi Yakkum.

Merujuk pada tema Workshop DTKS Tahun 2022 tersebut yaitu “Urgensi dan Problematika Pendataan Penyandang Disabilitas”, Perwakilan dari Direktorat Sentra Antasena menyebut, saat ini aturan teknis pendataan Penyandang Disabilitas di Kemensos sendiri masih menggunakan Pemensos Nomor Tahun 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).

Dalam lampiran peraturan tersebut juga disebutkan bahwa kriteria jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial atau saat ini disebut Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) kategori Penyandang Disabilitas di antaranya adalah memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan.

“Hal ini dapat mengalami partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya,” ungkapnya.
“Selain itu kriteria ini dalam pelaksanaannya diterjemahkan sebagai ruang lingkup pendataan bahwa PPKS PD terbatas pada mereka yang keberfungsian sosialnya terganggu karena kedisabilitasnya,” lanjutnya.

Di sisi lain, menurut Pemensos No 3 Tahun 2021, PPKS merupakan salah satu komponen dalam DTKS. Dijelaskan bahwa Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI pernah melakukan pendataan terhadap penyandang disabilitas sesuai UU No 8 Tahun 2016 menggunakan SIMPD. Sejauh informasi yang ada di DIY sendiri saat itu pendataan PD diampu oleh 4 orang petugas.

“Tapi saat ini pendataan tersebut terhenti dan belum pasti alasan ketidakberlanjutan pendataan itu,” jelasnya.

Lalu, fakta bahwa berbagai jenis dan kedalaman permasalahan kedisabilitasan erat kaitannya dengan bidang kesehatan di mana diagnosa atau justifikasi ada di luar kapasitas maupun kewenangan bidang sosial. Sehingga untuk melaksanakan pendataan PD sesuai dengan UU No 8 Tahun 2016 yang mengkategorikan PD ke dalam ragam dan jenis kedisabilitasan tentu tak bisa lepas dari diagnosa medis agar diperoleh data yang akurat.

Sementara itu, Ketua Tim Statistik Sosial BPS DIY, Soman Wisnu Darma mengungkap dalam kaitannya dengan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) saat ini justru mengimplementasikan pendataan kelompok rentan menggunakan metode Washington Group Question (WGQ) yang lebih berorientasi kepada identifikasi kebutuhannya.

“Berbeda dengan instrumen BDT dulu yaitu mengidentifikasi PD dengan beberapa jenis kedisabilitasan yang lebih berorientasi pada permasalahannya,” kata Soman.

Soman menambahkan, pada saat ini kaitannya terhadap pemilihan cara pengumpulan data penyandang disabilitas yang dinilai cukup berbeda tersebut tentunya memiliki dasar-dasar yang cukup. Apalagi, DIY telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

“Tentu saja dalam Perda tersebut di dalamnya mengamanatkan Dinas Sosial untuk mengkoordinir pendataan PD,” imbuhnya.

Keefektivitasan Pendataan Penyandang Disabilitas “Top Up” dan “Bottom Up” 
Pendataan penyandang disabilitas melalui pemerintah pusat hingga perangkat-perangkatnya yang mengamanatkan adanya sebuah Undang-Undang beserta turunannya hingga kepada masyarakat yang ditujukan sebagai obyek masuk dalam kategori pendataan “Top Down”.

Top down ini adalah amanah Undang-Undang oleh negara dan rakyat sebagai sebuah obyek.
Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Difabel DIY, Ludy Bima yang juga turut hadir dalam Workshop tersebut menilai bahwa saat ini pendataan bagi penyandang disabilitas masuk dalam kategori top down. Bagi Ludy, jika berbicara mengenai good governance ini maka diharuskan semua pihak harus ikut terlibat secara aktif.

“Ada pemerintah di situ, lalu juga ada masyarakat dan seluruh elemen bangsa Indonesia terutama. Jadi keterlibatannya mereka semua itu masuk dalam kategori top down,” sebutnya.
Sedangkan untuk kategori Bottom Up adalah inisiatif dari masyarakat sendiri untuk bergerak namun tanpa melupakan payung hukumnya.

Dalam diskusi tersebut, Ludy mengusulkan perlu adanya Peraturan Kelurahan untuk penyandang disabilitas. Jadi, menurut penilaiannya ini bahwa kategori Top Down lebih kepada kesepakatan dan persetujuan antara pemerintah dengan masyarakat kemudian untuk Bottom Up yaitu serentak bergerak bersama untuk bangsa dan negara itu.

“Top Down itu menunggu perintah, amanah dari Undang-Undang sedangkan Bottom Up serentak bergerak dari masyarakat. Kedua kategori ini tidak ada bedanya, jadi sama-sama positif sejauh ini,” terang Ludy. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES