Peristiwa Daerah

Kisah Bambu Masjid Apung Pancer Door, Ada Kaitannya dengan Tongkat Ki Ageng Petung Pacitan

Kamis, 06 April 2023 - 00:27 | 222.74k
Salah satu interior bagian atap Masjid Apung yang tengah digarap ternyata berasal dari tongkat Ki Ageng Petung sang babat alas Wonorejoso Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/ TIMES Indonesia)
Salah satu interior bagian atap Masjid Apung yang tengah digarap ternyata berasal dari tongkat Ki Ageng Petung sang babat alas Wonorejoso Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/ TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Bambu yang digunakan di salah satu bagian interior atas Masjid Apung Pancer Door Pacitan, Jawa Timur ternyata berasal dari tongkat seorang sosok legendaris babat alas Wengker Kidul yakni Ki Ageng Petung. 

Soal bambu petung tersebut, dipercaya memiliki filosofi dan nilai yang terkandung di dalamnya. Bukan tanpa alasan, melainkan ada unsur historis, perjalanan sang tokoh hingga peristiwa di masa silam. 

Advertisement

Warga setempat bernama Yudo Tri Kuncoro membenarkan, masjid apung yang beberapa waktu lalu dibangun kembali setelah diterjang banjir itu menggunakan bambu berasal dari Desa Sukoharjo yang konon merupakan tongkat yang ditancapkan oleh tokoh babat alas Wonorejoso, Siti Geseng. 

"Ada empat buah yang diambil dari bambunya Ki Ageng Petung. Bambu itu bukan untuk tiang, tapi ditaruh di bagian atap masjid apung," katanya, Rabu (5/4/2023).

Sejarah Masjid Apung Pancer Door

Diketahui, Masjid Apung ini dibangun sejak tahun 2019. Masjid yang diprakarsai Pimpinan Pondok Tremas KH Fuad Habib Dimyathi itu memiliki magnet tersendiri yang dijadikan sebagai wisata religi di muara Sungai Grindulu.

Secara terpisah, Kepala Dusun Ngerjoso Senoaji (53) menceritakan awal mula kemunculan sosok Ki Ageng Petung pada masa babat alas. Sebelumnya, nama kecil Ki Ageng Petung adalah Raden Cokrojoyo yang bekerja sebagai penderes kelapa. 

Suatu ketika, Raden Cokrojoyo mendapatkan bisikan dari sosok misterius yang tiba-tiba datang di tengah mengambil air nira kelapa sambil bersenandung. Sosok tersebut berpesan, gantilah liriknya dengan Laa Ilaaha Illallah. Ia pun penasaran dan kaget mendengar kalimat asing tersebut. 

"Selesai deres kelapa, lalu diolah menjadi gula merah. Namun betapa kagetnya Raden Cokrojoyo mengetahui nira tersebut berubah menjadi emas. Itu terjadi berulang kali," paparnya. 

Pria yang disapa akrab Seno itu melanjutkan, setelah itu Raden Cokrojoyo bermaksud mencari siapa sosok yang pernah membisikkan kalimat aneh tersebut pada dirinya. Ia pun berpamitan dengan keluarganya guna menemui sosok tersebut. 

"Setelah ketemu, Raden Cokrojoyo berguru kepada sosok tersebut, sebagai syarat diterima sebagai murid ia disuruh bertapa di sebuah hutan," terangnya. 

Setelah sekian lama bertapa, guru tersebut nyaris lupa jika punya murid yang bertapa di tengah hutan Wonorejoso. Karena banyak tumbuhan lebat, akhirnya hutan itu dibakar habis demi menemukan titik awal bertapa sang murid. 

Akhirnya Raden Cokrojoyo ditemukan dalam keadaan gosong atau geseng dalam bahasa Jawa. Meskipun mandi, namun warna kulitnya sama sekali tidak berubah. 

"Dari situlah, Raden Cokrojoyo terkenal beralih nama menjadi Siti Geseng," ujar Seno saat ditemui TIMES Indonesia di kediamannya Jalan Tumenggung Jogokaryo. 

Setelah melalui perjalanan panjang, Siti Geseng melanjutkannya dengan babat alas. Berhubung masih hutan belantara wingit dan angker, akhirnya bertapa di Luweng Sewu di Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung. Sebelumnya ia telah menancapkan sebuah tongkat bambu petung seukuran gagang arit. 

"Tongkatnya gak besar, ukuran gagang arit sedang. Namanya pring petung. Setelah sekian lama bertapa, Siti Geseng pulang ke Wonorejoso dan membabat alas dengan cara membakar seluruh hutan," kata Seno. 

Tiba-tiba, datanglah seseorang bernama Minak Sopal menghampiri Siti Geseng. Siti Geseng saat itu ternyata sudah punya seorang kenalan bernama Maghribi di Duduhan Nanggungan. Lalu Minak Sopal bertanya kepada Siti Geseng, kok kamu sudah sampai di sini? Sudah berapa lama? Apa buktinya? 

"Saya menancapkan tongkat bambu petung yang kini tumbuh menjadi tiga buah. Tempatnya ada di pinggir kali," ucapnya menirukan kisah Siti Geseng. 

Kedua orang tersebut saling berebut lebih lama siapa yang datang di Wonorejoso. Minak Sopal menunjukkan pohon kelapa yang sudah tumbuh tinggi. Namun Siti Geseng tidak kurang akal dan meraih pucuk pohon kelapa tersebut dan ternyata tumbang ke tanah lantaran tidak ada akarnya. 

Diceritakan bahwa Minak Sopal menggunakan ajian sewu untuk memindahkan beberapa pohon kelapa dari Ponorogo kemudian ditanam. 

Ketahuan berbohong, Syekh Maghribi yang memang menyaksikan peristiwa tersebut menamai Minak Sopal Ki Ageng Posong. Sedangkan Siti Geseng diberi nama Ki Ageng Petung. 

Seno menyebut, sampai sekarang wujud asli dari bambu petung tersebut masih menjadi misteri. Banyak orang mencarinya namun belum ada yang berhasil. 

"Bambu Petung yang asli hanya tumbuh tiga saja. Jika tambah satu lagi, pasti mati. Sekarang sudah tumbuh banyak bambu petung di area Ki Ageng Petung menancapkan tongkatnya dulu," jelasnya. 

Demikianlah sepercik cerita asal-usul bambu petung yang digunakan sebagai salah satu interior bangunan Masjid Apung Pancer Door Pacitan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES