Gapai Cahaya Ilahi: Perjuangan Disabilitas Netra Mengaji Al-Quran Braille di Tasikmalaya

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Di sebuah ruang kelas sederhana di sudut Kota Tasikmalaya, suasana khusyuk terasa begitu kental.
Jari-jemari Sibqi Aura Saputra (20), seorang penyandang disabilitas netra, perlahan meraba barisan titik-titik timbul pada mushaf Al-Quran Braille. Di sisinya, Safrida, guru pembimbing yang juga tunanetra, dengan sabar membimbingnya melafalkan ayat-ayat suci.
Advertisement
Kegiatan ini merupakan bagian dari program SmartTren yang diselenggarakan oleh SLB Yayasan Patriot Indihiang, Kota Tasikmalaya, sebagai pengisi amaliah Ramadan 1446 H.
Program ini menjadi wadah bagi siswa tunanetra untuk memperdalam pemahaman Al-Quran melalui metode Braille — sebuah sistem penulisan taktil yang memungkinkan penyandang tunanetra membaca melalui sentuhan.
Saat ditemui TIMES Indonesia, Sibqi mengaku bahwa awal perjalanannya mengenal Al-Quran Braille tidaklah mudah. “Awalnya mengenal huruf Al-Quran Braille sangat pusing, baik menulis apalagi membaca. Baru semenit aja kepala sudah pusing,” ungkapnya, Jumat (7/3/2025).
Meski begitu, semangatnya tidak surut. Sibqi terus belajar dengan tekun, menyadari bahwa Al-Quran adalah pedoman hidup yang harus dipahami.
Namun, tantangan lain muncul. Mushaf Al-Quran Braille yang dimilikinya sudah mulai rusak, dengan huruf-huruf yang tak lagi timbul dan sebagian halaman yang robek menjadi tantangan untuk dapat membaca lebih telaten..
“Kalau udah bisa, gampang. Susah itu bagi yang belum bisa. Tapi sekarang agak pusing juga karena jarang mengaji, apalagi Al Quran huruf braillenya sudah tidak begitu timbul, bahkan sebagian sudah ada yang robek,” ungkapnya.
Safrida, yang telah mengabdi di SLB Yayasan Patriot sejak 2009, memahami betul perjuangan para siswa seperti Sibqi. Ia menjelaskan bahwa penguasaan menulis dan membaca Al-Quran Braille sangat penting, meskipun teknologi kini semakin canggih dengan hadirnya aplikasi penghafal Al-Quran berbasis suara.
“Kalau hapalan itu ada lupanya, tapi kalau bisa menulis dan membaca langsung, siswa bisa melanjutkan sendiri sampai mana garapan tadarusnya,” terangnya.
Ia menambahkan, waktu yang dibutuhkan untuk menguasai Braille tergantung pada kondisi siswa. Penyandang tunanetra tanpa disabilitas ganda bisa menguasainya dalam waktu dua hari, sedangkan mereka dengan keterbatasan ganda memerlukan waktu lebih panjang.
Sarida menambhkan huruf Braille yang diciptakan oleh Louis Braille saat ia berusia 15 tahun. Terinspirasi dari kode militer yang digunakan untuk membaca di kegelapan, Louis mengembangkan sistem titik-titik timbul yang kini menjadi alat utama literasi bagi penyandang tunanetra di seluruh dunia.
Mushaf Al-Quran Braille sendiri mengadaptasi sistem ini, memungkinkan penyandang tunanetra membaca Al-Quran hanya dengan mengandalkan kepekaan ujung jari.
Bagi Sibqi, motivasinya sederhana namun mendalam. Ia ingin lebih mendalami makna Al-Quran dan tidak ingin merasa tertinggal dari umat Muslim lainnya hanya karena keterbatasan penglihatan. “Tujuan mengaji, saya harus bisa karena ini menjadi pedoman bagi umat Muslim. Masa iya orang normal saja mengaji, saya tidak?” ucapnya penuh tekad.
Kisah perjuangan Sibqi dan ketulusan Safrida menjadi pengingat bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Semangat mereka mencerminkan makna sebenarnya dari keteguhan iman dan kegigihan dalam beribadah. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sholihin Nur |