Peristiwa Daerah

Pawai Alegoris Jogja: Mengenalkan Situs Bersejarah Jogja dalam Bingkai Seni

Minggu, 09 Juni 2024 - 00:32 | 45.47k
Pawai budaya dan kesenian dalam Pawai Alegoris Harmoni Jogja 2024, Sabtu (8/6/2024). (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Pawai budaya dan kesenian dalam Pawai Alegoris Harmoni Jogja 2024, Sabtu (8/6/2024). (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ribuan warga Yogyakarta memadati area di sepanjang jalan Kemasan hingga jalan Mondorakan Kotagede menyaksikan Pawai Alegoris “Harmoni Jogja 2024,” Sabtu (8/6/2024).

Titik kepadatan terpusat di depan Pasar Legi, Kotagede, karena di tempat inilah, 10 peserta Pawai Alegoris yang berasal dari berbagai sanggar seni di wilayah Selatan Yogyakarta, secara bergiliran menampilkan pagelaran tarian, yang setiap tema tariannya bersumber dari berbagai situs yang berlokasi di Kotagede.

Advertisement

Berbeda dengan Pawai Alegoris pada tahun 2023 yang mengusung tema “Harmony of Kotagede,” Pawai Alegoris “Harmoni Jogja 2024” mengusung tema “Harmony in Old Mataram,” yang interpretasinya lebih luas karena mencakup seluruh jejak toponimi dan situs-situs kerajaan Mataram kuno.

Pada pawai Alegoris tahun 2023 para penampil memilih sendiri tema yang akan disajikan kepada khalayak, namun pada Pawai Alegoris tahun 2024 ini, para penyaji yang akan mempertunjukkan berbagai atraksi seni dan budaya, temanya dipilihkan oleh panitia penyelenggara.

Gagasan yang disajikan dalam komposisi tari yang bersumber dari peninggalan sejarah seperti situs-situs dan toponimi di wilayah Kotagede tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi sutradara dan koreografer dalam melakukan proses penciptaan tarian yang akan ditampilkan di hadapan khalayak. Karena selain dituntut melakukan riset atas apa yang akan disajikan dalam bentuk gerak juga harus jeli memasukkan unsur-unsur warna dan pernik masa lalu pada kostum yang dikenakan penarinya.

Harapannya, komposisi tari yang disajikan akan menyeret ingatan penonton pada kisah kisah masa lalu kerajaan Mataram kuno yang ada di Kotagede.

Masyarakat Yogyakarta yang lahir dari kebudayaan, sejak dulu tentu sudah sangat dekat dengan seni dan budaya adiluhung leluhurnya sehingga dengan simbol-simbol, gerakan tarian, juga warna-warna yang khas, komposisi tari tersebut bisa membangunkan ingatan banyak orang pada peninggalan peradaban Mataram kuno yang kemudian dikemas dalam bingkai pariwisata Yogyakarta.

Pawai Alegoris kemudian menjadi semacam kilas balik yang mengingatkan penonton bahwa Kotagede adalah kejayaan kerajaan Islam masa lalu yang harus diingat sepanjang hidup.

Peradabannya adiluhung sehingga ingatan dalam kepala setiap warga juga harus dijaga, agar peradaban kabudayan dalam kehidupan di sekitar mereka juga tetap terjaga kelestariannya.

Hal itu terlihat sejak penampilan pertama Sanggar Argodumilah  yang membawakan tarian tentang Situs Manukberi, lalu dilanjutkan oleh Sanggar Anglocita dari Prenggan yang menampilkan tarian Situs Padas Temanten.

Penampil ketiga Sanggar Suroharjo dari Kalurahan Muja Muju menampilkan tarian Situs Watu Gatheng. Lalu Sanggar Kemuning dari Kalurahan Purbayan yang menampilkan tarian Situs Watu Gilang yang penuh misteri.

Penampil kelima Sanggar Bayu Mataram juga dari Kalurahan Purbayan, membawakan tarian Situs Benteng Cepuri yang pada masa lalu menjadi benteng pertahanan kerajaan kuno Mataram Kotagede.

Sanggar Candramaya Kalurahan Pandeyan menampilkan tarian Situs Nogobondo. Penampil ketujuh Sanggar Gierka dari Kalurahan Tahunan membawakan tarian Situs Peleman. Dilanjutkan Sanggar Rampak Kiprah Budaya dari Pakualaman membawakan tarian Situs Sumur Retno Dumilah.

Sedangkan penampil kesembilan dan kesepuluh Sanggar Kharisma Dance Kalurahan Mergangsan, dan Sanggar Tresno Budoyo Kalurahan Warungboto, masing-masing membawakan Tarian Situs Sendang Selirang dan Situs Watu Gajah.

Indhi Apsari Nareswari, S.Pd. koreografer dan sutradara Sanggar Bayu Mataram yang mengusung tema Situs Benteng Cepuri, mengatakan, kisah Benteng Cepuri adalah kisah tentang pertahanan dan keamanan, yang di dalamnya ada kisah para prajurit yang gagah berani membangun harmoni dan menjaga Kraton Mataram agar damai dan tenteram.

Pawai-Alegoris-Harmoni-Jogja-a.jpg

Koreografer lulusan ISI Yogyakarta 2016 ini, menyiapkan 25 penari yang berperan menjadi prajurit penjaga benteng Cepuri. Setiap prajurit dibekali busur berwarna merah.

Pada bagian atas gagang busurnya terdapat garis warna hitam dengan simbol berbentuk bintang berornamen warna emas. Perpaduan unsur merah, warna emas dan hitam, adalah pesan simbolik bahwa para prajurit menjaga Benteng Cepuri dalam naungan keagungan dan kewibawaan dari langit.

Hal itu sejalan dengan pemilihan warna kostum biru langit yang dikenakan oleh para prajuritnya. Warna kostum biru langit itu diringkas dengan kain warna biru tua yang terikat di pinggang.

Warna kostum setiap prajurit, kata Indhy, tidak hanya menyesuaikan dengan warna kekinian yang segar dan cerah, namun pemilihan warna biru langit adalah simbol spiritualitas yang memberi pesan bahwa prajurit penjaga Benteng Cepuri telah ditempa dengan disiplin spiritualitas yang selalu tegak lurus pada langit.

Dalam catatan sejarah Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi DIY yang termuat dalam laman kebudayaan.kemendikbud.go.id, Kotagede pernah menjadi pusat pemerintahan pada masa Panembahan Senapati hingga masa Sultan Agung. Artinya, pada masa dahulunya Kotagede banyak memiliki fasilitas yang berkaitan dengan perannya sebagai sebuah ibukota kerajaan.

Sebagaimana lazimnya kota-kota pusat pemerintahan Mataram Islam, Kotagede juga memiliki tata ruang berikut komponen komponen di dalamnya. Beberapa bukti peninggalan fisik berupa masjid, sisa Baluwarti dan Cepuri, dan sejumlah toponimi menunjukkan bahwa pada masa lampau Kotagede merupakan sebuah kawasan yang cukup berkembang dan dinamis.

Benteng Cepuri menjadi salah satu komponen penting sebagai benteng dengan jagangnya yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan.

Menurut Babad Tanah Jawi, demikian catatan Balai Peninggalan Sejarah Cagar Budaya DIY, Benteng Cepuri Kotagede mulai dibangun tahun 1585 Masehi dan selesai tahun 1594 M. Benteng Cepuri atau Bokong Semar dikenal juga dengan sebutan "Benteng Jebolan Raden Rangga" merupakan salah satu komponen penting Kotagede kuno yang berfungsi sebagai prasarana pertahanan-keamanan.

Fungsi prasarana pertahanan-kemanan inilah yang menjadi titik fokus koreografi Indi Apsari Nareswari, yang menata 25 anggota penarinya tentang sejarah Benteng Cepuri menjadi komposisi tarian yang tidak hanya memukau penonton, melainkan membawa penonton pada nostalgia kisah kisah leluhurnya.

Dinding cepuri, lanjut Indhy, bukan hanya pembatas sebagai pertahanan terhadap musuh melainkan juga salah satu komponen yang berfungsi sebagai pembatas dunia luar antara komunitas rakyat dengan komunitas kerabat raja.

Dalam koreografi Situs Benteng Cepuri ini, Indi Apsari, cukup cerdas mengajak penonton mengingat tentang apa makna batas, baik itu batas untuk pertahanan keamanan, maupun batas antarkomunitas manusia.

Komposisi tarinya menjadi penghubung dunia luar dan dunia dalam--komunitas masyarakat “jaba benteng” dan masyarakat ningrat “jeron benteng” agar hidup lebih harmonis sesuai dengan tema besar “Harmony In Old Mataram.”

Atas pemaknaan “penghubung dunia luar dan dunia dalam” itulah sehingga pemilihan kostumnya yang berwarna biru langit agar tidak memberi kesan para prajurit Benteng Cepuri  terlihat ganas dan menyeramkan, melainkan bersikap ramah dan penuh asih karena selalu berada dalam naungan langit biru yang indah. Demikianlah harmoni dalam pemahaman yang lain.

Acara Pawai Alegoris “Harmoni Jogja 2024” yang dibuka oleh Pj Wali Kota Yogyakarta Ir. Sugeng Raharjo, M.MA, memang berhasil mengundang antusiasme masyarakat yang datang memadati area di sepanjang Jalan Kemasan hingga Jalan Mondorakan. Bagi Yogyakarta sebagai kota yang mendapat julukan Kota Budaya, Pawai Alegoris merupakan salah satu bentuk upaya mengenalkan area Kotagede yang ada di Selatan Yogyakarta. Tindak lanjut dari Pawai Alegoris ini, pemkot Jogja berencana akan mengadakan even secara rutin untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Festival dalam bingkai pariwisata. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES