Peristiwa Daerah

Kisah Pria di Pacitan, Merawat Keris Pusaka Hingga Bisa Berkomunikasi

Kamis, 25 Juli 2024 - 22:06 | 57.85k
Bambang Trenggono menunjukkan keris pusaka miliknya usai dimandikan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Bambang Trenggono menunjukkan keris pusaka miliknya usai dimandikan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Dalam budaya Jawa, keris dan benda pusaka memiliki makna yang lebih dari sekadar benda antik. Seorang pelestari benda pusaka dari Pacitan, Bambang Trenggono (68), mengungkapkan alasan di balik kegemarannya merawat koleksi keris dan benda pusaka. 

Bagi Bambang, penghormatan terhadap karya leluhur adalah inti dari perawatannya. Keris dan benda pusaka, menurutnya, dibuat melalui proses panjang yang melibatkan tirakat, laku prihatin, doa, dan puasa.

Advertisement

keris-pusaka-miliknya-usai-dimandikan-2.jpg

"Sehingga, benda pusaka itu menjadi 'wesi aji', artinya besi berharga," ujarnya pada Kamis (25/7/2024).

Bambang menekankan pentingnya menghargai warisan leluhur dengan cara yang sopan dan penuh hormat. 

Meski hanya berupa benda, menurutnya, keris dan benda pusaka memiliki makna yang mendalam. Ia meyakini bahwa setiap wesi aji memiliki ruh, seolah-olah menyimpan energi yang terekam dalam proses pembuatannya. 

"Saat membuatnya, dari bahan hingga menjadi bentuk akhir, semua melalui doa. Karena seringnya doa diucapkan, ada gelombang elektromagnetik yang melekat pada besi tersebut," jelasnya.

Cara berkomunikasi dengan wesi aji pun unik, yaitu menggunakan "password" berupa doa khusus. Setiap orang yang merawatnya memiliki cara tersendiri, dan tidak sembarang orang bisa memperlakukan benda pusaka tersebut. 

"Beberapa orang bahkan bisa bertanya kepada wesi aji seperti berbicara dengan manusia tentang asal-usulnya," tambah Bambang.

Bagi Bambang, merawat keris dan benda pusaka tidak berarti melakukan praktik syirik. Jika kebanyakan masyarakat Pacitan dan Jawa pada umumnya melakukan perawatan keris dan benda pusaka pada malam satu Suro, Bambang memilih tanggal 14-16 Muharam 'Pungkasan' sebagai waktu yang tepat.

"Ajaran leluhur saya justru mengajarkan untuk melakukan perawatan keris di pertengahan Muharam," katanya.

Koleksi keris dan benda pusaka Bambang tidak terlalu banyak, namun beberapa di antaranya merupakan titipan dari orang lain. Jenisnya beragam, mulai dari Tapak Liman Mataraman hingga Sodo Lanang dari Gunung Kelud, yang memiliki sejarah khusus digunakan dalam perang. 

"Makanya bawaannya pengen marah-marah saja," ujarnya sambil tertawa.

Sodo Lanang tersebut telah dirawat oleh Bambang selama lebih dari setengah abad, diperoleh dari sang Ayah sekitar tahun 1969. Untuk menjaga pamornya, pencucian benda pusaka bisa memakan waktu lebih dari satu hari satu malam, bahkan bisa dua hari. 

Prosesnya harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh hormat. Sebelum dibersihkan, benda pusaka tersebut harus ditaruh di bawah bantal sehari sebelumnya, agar dapat merasakan energi positif dari benda tersebut.

"Agar bisa berkomunikasi, biasanya saya ajak bicara. Syaratnya harus fokus dan adoh seka batur," ungkapnya. 

Tak hanya itu, cara berkomunikasi yang biasanya dilakukan oleh pria pensiunan pegawai negeri tersebut terbilang komunikatif layaknya berbicara dengan seseorang. 

"Kamu siapa, asal dari mana, kamu ikut saya kerasan apa tidak, yang penting kamu jangan ganggu," ujar Bambang menirukan dialog dengan benda pusakanya.

Namun, Bambang juga menekankan pentingnya kendali diri saat merawat benda pusaka. Jika tidak mampu mengendalikan diri, bisa berakibat fatal, bahkan merubah perilaku dan karakter pemiliknya. "Tapi jangan sampai mengkultuskan bahwa benda ini bisa merubah nasib seseorang," pungkasnya.

Tak heran, Bambang Trenggono merupakan satu di antara pelestari keris dan benda pusaka di pacitan yang cukup disegani oleh masyarakat setempat. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES