Paguyuban Kusumo Jati Malang Lestarikan Tradisi Macapatan di Tengah Gempuran Zaman

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan zaman, tradisi Macapatan tetap bertahan berkat dedikasi sekelompok orang di Kepanjen, Kabupaten Malang. Tradisi yang telah ada sejak puluhan tahun silam ini, meski terus tergerus oleh teknologi, masih dipertahankan oleh Paguyuban Kusumo Jati dari Desa Jenggolo.
Setiap malam Selasa Kliwon, anggota Paguyuban Kusumo Jati menggelar pembacaan tembang Macapat di Pesarean Mbah Reso, sebuah area pemakaman umum di Desa Jenggolo. Dalam suasana yang khidmat ini, mereka secara bergantian membacakan 11 Tembang Mocopat, yang merupakan bagian integral dari budaya Jawa.
Advertisement
Jejak Sejarah dan Dedikasi
Ketua Paguyuban Kusumo Jati, Slamet (49), mengungkapkan perjalanan awalnya dalam mempelajari Macapatan. Mulai belajar sejak tahun 1980-an bersama lima orang warga lainnya, Slamet awalnya tidak mengenal sama sekali tentang Macapat. Rasa penasaran yang mendalam membawanya untuk belajar langsung dari seorang tokoh atau kiai di Blitar, Jawa Timur.
"Pada awalnya, saya tidak tahu apa-apa tentang tembang Macapat. Namun, setelah mendengarnya dan merasa penasaran, saya memutuskan untuk belajar langsung," kata Slamet.
Kegiatan belajar ini dilakukan setiap malam Selasa Kliwon di Blitar, dan Slamet menyebut dirinya sebagai generasi ke-4 dalam pembelajaran Macapatan. Keterampilan yang didapatkan selama waktu tersebut kemudian menjadi dasar berdirinya Paguyuban Kusumo Jati di Jenggolo.
Warisan dan Tantangan
Paguyuban Kusumo Jati, yang pertama kali dipimpin oleh H. Pariman, kini melanjutkan warisan almarhum Bopo Kiai Riyanto, seorang tokoh penting dalam pengembangan Macapatan di Kepanjen. Kegiatan ini melibatkan pegiat dari berbagai dusun, termasuk Dusun Mangir, Desa Mangunrejo.
Saat ini, anggota paguyuban terdiri dari sekitar 20 orang, dengan yang termuda berusia 35 tahun. Kegiatan pembacaan Macapat sering dipusatkan di Pesarean Mbah Rupak, Mbah Krapyak, dan Mbah Reso, yang merupakan situs penting dalam tradisi ini.
Kepedulian dan Harapan
Slamet mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kelangsungan tradisi Macapatan, terutama setelah sempat vakum hampir setahun selama pandemi. Dia menegaskan pentingnya melestarikan tradisi ini, terutama karena generasi tua yang tersisa kini hanya empat orang.
"Macapatan seperti mengaji dengan cara Jawa. Ini adalah cara kami untuk menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dan makna dari setiap tembang yang kami baca. Ini adalah tanggung jawab kami untuk terus melestarikannya dan mengenalkan kepada generasi muda," ungkap Slamet dengan penuh semangat.
Bagi Slamet dan anggota Paguyuban Kusumo Jati lainnya, Macapatan bukan hanya sekedar tradisi, melainkan bagian dari identitas budaya yang harus terus dihidupkan dan dihargai. Mereka percaya bahwa menjaga dan memaknai Macapatan dengan sepenuh hati adalah cara untuk menghormati dan melestarikan warisan budaya Jawa yang berharga. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |