Hari Guru di Tengah AI, Anggota DPD RI Ning Lia: Tetap Pegang Komitmen Rabbani
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tepat 25 November 2024, kita peringati Hari Guru Nasional (HGN) sebagai sebuah proses refleksi perjalanan panjang profesi guru di Indonesia.
Anggota DPD RI Komite III, Dr. Lia Istifhama M.E.I. mengatakan, tahun ini, tepat 30 tahun sejak Hari Guru Nasional pertama kali ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Advertisement
“Di usia tiga dekade ini, peran guru semakin strategis dalam membangun generasi emas Indonesia, seiring dengan tantangan yang terus berkembang di era globalisasi dan transformasi digital,” kata Ning Lia, sapaan Dr. Lia Istifhama.
Menurutnya, guru adalah sosok yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan hingga pembangunan bangsa. Sejak era Ki Hajar Dewantara, guru telah menjadi pelopor dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kini, di era Merdeka Belajar, guru tetap menjadi garda terdepan dalam menciptakan pembelajaran yang relevan, inklusif, dan humanis.
Namun, menjadi guru hebat tidak hanya berarti memiliki keahlian akademik atau pedagogis yang unggul, tetapi juga mencerminkan keteladanan dalam sikap, dedikasi, dan empati.
“Guru adalah role model yang memengaruhi tidak hanya kemampuan kognitif siswa, tetapi juga karakter, sikap sosial, dan kepribadian mereka,” kata Ning Lia.
Apalagi, lanjut Ning Lia, setiap generasi memiliki karakteristik masing-masing. Misalnya saja, generasi baby boomers memiliki karekter duduk tenang dalam pembelajaran formal dan terstruktur. Generasi X belajar dalam kelompok interaktif dan luwes. Generasi Y atau milenial belajar dengan multisensori melibatkan visual, kinestetik, taktil, dan auditori dan nyaman dengan belajar daring, partisipatif, kolaboratif, dan mampu mengambil risiko.
Generasi Z beralih ke gaya belajar yang lebih mandiri, visual dan kinestetik dalam ruang yang interaktif; menginginkan kenyamanan dan keterbukaan untuk umpan balik yang jujur.
Sedangkan saat ini, masyarakat sedang memasuki generasi Alfa yakni memiliki kebutuhan sangat spesifik. Generasi Alfa memiliki koneksi virtual, terbiasa main gim, ingin menciptakan produk bernilai, dan ditemani ‘mainan’ dengan AI.
“Kita harus akui di era artificial intelligence atau produk kecerdasan buatan, kita pun menghadapi tantangan bagaimana AI ini bukan meninabobokan kreativitas anak-anak, melainkan supporting penting untuk meningkatkan kemampuan intelegensinya atau knowledge leveraging,” tegasnya.
“Di sisi lain, AI atau kemudahan teknologi jangan jadi beban psikologis bagi anak-anak yang tidak mampu mengikuti akselerasi digital. Sebagai contoh saat kita bicara bagaimana virtualization atau bertatapan secara langsung dengan publik melalui sosial media maupun hal-hal lain yang sifatnya internetworking, maka disini tantangan berikutnya adalah kemampuan adaptasi sesuai perkembangan mental dan kognitif anak.”
“Itu kenapa, bagaimanapun perkembangan zaman, jangan sampai kehilangan pondasi Rabbani,” terangnya.
Lantas apa itu Rabbani?
Senator milenial itu pun mengutip konsep Rabbani dalam sudut pandang Islam.
“Ada sebuah nasehat dari ilmuwan muslim, Ibnu Abbas. beliau berkata: “Jadilah kamu semua itu golongan Rabbani, penuh kesabaran serta pandai dalam ilmu fiqih atau ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukum-hukum agama.”
“Yang dimaksudkan “Rabbani” ialah orang yang mendidik para manusia dengan mengerjakan ilmu pengetahuan yang kecil-kecil sebelum memberikan ilmu pengetahuan yang besar-besar atau yang sukar. Jadi semua harus bertahap dan sistematis. Pun terkait AI maupun digital, jangan sampai anak-anak gagal mengikuti karena tidak diimbangi dengan bimbingan sesuai kemampuan mereka,” ucapnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |