Menapaktilasi Jejak Sejarah Mbah Ihsan, Ulama Pejuang dari Kediri

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Perjalanan perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari peran para santri ulama Nusantara. Namun masih banyak peran santri dan ulama yang kisahnya tidak masuk dalam catatan sejarah. Seperti sosok H. Ihsan, atau yang biasa disapa Mbah Ihsan.
Berasal dari Dusun Jogos, Desa Jungus, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, Mbah Ihsan merupakan salah satu santri Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy'ari.
Advertisement
Di masa perjuangan, tepatnya pada Agresi Militer Belanda ke II, Mbah Ihsan mewakafkan rumahnya untuk dijadikan markas para pejuang yang tergabung dalam Laskah Hisbullah.
Rumah yang sama juga menjadi tempat sejumlah keturunan dari Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy'ari seperti KH. Yusuf Hasyim, Gus Muhammad Baidhowi dan Gus Abdul Haq Idris untuk melakukan pertemuan untuk membicarakan strategi dan konsolidasi.
"Beliau-beliau semua merupakan anggota Laskar Hisbullah Jombang yang berada bawah pimpinan KH. Munasir Ali atau yang lebih dikenal dengan Batalyon Munasir," tutur Aang Fatihul Islam, Sejarawan Ulama Nusantara yang juga penulis buku Mbah Ihsan Jogos-Dungus-Kunjang-Kediri : Kiprah dan Jejak Perjuangan Kemerdekaan Yang Tersembunyi, Minggu (18/06/2023).
Selain itu H. Syafi'i Sulaiman , santri KH. Mahrus Aly (pendiri pondok pesantren Lirboyo) juga sering bergabung untuk berkonsolidasi. H. Syafi'i Sulaiman sendiri merupakan anggota Laskar Hisbullah Kediri.
Aang, yang juga adalah Ketua Lingkar Studi Santri (LISSAN) itu mengungkapkan tidak hanya Mbah Ihsan yang punya peran dalam perjuangan. Sang istri, Mbah Khobsoh turut turun tangan merawat para pejuang yang membutuhkan bantuan dan juga menyediakan makan untuk para pejuang bersama para ibu di Dusun Jogos. "Beliau membantu tanpa pamrih. Para pejuang itu sudah dianggap seperti anak sendiri," tambahnya.
Aang sendiri mengaku tertarik untuk menapaktilasi jejak perjuangan Mbah Ihsan setelah mendengar cerita dari keluarga dan sesepuh. Buku itu sendiri mulai dari tahun 2018 dan baru selesai tahun 2023 ini. Mengumpulkan cerita dari narasumber menjadi tantangan tersendiri dalam penulisan buku ini.
"Saya tergerak untuk menyelamatkan jejak sejarah yang hampir terkubur. Selama masih ada saksi hidup sejarah akan berlanjut, tapi ketika sudah tidak ada maka jejak sejarah akan terhenti," tambahnya.
Mbah Ihsan sendiri tutup usia pada tahun 1976, pada usia 81 tahun. Namun rumah yang dijadikan markas pejuang sampai saat ini masih ada. Begitu juga dengan langgar atau musholla yang sering digunakan untuk mengaji dan sholat.
"Langgar ini juga sering dibuat tempat persembunyian ketika saat penjajah datang. Uniknya, ketika para penjajah masuk, para pejuang tadi tidak terlihat oleh mata para penjajah. Mereka pun akhirnya kembali," pungkas Aang.
Buku ini sendiri telah diserahkan langsung oleh Aang kepada cucu Hadratus Syeh KH. M. Hasyim Asy'ari, KH Fahmi Hadzik. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |