Peristiwa Daerah

Objektivitas Seksual Kian Marak di Media, Perempuan Jombang Didorong Lakukan Ini

Sabtu, 09 Maret 2024 - 15:19 | 23.87k
Kegiatan diskusi yang diselenggarakan WCC Jombang berkolaborasi dengan Gusdurian dalam Rangka Memperingati Hari Perempuan Internasional di Auditorium Minha Tebuireng Jombang. (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
Kegiatan diskusi yang diselenggarakan WCC Jombang berkolaborasi dengan Gusdurian dalam Rangka Memperingati Hari Perempuan Internasional di Auditorium Minha Tebuireng Jombang. (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JOMBANGObjektivitas seksualitas perempuan di media sosial masih marak, perempuan di Jombang disebut jangan takut bersuara.

Poin tersebut merupakan salah satu dari sekian bahasan yang didiskusikan bersama di Auditorium Museum Islam Nusantara Hasyim Asy'ari (MINHA) Tebuireng, Jombang Sabtu (9/3/2024).

Advertisement

Kegiatan yang digelar oleh WCC Jombang berkolaborasi dengan Gusdurian Jombang ini mengangkat tema 'Solidaritas Perempuan: Membangun Kekuatan dari Kebhinekaan'.

Tema itu diambil juga dalam memperingati Hari Perempuan Internasional. Dalam satu pembahasan, yang menjadi perhatian ialah objektif seksualitas perempuan yang masih bertebaran di media sosial maupun media masa.

"Seperti diketahui, media merupakan wadah kuat untuk menyebarkan pesan dan memengaruhi pandangan masyarakat. Namun, maraknya objektifikasi seksualitas perempuan di media merupakan permasalahan serius yang perlu mendapatkan perhatian serius dan tindakan nyata," ucap Koordinaator Gusdurian Jombang, Emma Rahmawati.

Lebih lanjut, objektifikasi seksualitas perempuan terjadi ketika perempuan dianggap sebagai objek atau sekadar penampilan fisik mereka, bukan individu dengan kemampuan, aspirasi, dan kualitas lain yang lebih dalam.

"Objektifikasi seksualitas perempuan adalah proses di mana perempuan dianggap dan diabadikan sebagai objek seksual, bukan sebagai individu dengan kemampuan, pikiran, dan emosi yang kompleks," katanya.

Media sendiri pastinya memainkan peran penting dalam penyebaran dan penguatan pandangan ini. Representasi yang sering kali mempersempit perempuan menjadi objek keinginan, fokus pada bagian tubuh tertentu, dan mengesampingkan kecerdasan, keterampilan, dan pencapaian mereka sebagai individu.

Lebih lanjut, juga banyak iklan, acara televisi, film, dan konten media lainnya memperkuat citra perempuan sebagai objek seksual. Hal ini tercermin dalam penggambaran yang cenderung mempersempit peran perempuan menjadi sekadar objek keinginan, kecantikan fisik, atau daya tarik seksual.

"Dalam banyak kasus, pakaian minim dan penonjolan bagian tubuh tertentu hanya mempertajam objektifikasi ini. Salah satu akar permasalahan utama adalah budaya patriarki yang masih mewarnai masyarakat kita," ungkapnya.

Pemikiran bahwa perempuan harus memenuhi standar kecantikan dan daya tarik tertentu untuk dianggap berharga menjadi bagian dari budaya yang perlu diubah.

Lebih lanjut, masih kata Emma, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya cenderung mengalami proses yang sangat lama.

Bahkan, Emma melanjutkan, sebelum islam masuk ke Nusantara, perempuan dianggap bukan sebagai manusia. Bisa dikubur hidup-hidup, bahkan tidak mendapatkan hak waris, malah di wariskan.

Hal itu sebenarnya sudah menunjukkan bahwa sebelum Islam datang, perempuan tidak dianggap sebagai manusia.

"Di Amerika saja perempuan baru mendapatkan haknya itu di tahun 1908 setelah adanya aksi demonstrasi yang memunculkan Hari Internasional Women's Day," jelasnya.

Menurutnya, media seolah ada untuk laki-laki, sehingga perspektif yang muncul adalah sudut pandang laki-laki, contohnya apa yang disukai laki-laki, jadi perempuan hanya menjadi objek semata.

"Kita perlu terus menguatkan bagaimana perempuan sebagai subjek utuh, sama dengan laki-laki, dan itu perjuangannya masih harus di kawal. Sekarang, era sudah berubah, banyak media yang bisa kita Kuasai. Dengan cara membuat konten di media sosial, dan bersuara perihal hal perempuan," ujarnya.

Sementara itu, menurut Alfiyah Ahmad yang mewakili Indonesian Social Justice Network menyebut sudah semestinya perempuan harus mengambil peran. Media bisa menjadi wadah positif jika dimanfaatkan semaksimal mungkin.

"Media itu merupakan cerminan masyarakat kita. Maka dari itu media yang serius cenderung tidak diminati oleh masyarakat. Generasi saat ini, mudah sekali kehilangan sejarahnya. Karena budaya membaca yang tidak diajarkan sejak dini," katanya.

Baginya, dengan membaca dan memperkokoh diri dengan ilmu pengetahuan, akan mudah mencapai dan mendapatkan posisi strategis.

"Dalam mencapai tujuan itu, pastinya harus ada langkah sistematis dan terstruktur nan strategis. Untuk masuk ke dalam posisi strategis itu yang harus dikembangkan adalah daya tawar," kata dia.

Ia menegaskan, daya tawar itulah yang bisa dimanfaatkan untuk meraih satu hal yang dicita-citakan bersama. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES