Peristiwa Daerah

Bersatu Memacu Denyut Nadi Desa Mahameru, Pemprov Jatim Mendesain Kehidupan Baru (1)

Senin, 23 September 2024 - 14:39 | 57.92k
Suasana di Hunian Tetap Desa Semeru di Desa Sumbermujur, Kecamatan Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Rabu (18/9/2024).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Suasana di Hunian Tetap Desa Semeru di Desa Sumbermujur, Kecamatan Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Rabu (18/9/2024).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYAHanya ada jalan satu-satunya mitigasi untuk menghadapi gunung berapi. Masyarakat harus mengalah pergi dari daerah rawan bencana. Jika gunung bisa berbicara, maka ia akan berkata: jangan tinggal di sini, ini adalah jalurku. Demikian kata Mbah Rono, ahli gunung di Indonesia yang tidak hanya secara ilmiah memahami karakteristik gunung, tetapi juga secara spiritual.

***

Advertisement

Awan biru menyelimuti Puncak Mahameru. Pertengahan September 2024 cukup bersahabat, matahari bersinar hangat. Hujan musiman belum juga turun. Hanya mendung melintas sesekali kemudian pergi. Sebelas kilometer dari kaki gunung Semeru, gapura agung begitu megah membingkai ribuan hunian tetap di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. 

Gedung Balai Desa Mahameru dengan pintu terbuka menandai kehidupan kelompok masyarakat. Di ujung kaki bukit blok rumah F-59. Seorang pria tua duduk santai di teras. Halamannya penuh tanaman bunga bakung. Sarung menyelimuti tubuh renta dari hawa dingin. Secangkir kopi hangat menemani.  

Pria berusia 60 tahun itu bernama Abdul Jamil, penyintas erupsi Gunung Semeru yang kini merasakan ketenangan. Dua tahun sudah, ia dan warga hasil relokasi, tinggal di rumah-rumah permanen layak huni. Suasananya sekilas mirip klaster perumahan di Eropa. Rumput hijau membentang membingkai jalan mulus.

Kanan kiri begitu resik dan cantik. Air bersih mengalir tanpa henti. Ada minimarket, madrasah, tempat ibadah hingga kampus. Benar-benar seperti desain kota kecil indah di tengah keteduhan hutan pinus. Pada tiap kelokan jalan, terpasang papan-papan hijau bertuliskan petunjuk rute evakuasi. 

Hunian tetap ini awalnya adalah kebun cengkeh seluas 81,55 hektare yang beralih fungsi sebagai pemukiman relokasi sejumlah 1.951 unit rumah. Tempat tinggal para penyintas erupsi dari dua kecamatan terdampak paling parah. Kecamatan Pronojiwo dan Kecamatan Candipuro.

Penyintas dari Kecamatan Pronojiwo terdiri dari warga Dusun Sumbersari dan Dusun Curah Koboan. Sedangkan dari Kecamatan Candipuro berasal dari Desa Sumberwuluh yang meliputi Dusun Kajar Kuning, Dusun Kebondeli Utara, Dusun Kebondeli Selatan, Dusun Kamar Kajang, Dusun Kampung Renteng dan Desa Jugosari. 

Penghuni paling banyak dari Dusun Curah Kobokan dan Dusun Kajar Kuning karena desa itu hilang tertimbun material muntahan gunung berapi. Pemerintah memberikan SK Bupati Lumajang berupa penyerahan rumah bagi penghuni sembari menyelesaikan pelepasan hak alih lahan oleh Perhutani. 

Kulo seneng wonten mriki (saya senang tinggal di sini),” kata Abdul Jamil dalam Bahasa Jawa Kromo. Suaranya lirih, pendengarannya sedikit berkurang karena laju usia.  

Abdul Jamil merasakan kondisi lebih baik karena mendapat perlindungan. Bagaimanapun juga, suasana erupsi saat itu menyisakan trauma begitu mendalam. Ia hanyalah kakek tua yang hidup sebatang kara tanpa anak istri di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Dusun kecil radius terdekat dari kaki gunung berapi Semeru. Hartanya adalah rumah dan kebun. Tetapi semua tinggal kenangan.

Matanya jauh menerawang apabila mengenang tragedi 4 Desember 2021 pukul tiga petang. Tatkala suara gemuruh dan ledakan bersahutan, abu vulkanik pekat dan wedus gembel bergulung menerkam memporakporandakan perkampungan. 

Jerit ketakutan, tangis dan rintihan terdengar begitu memilukan dalam ingatannya. Penduduk berlarian ke Desa Penanggal, desa terdekat sebagai zona pengungsian jika terjadi erupsi Gunung Semeru. Lokasinya masih satu kecamatan. Warga lainnya berjuang mencari titik-titik aman.

"Allahu Akbar, Ya Allah, Ya Allah. Peteng dhedet, mlayu kabeh koyok celeng klumus kabeh. Nemen sorone, bingung (suasana gelap gulita, kami semua berlarian persis seperti babi hutan, sungguh kami merasa sengsara dan bingung)," kisah Abdul Jamil. 

Sekarang, ia bisa bernapas lega. Warga terdampak erupsi Gunung Semeru mendapat rumah pengganti. Pindah dari tenda ke hunian sementara sampai akhirnya menetap di sini. Abdul Jamil menempati satu rumah petak di antara 1.951 unit bangunan yang ada. Hunian tetap, orang menyebutnya huntap, adalah titik balik awal kehidupan barunya.

Meskipun menerima pergeseran nasib sebagai buruh tani karena lahan miliknya tertimbun bebatuan besar, bagi Abdul Jamil, nyawa di atas segalanya.  Sebab tragedi erupsi itu bukan hanya melahap habis rumah dan sawah, tetapi juga menelan korban jiwa.  

Pak Slamet, seorang penyintas lain peristiwa dahsyat itu tak kuasa mengenang. Penghuni hunian tetap Blok C1 Nomor 8. Dulu, ia bersama keluarga tinggal di sekitar bantaran Sungai Besuk Kobokan, Desa Curah Kobokan.

Sungai aliran lahar yang biasanya menjadi penyeberangan warga dari Lumajang menuju Malang maupun sebaliknya ketika air surut. Begitu pula akses penghubung antar kecamatan. 

Sekarang, tak ada pilihan lain untuk bertahan di sana, kendati lahan kaki Gunung Semeru adalah napas hidupnya. Tanah-tanah subur yang telah mewariskan sejarah panjang kehidupan bagi moyangnya.  

"Kami bertani turun temurun, saat erupsi, kami mengungsi. Meninggalkan ladang padi. Saat erupsi berhenti, kami kembali. Tetapi 4 Desember 2021 berbeda, keluarga saya hilang dan mati. Saat erupsi 4 Desember 2022, lahan kami seperti hilang ditelan bumi," tuturnya. 

Pria paruh baya yang sering dipanggil dengan nama Pak Milla itu, kehilangan sembilan keluarga. Dua saudaranya tidak ditemukan, hanyut tertelan lahar. 

Guguran lava panas melaju ke desanya dengan jarak luncur 500-800 meter. Kiamat kecil itu benar-benar di luar perkiraan. Seakan mengingkari karakter Semeru. Tiada tanda hujan abu, tiada tanda wedus gembel bergulung. 

Langit seketika gelap, suara menggelegar, awan panas guguran menjilati lereng-lereng. Sementara hujan deras turun bersamaan menghanyutkan material. Lidah api itu mengalir mencapai jarak 16 kilometer, menerabas cepat ke arah Besuk Kobokan, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo. Menerjang pemukiman sekitar. Warga yang bekerja di ladang-ladang berlarian mencari tempat tinggi, bahkan sebagian tak terselamatkan.

Jembatan Gladak Perak Sungai Besuk Kobokan sepanjang 120 meter sebagai lintasan alternatif tercepat penghubung antar desa putus diterjang lahar panas. Akses jalan satu-satunya digempur hantaman material dari atas gunung tanpa ampun. Jutaan kubik pohon hanyut menjebol pertahanan kantong-kantong penyangga magma.

"Keluarga saya mati sembilan orang, dua orang hilang saat itu," sekali lagi, ia mempertegas garis cerita, sembari menyeka air matanya yang mengalir dari ingatan-ingatan pedih. 

Betapa hari serasa kiamat. Banyak mayat terpanggang oleh jilatan lahar panas. Sebisa mungkin menyelamatkan warga menuju lokasi pengungsian adalah perjuangan berat atas nama kemanusiaan. Pemerintah Kabupaten Lumajang sigap mengerahkan tim evakuasi. 

Pemerintah Provinsi Jawa Timur bergerak cepat menerjunkan bantuan multi pihak. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bertindak mengelola pusat-pusat evakuasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan instruksi perencanaan tahap transisi darurat. 

Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), BPBD Jatim, BPBD Kabupaten Lumajang dan relawan berjibaku. Warga yang selamat dievakuasi ke tempat aman seperti balai desa, sekolah dan kantor kecamatan.

Pemerintah membangun tenda darurat, posko, serta dapur lapangan untuk memenuhi kebutuhan logistik. Melengkapi dengan sanitasi, pembuangan sampah hingga bilik asmara. 

Bupati Lumajang menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Semeru selama 14 hari terhitung mulai 4 Desember 2021 sampai dengan 17 Desember 2021 melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Lumajang Nomor: 188.45/527/427.12/2021. 

Tanggap darurat ini menitikberatkan kepada empat sasaran skala prioritas, meliputi peningkatan kualitas pelayanan pengungsi, pembuatan sodetan dan tanggul, menyiapkan sarana relokasi hunian sementara dan melanjutkan pencarian korban jiwa. 

Hingga 5 Desember 2021, erupsi Gunung Semeru memakan 14 jiwa, 29 korban rawat inap dan rawat jalan, dengan jumlah pengungsi 1.648 orang yang tersebar di berbagai tempat. Tim SAR (Search and Rescue) sempat terkendala karena korban tertutup material vulkanik yang masih panas dan cuaca tidak mendukung sepanjang proses evakuasi.

Kepala Desa Sumber Mujur, Yayuk Sri Rahayu menerima tanggung jawab berat, tepat dua hari sebelum pelantikan definitif. Ketika erupsi melanda Desa Curah Kobokan, Pronojiwo dan Candipuro. Tatkala mobil-mobil rescue dan ambulance lalu lalang berkejaran. Koordinasi lintas lembaga berlangsung tanpa henti.

"Dua hari sebelum pelantikan, saya sudah menerima warga yang berasal dari Desa Curah Kobokan, Sumber Sari dan Kajar Kuning. Pengungsiannya bertempat di Desa Sumbermujur dan sebagian ada yang mengungsi di desa tetangga," ungkap perempuan berhijab ini. 

Anehnya, abu vulkanik erupsi tahun 2021 itu tak menyentuh Desa Sumbermujur. Padahal biasanya, desa itu selalu terselimuti reruntuhan debu. Hanya hujan turun menetes-netes ringan, tepat pukul setengah tiga dini hari. Curahan air langit yang disambut suara menggelegar kencang.

Hunian-Tetap-Desa-Semeru-a.jpg

Abdul Jamil tersenyum sumringah di halaman teras rumahnya, Huntap Blok F-59, Rabu (18/9/2024).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)


Saling Silang Rasa  

Saat itu sinyal selular di kawasan erupsi Gunung Semeru menghilang. Komunikasi pun terputus. Akan tetapi, misi penyelamatan tak boleh pupus. Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang kala itu masih menjabat, langsung menginstruksikan kekuatan seluruh pasukan siaga bencana.

Relawan yang telah tiba di sana bahkan harus berhadapan dengan situasi sulit, jembatan-jembatan penghubung putus. Kondisi darurat, memaksa memutar jalan mendekati perbatasan Kabupaten Malang di tengah guyuran abu vulkanik. 

Ketua Tim Kerja Penanganan Bencana Alam Bidang Penanganan Bencana Dinas Sosial Provinsi Jatim, Hanif Ikhsanudin atas perintah gubernur mengirim bantuan logistik secepat mungkin demi memberikan pendampingan kepada para pengungsi.

“Seperti instruksi gubernur saat itu, bahwa Tagana harus ada di lokasi bencana maksimal satu jam setelah mendapat laporan," katanya mengisahkan.  

Dinas Sosial Jatim Bidang Penanganan Bencana selalu memantau info grafis kejadian bencana alam dari Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) BPBD Jatim. 

Dinsos siaga menyalurkan bantuan kepada warga terdampak berdasarkan UU No 24 Tahun 2007. Bencana sendiri memberikan dampak bagi masyarakat. Mulai korban jiwa, kehilangan harta benda hingga kerusakan infrastruktur.

"Bencana selalu diawali dengan kata bahaya atas fenomena alam yang terjadi dan berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia," kata Hanif.

Tagana di seluruh daerah langsung berangkat menuju lokasi. Mereka adalah para taruna siaga bencana terlatih dan pernah terjun ke berbagai wilayah berisiko. Ada satu misi khusus pengiriman bantuan dalam satu jam. Satu komando, satu aturan, satu korsal.

Tagana hadir sebagai pendamping sosial, pengelolaan shelter, pengelolaan logistik dan dapur umum serta psikososial. Tim ini memanfaatkan seluruh jejaring. Saling bahu membahu. Total 2.345 relawan tersebar di beberapa titik. 

Tagana membangun tenda hunian sementara, menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, melindungi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil dan lansia. 

Mereka memastikan keamanan, kesehatan, berikut keselamatan diri. Aksi cepat tanggap itu mengacu pada Permensos Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Pedoman Koordinasi Klaster Pengungsian dan Perlindungan Dalam Penanggulangan Bencana.

“Ketika mendapat laporan bencana, kami secepat mungkin melakukan asesemen mengumpulkan informasi dasar, identifikasi kelompok rentan dan identifikasi klaster. Pada kebanyakan kejadian bencana, umumnya shelter merupakan kebutuhan yang paling besar dan paling mendesak,” ujar Twi Adi, Koordinator Forum Komunikasi Tagana Jawa Timur

Intervensi shelter tak bisa berdiri sendiri. Namun, perlu terintegrasi dengan intervensi lainnya. Seperti air bersih, sanitasi dapur umum, perlindungan anak, disabilitas, kelompok rentan dan kelengkapan fasilitas pendukung demi menuju kehidupan yang lebih baik selama masa darurat.

Tagana tak luput memastikan pemenuhan hak para pengungsi untuk mendapatkan perlindungan, keamanan dan perlakuan yang bermartabat. Tak lupa pula, memberikan kemudahan kepada para penyintas dalam mengakses layanan kebutuhan berupa kesehatan, air bersih, air minum dan dapur umum. Berikut fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) dan lainnya.

Dinsos Jatim berada pada Klaster Perlindungan Sosial merujuk pada UU RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Dinsos melakukan aksi mulai pra bencana bahkan saat terjadi fase bencana dan pasca bencana. 

Penanganan pra bencana seperti mengurangi risiko bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat di daerah rawan bencana. Tanggap darurat bencana berupa penanganan yang fokus pada korban melalui pemenuhan kebutuhan dasar logistik bencana seperti sandang, permakanan dan tempat tinggal sementara atau shelter lingkungan pengungsian bagi korban bencana alam. 

Dinsos Jatim Bidang Bencana juga harus melakukan mitigasi kepada masyarakat di lereng Semeru. Bukan hanya menyalurkan bantuan semata. Kerja kolaboratif ini semakin menunjukkan langkah cepat Pemprov Jatim dalam penanggulangan bencana.

Pemberian pendampingan psikologi juga mendapat perhatian serius sebagaimana amanat UU Nomor 24 Tahun 2007.

“Kami juga memberikan layanan dukungan psikososial agar penyintas erupsi yang trauma dan depresi bisa pulih lebih baik,” tuturnya.

Psikososial berupa Trauma Healing LDP itu memberikan sejumlah penguatan, pendampingan dan dukungan yang dapat mempengaruhi individu dan lingkungan sosial demi mewujudkan slogan build back better. 

Tak ketinggalan, Relawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Provinsi Jatim bergabung memberikan trauma healing bagi masyarakat terdampak bencana dengan melibatkan serangkaian kegiatan.

Seperti memberikan hiburan edukatif melalui mendongeng dengan cerita yang diambil dari buku bacaan, bermain, dan bernyanyi bersama.

Petugas alias relawan ini menyediakan buku-buku yang disesuaikan dengan selera anak yang terbukti efektif dalam mendukung proses penyembuhan trauma akibat bencana.

“Kolaborasi antara pustakawan dan pendongeng menjadi elemen penting dalam upaya memberikan bantuan trauma healing kepada mereka,” ungkap Wempi Roberto Goa, S.Sos, M.I.Kom, Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jatim.

Dalam masa-masa penanganan itu, Bupati Lumajang kemudian memperpanjang Status Tanggap Darurat Bencana Erupsi Semeru selama tujuh hari berikutnya, mulai 18 Desember 2021 sampai 24 Desember 2021 melalui Surat Keputusan Bupati Lumajang Nomor: 188.45/549/427.12/2021. 

Fokus penanganan berdasarkan surat keputusan itu seperti menambah toilet portable di pengungsian, mendata pengungsi setiap hari, meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan pengecekan kesehatan secara berkala oleh dinas kesehatan.

Selama masa itu pula, BPBD kota dan provinsi bergotong royong melakukan penyekatan terhadap wisata bencana, menambah unit alat berat untuk pembuatan sudetan, mengurangi jumlah relawan yang tidak membantu penanggulangan bencana serta menentukan tempat relokasi hunian sementara. 

Mereka juga terus mendata pengungsi sesuai identitas kartu tanda penduduk. Tahun itu sekaligus tercatat menjadi tahun kelam bagi warga anak Bumi Mahameru.

Letusan dan awan panas guguran mengakibatkan aliran massa lahar sangat besar dan merusak. Total 5.205 orang terdampak. Mereka adalah penduduk yang tinggal di sekitar gunung Semeru. Total menelan 51 korban jiwa, 2.970 rumah rusak dan 10.395 orang mengungsi.


Relawan Kirim Bibit Sengon

Di lain sisi, memang butuh waktu mengembalikan beban psikis para pengungsi. Harta benda mereka habis tak tersisa. Hanya tinggal pelataran tanah bertumpuk material.

Rumah terkubur mencapai genteng. Beberapa warga yang masih memiliki lahan membutuhkan modal untuk kembali bercocok tanam. Terutama di Kawasan Curah Kobokan yang beberapa terpantau masih dapat ditanami kembali.

Komunitas nirlaba, Blood For Life Indonesia turun serta bergandengan tangan membantu pemerintah memberikan bantuan hasil penggalangan dana melibatkan mahasiswa dari Aceh, Gana Wana dan donatur asal Surabaya.

Total donasi terkumpul Rp25 juta. Relawan yang mayoritas anggotanya para pendonor darah aktif itu juga menyaring harapan penyintas. 

“Komunitas kami sepakat memberikan bantuan. Seperti biasanya, saat pasca bencana, kami turun. Tiga minggu sebelumnya, kami menggalang dana. Setelah dirasa cukup donasi kami salurkan, tim kami langsung berangkat membagikan donasi,” kisah Hamida Soetadji, Ketua Umum Blood For Life Indonesia yang saat peristiwa itu masih menjabat sebagai Koordinator Wilayah Jawa Timur.

Hamida bercerita bagaimana ia berkenalan dengan Pak Slamet alias Pak Milla. Kala itu ia tengah mencari data awal korban terdampak untuk penyaluran donasi agar tepat sasaran. 

“Hasil wawancara dengan Pak Slamet, saat itu kami mengenalnya dengan panggilan Pak Milla. Nah, Milla itu anaknya, karena biasanya orang di sana memanggil kepala keluarga dengan sebutan anak mereka. Ketika itu Pak Milla bercerita jika banyak kebutuhan yang sudah berkurang. Artinya sudah dicover oleh pemerintah,” ungkap Hamida.

Setelah mendengar cerita itu, Komunitas Blood For Life Indonesia sengaja menahan bantuan dan mengirim pada masa pasca bencana supaya tidak terjadi penumpukan. 

“Sengaja kami memilih pasca karena menurut kami, keluarga para korban pasti nanti masih butuh bahan pokok dan lain-lain. Sebab mereka belum bisa bekerja, kondisi ekonomi belum stabil. Keputusan tim memilih Pak Slamet atau Pak Milla tidak salah, tepat sasaran menurut kami. Beliau juga terhubung dengan keluarga lainnya yang masih membutuhkan bantuan. Tibalah pembagian donasi dan terkumpul 125 KK yang kami berikan,” kisahnya mengenang.

Barang donasi itu bermacam-macam. Mulai dari sandang pangan, papan, kebutuhan serta kelengkapan dapur, elpiji dan kompor. Meskipun demikian, tidak semua keluarga menerima donasi karena keterbatasan dana.

“Kami tidak dapat memenuhi semua,” ucap Hamida.


Pupusnya Pengukir Asa 

Hamida ingat betul, ketika melangkahkan kaki pertama kali bertemu Pak Milla. Bahkan komunikasi mereka berlanjut hingga hari-hari berikutnya.

Mied, demikian lekat ia disapa, terus berupaya mengetahui perkembangan para pengungsi melalui Pak Milla yang rupanya adalah Kepala Kelompok Kerja Tani Desa Curah Kobokan (Curahkan).

Kondisi masih genting tak menentu waktu itu, sesekali Mied datang mengunjungi sahabat barunya. Sekali waktu pula, ia mengantarkan donatur dari Aceh untuk melihat langsung lokasi erupsi.

“Satu bulan pasca penyerahan, saya dan teman dari Aceh berkunjung ke Pak Milla,” ucapnya lirih.

Pak Milla menempati rumah tetangga desa yang kosong, pemiliknya sedang bekerja di Negeri Jiran. Di situlah, kisah sedih mengalir beruntun mengundang tetesan air mata. Mereka melihat reruntuhan bangunan di Desa Curah Kobokan. Desa mati tanpa penghuni. Tiada kehidupan. Gelap dan sepi karena saluran listrik terputus total. 

Perjalanan berlanjut ke sebuah tanggul sementara, penahan sungai bekas aliran lahar. Pria renta menitikkan air mata kepedihan terdalam. Mengoyak relung hati siapa saja yang mendengarnya. Dua saudaranya dari sembilan sanak keluarga hilang dan belum ditemukan hingga detik ini. Sedangkan tujuh keluarganya meninggal dunia saat menjalani perawatan akibat amukan lahar panas. 

Kejadian erupsi itu juga memporakporandakan semua kondisi ekonomi. Ia hanyalah seorang petani, yang kehilangan harapan mengolah lahan. Kesehariannya berubah, cuma diam di rumah pengungsian sementara. Mied kemudian menawarkan bantuan bibit sengon dan jabon. Tak disangka, wajah pria itu berbinar ceria. 

Gelem bibit (mau bibit)? Kapan berani menanam?,” tanya Mied kepada Pak Milla untuk memastikan bahwa situasi penanaman benar-benar aman dilakukan.

Pak Milla menjawab cepat, kata dia, dua bulan lagi siap menanam setelah erupsi diperkirakan mereda. 

Mengingat kondisi masih rawan, Mied berpikir jawaban Pak Milla alisa Pak Slamet itu penuh perhitungan. Pasalnya, ia sudah sekian puluh tahun bertani tentunya mempunyai hitungan sendiri.

Di samping itu, kehidupannya sehari-hari berdampingan dengan gunung berapi. Sementara Pak Milla juga merupakan salah satu petani penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Posisinya di bawah naungan langsung TNBTS, sebagai pendamping petani penyangga Semeru.

“Pak Milla merupakan Kepala Pokja Tani Desa Curahkan (Curah Kobokan). Ini membuat kami makin yakin dan tidak memberi bantuan bibit sengon dan jabon sesuai arahannya,” tukas Mied.

Mied juga berhubungan dengan Toni, Kepala Resort Ranu Darungan yang membawahi para petani dari sisi timur TNBTS. Ia berhasil mengumpulkan 7.000 bibit pohon hasil kolaborasi dengan Komunitas Gana Wana dan Sampoerna Service Club (SVC). Total 5.000 bibit sengon dan 2.000 bibit jabon.

Bibit-bibit itu diserahkan kepada 25 petani sesuai luas lahan masing-masing. Sebelum pemberian bibit, para relawan mengobrol dengan petani di bawah koordinasi Pak Milla. Mereka pun bertanya mengenai bibit

“Nanti, hasil panen sengon apakah kami berbagi hasil?,” tanya mereka saat itu. 

“Tidak bagi hasil pak, hasil panen kami serahkan semua ke petani,” jawab Mied.

Mendengar jawaban itu mereka senang, karena selama ini ketika menerima bantuan, konon ada yang meminta bagi hasil. Hingga kemudian, masa tanam tiba berjalan lancar tanpa kendala. Hari berganti hari, bulan berganti bulan.

“Seperti biasa, pasca penanaman saya tetap komunikasi. Monitoring penanaman harus kami lakukan selama satu tahun,” kata Mied.

Kemudian matanya berkaca-kaca, ada satu kisah yang membuat hatinya remuk redam ketika menerima kabar pada bulan keenam. 

“Bibit yang kami tanam sudah tidak berbentuk. Tersapu lahar dingin, ya, erupsi kembali datang. Harapan Pak Milla pudar sudah, kali ini erupsi terparah selama dua kali.

Lahar dingin menghantam rumah warga Curah Kobokan yang sebelumnya masih tersisa. Perut magma keluar membabi buta, tidak ada kata ampun. Semua lahan tersapu, tanpa kecuali 7.000 ribu bibit yang ditanam amblas tak tersisa,” kisah pedih itu memburai dari ingatannya.

Pak Milla dan keluarga sudah pasrah dan tidak berselera membicarakan rencana bibit yang akan ia turunkan lagi. Mereka kini hanya mampu menerima nasib kehidupan baru.

Ojo ngomong bibit dhisek, aku stres (jangan bicara soal bibit dulu, saya stres),”katanya saat itu.

Mied hanya terdiam, dan tidak membicarakan lagi soal bantuan bibit.


Pengabdian Masyarakat

Penghujung tahun 2022. Kehidupan pengungsi semakin tidak pasti terutama dari sektor ekonomi. Demikian fakta yang tidak bisa dihindari.

Mereka tidak memiliki penghasilan pasti. Bercocok tanam pun sudah tidak bisa karena takut kejadian banjir lahar terulang kembali. Pak Milla yang semula bertani jagung dan pohon sengon sudah sangat pasrah pada ‘takdir kedua’. Istrinya membuat keset yang dijual kepada warga sekitar.

Ya, ketika dalam masa pemulihan, erupsi kembali terjadi pada 4 Desember 2022. Semeru memuntahkan isi perutnya. Seluruh kampung tertimbun material debu awan panas guguran mencapai tiga meter.

Rumah-rumah terkubur rata dengan tanah, dua jembatan di Dusun Kajar Kuning yang baru saja diresmikan juga ikut tertimbun material. Proses evakuasi berjalan cepat karena warga sudah mempersiapkan sejak awal terjadinya awan panas pada Minggu dini hari. Jembatan Gladak Perak kembali ambrol.

Warga mengungsi menuju beberapa lokasi. Seperti Balai Desa Supiturang, Balai Desa Oro-oro Ombo, Balai Desa Penanggal, Balai Desa Tumpeng dan SMP Pronojiwo menjadi tujuan. Jumlah pengungsi mencapai 42.000 orang yang tersebar di 400 titik. Dari angka itu, butuh ribuan relawan. 

Hanya saja, beberapa warga nekat kembali menyelamatkan hewan ternak. Sungguh keberanian penduduk di luar nalar.

Beruntungnya, awan panas guguran dengan jarak luncur 13 kilometer itu tidak menimbulkan korban jiwa. Polres Lumajang bersikap tegas, meminta warga agar tidak bertindak nekat dan mengutamakan keselamatan nyawa. Bupati Lumajang menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.

Dalam masa penanganan erupsi Gunung Semeru itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atas perintah Presiden Jokowi mengambil langkah pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Antara lain mempercepat proyek hunian tetap dan Jembatan Besuk Kobokan. Mendesain sebuah jembatan rangka baja bertipe struktur Pratt Trust Bridge sepanjang 140 meter dan lebar 12,5 meter, agar mampu berdiri kokoh sebagai akses penghubung antar desa.(Bersambung)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES