Kasus Pekerja Migran Dialami TKI Ilegal Capai 70 Persen, BP2MI Akui Sulit Tuntaskan

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus yang melibatkan pekerja migran Indonesia (PMI) masih cukup tinggi. Pihak Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, penanganan kasus yang dialami pekerja migran ilegal mencapai 70 persen.
Koordinator Pos Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia BP2MI Malang, Dias Ridho Putra mengungkapkan, munculnya kasus yang dialami pekerja migran Indonesia sekitar 20-30 persen. Sisanya, dari kasus PMI yang pemberangkatannya non-prosedural alias ilegal.
Advertisement
"Kalau di kantor kami (BP2MI Malang), kasus pekerja migran hanya 20 sampai 30 persen yang kami tangani, dialami PMI yang berangkat secara prosedural. Yang mendominasi kasusnya dialami PMI yang non-presedural itu, sekitar 70 persen," terang Dias Ridho, Senin (6/11/2023).
Menurutnya, kasus yang dialami PMI non-prosedural yang ditemui ini, rata-rata disebabkan syarat dokumen PMI yang tidak lengkap. Seperti, tidak ada visa kerja, tidak perjanjian kerja, pada saat penempatan pekerja migran dengan penerima kerja di luar negeri.
Dias mengungkapkan, PMI yang berangkat secara ilegal biasanya tidak punya visa kerja resmi, serta dalam kondisi seperti jaringan sel terputus, tidak jelas siapa yang memberangkatkan, atau yang menerima dan menguruskan dokumen PMI bersangkutan, hingga sampai ke penerima kerja negara tujuan.
"Yang memberangkatkan, dengan siapa yang menerima dan menempatkan biasanya tidak saling kenal. PMI non-prosedural tanpa visa kerja resmi, tidak ada kontrak kerja, kapan waktu cuti, termasuk berapa gaji dan pembayarannya. Nah, ini yang membuat kami kesulitan menangani untuk memberikan perlindungan masalah mereka," jelasnya.
Sebaliknya, PMI ilegal lebih memanfaatkan visa turis, kunjungan ziarah, bahkan visa umrah. Tanpa visa kerja resmi, lanjutnya, maka sangat dimungkinkan persyaratan yang lain dari calon PMI tersebut tidak dipenuhi.
Ia mengakui, pihaknya kerap kecolongan dalam perlindungan PMI terhadap mereka yang berangkat secara non-prosedural ke negara tujuan. Terlebih, PMI ilegal yang memang berangkat melalui perorangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan legalitas formilnya.
Bahkan, dari beberapa kasus PMI yang ditangani, diakuinya masih ada praktik sindikasi yang memungkinkan penyaluran PMI, meski merupakan lembaga resmi P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia).
"Ada yang pernah kami temui, pekerja migran yang mengalami masalah ini diberangkatkan LPK (Lembaga Pelatihan Kerja), bahkan dari LKP (Lembaga Kursus Pelatihan). Padahal, izin mereka hanya dari Disnaker dan Diknas, bukan resmi P3MI, yang harus juga dapat izin dari BP2MI. Ini juga harus diwaspadai," tandas Dias.
Soal bentuk perlindungan masalah PMI sendiri, menurutnya banyak yang sudah dilakukan. Seperti halnya, pemulangan, pengurusan klaim asuransi, hingga menemukan keberadaan yang bersangkutan oleh keluarganya.
Selama ada data dan terpenuhi prosedur awalnya, kata Dias, permasalahan dan hak perlindungan PMI bisa ditangani BP2MI. Permasalahan yang dialami PMI ini bisa disampaikan melalui pengaduan dengan berbagai alur media atau kanal pengaduan yang ada. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |