Peristiwa Daerah

Mengungkap Makna Filosofis di Balik Sarung Suku Tengger

Kamis, 21 September 2023 - 22:44 | 174.02k
Aisyah saat tunjukan beberapa model penggunaan sarung warga suku tengger bromo. (FOTO: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Aisyah saat tunjukan beberapa model penggunaan sarung warga suku tengger bromo. (FOTO: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Siapa yang tak mengenal Gunung Bromo? Gunung berapi aktif yang tetap menarik perhatian wisatawan, baik lokal maupun asing. Namun, selain keindahan Gunung Bromo, kawasan ini juga menyimpan keunikan lain, yaitu warga suku Tengger.

Suku Tengger telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-16. Mereka menjalankan berbagai tradisi, seperti Upacara Yadnya Kasada, Ritual Meminta Hujan (Ojung), Hari Raya Masyarakat Tengger (Karo), dan banyak lagi. 

Advertisement

Tradisi-tradisi ini telah menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke kawasan Gunung Bromo.

Suku Tengger juga memiliki tata bahasa dan sistem penanggalan yang berbeda. Tata Bahasa Suku Tengger menggunakan Bahasa Kawi dan beberapa kosakata Bahasa Jawa kuno yang jarang digunakan oleh masyarakat Jawa modern. 

Sistem penanggalan Suku Tengger terdiri dari 12 bulan dengan nama bulan yang berbeda dari penanggalan umum.

Salah satu ciri khas yang mencolok untuk mengetahui warga suku Tengger adalah penggunaan sarung dan udeng. Sarung adalah pakaian yang tak hanya digunakan oleh pria tetapi juga oleh wanita dalam suku ini. 

Ternyata, sarung ini memiliki berbagai fungsi dan makna filosofis bagi warga suku Tengger. Kepala Desa Jetak, Ngantoro, menjelaskan bahwa penggunaan sarung adalah salah satu cara mengenali identitas suku Tengger.

"Penggunaan sarung ini telah menjadi ciri khas warga suku Tengger," ujarnya, Kamis (21/9/2023).

Selain menjadi identitas, sarung juga berfungsi untuk melawan dingin. Gunung Bromo, dengan ketinggian sekitar 2.329 meter di atas permukaan laut, memiliki suhu yang bisa mencapai minus 4 derajat.

Sarung, terbuat dari kain katun atau sutra asli, memberikan rasa hangat bahkan dalam cuaca yang dingin.

"Beberapa warga merajut sendiri, sementara yang lain membeli dari pemasok luar. Namun, bahan sarungnya selalu berkualitas," tambah Ngantoro

Karena terbuat dari bahan premium seperti katun dan sutra, tidak mengherankan jika harga sarung ini relatif mahal, dengan harga paling rendah sekitar Rp 200 ribu hingga mencapai jutaan rupiah.

Selain itu, penggunaan sarung juga memiliki variasi model. Penggunaan model sarung ini memiliki makna tersendiri bagi suku Tengger, dan tidak boleh sembarangan digunakan.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo, Bambang Suprapto, menjelaskan bahwa penggunaan sarung dibedakan antara pria dan wanita, dan aturan ini berasal dari leluhur.

"Penggunaan ini adalah warisan turun temurun. Jika digunakan dengan sembarangan, bisa berdampak kurang baik, tergantung pada kepercayaan," katanya.

Penggunaan sarung bagi wanita melibatkan pembuatan simpul atau "kalem." Makna dari simpul ini bervariasi berdasarkan status perempuan tersebut.

Bagi yang belum menikah dan belum memiliki pasangan, simpulnya berada di belakang. Simpul ini juga sering digunakan ketika sedang hamil. Bagi yang belum menikah tetapi sudah memiliki pasangan, simpulnya berada di sisi kanan. Bagi yang sudah menikah, simpulnya ada di depan, dan bagi yang telah menjadi janda, simpulnya berada di sisi kiri.

"Dengan model ini, pria yang mendekati bisa memahami status wanita tersebut, sehingga tercipta saling pengertian, menghindari konflik, dan menjaga harmoni bersama," tambahnya.

Penggunaan sarung bagi pria, di sisi lain, melibatkan cara yang disebut "di krobongan," yang berarti sarung dimasukkan. Cara ini dapat berupa memasukkan sarung dan mengikatnya di leher atau pundak, yang utama adalah "di krobongan."

"Untuk pria, tidak ada aturan khusus seperti bagi wanita. Yang penting, sarung dimasukkan atau di krobongan," jelas Bambang Suprapto.

Generasi Z dan Perubahan Penggunaan Sarung

Budaya penggunaan sarung, terutama oleh wanita suku Tengger, dan maknanya nampaknya semakin luntur seiring dengan perkembangan zaman. 

Bahkan, di era modern saat ini yang disebut sebagai generasi milenial, banyak yang tidak memahami makna di balik penggunaan sarung ini.

Lilis Susionani (37), warga suku Tengger dari Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, mengatakan bahwa saat ini sangat jarang melihat wanita suku Tengger yang mengenakan sarung. Sebagian besar dari mereka beralih ke selendang.

"Bukan berarti tidak ada yang mengenakan sarung, tapi jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan orang sekarang lebih suka selendang," katanya.

Sementara bagi gadis-gadis suku Tengger yang lebih muda, penggunaan sarung semakin jarang karena pengaruh fashion.

Mereka lebih memilih busana modern seperti baju kebaya hitam dengan bawahan kain jarit atau batik.

"Sebagian besar gadis saat ini jarang mengenakan sarung. Biasanya, yang masih mengenakan sarung adalah generasi lebih tua yang sudah menikah," tambah Lilis.

Hal senada juga diungkapkan Nafarda Putri Aisyah (18), gadis asal Desa Wonokerto, juga mengakui bahwa awalnya ia tidak memahami makna di balik penggunaan sarung untuk perempuan. Baginya, sarung hanya digunakan untuk menghangatkan tubuh.

"Jujur saya baru mengetahui bahwa penggunaan sarung dengan berbagai simpul memiliki arti masing-masing," ungkapnya.

Meskipun demikian, Aisyah merasa bangga dengan budaya ini. Baginya, penting bagi generasi muda untuk memahami makna penggunaan sarung ini agar tidak hilang begitu saja.

"Jika tidak diajarkan oleh orang tua saya, saya mungkin tidak akan tahu. Jika kita tidak menjaganya, budaya serta makna filosofi yang terkandung dalam penggunaan sarung ini lambat laun akan hilang. Oleh karena itu, penting bagi kita, terutama generasi muda, untuk memahami dan melestarikannya," tutup Aisyah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES