Mahasiswa S2 di Istanbul Kritisi RUU Pilkada: Oligarki Mulai Berani Semena-mena
TIMESINDONESIA, ISTANBUL – Moch Nur Syahrus Syahbana, mahasiswa pascasarjana atau S2 asal Bojonegoro, Jawa Timur, yang saat ini tengah menempuh studi di Istanbul, Turki, menyampaikan pandangan kritisnya terkait polemik RUU Pilkada yang tengah menjadi sorotan publik.
Mahasiswa yang akrab disapa Aan ini menilai para elite politik dan oligarki semakin tidak malu dalam membuat perubahan hukum yang dianggap hanya menguntungkan segelintir pihak, tanpa memedulikan suara rakyat.
Advertisement
Menurut Aan, para penguasa saat ini seolah telah kehilangan rasa sungkan.
“Para elite dan oligarki sudah berani mengubah hukum sesuai kehendak mereka, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat luas,” ujarnya saat ditemui TIMES Indonesia, Jumat (23/8/2024).
Aan mengungkapkan keresahannya atas ketidakadilan yang semakin nyata dalam proses demokrasi di Indonesia. Dia juga menyoroti pentingnya rakyat untuk bersuara.
“Rakyat punya hak untuk menuntut agar nilai-nilai demokrasi yang sehat dan berkeadilan dikembalikan. Jika kesewenang-wenangan ini terus terjadi, rakyat harus berani melawan. Perlawanan ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai, demi menjaga masa depan bangsa,” tegasnya.
Lebih lanjut, Aan menyerukan agar seluruh warga Indonesia, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri, bersatu dalam menghadapi apa yang ia sebut sebagai kejahatan sistematis dari para elite dan oligarki.
Aan juga menyampaikan kekhawatirannya terkait niat terselubung yang ia yakini ada di balik RUU Pilkada. Menurutnya, rancangan undang-undang tersebut mengandung agenda oligarki untuk memonopoli kekuasaan dan menutup pintu bagi calon-calon dari pihak oposisi.
"RUU ini secara terang-terangan tidak menghendaki adanya oposisi, bahkan mempersulit pendaftaran calon pemimpin dari pihak yang tidak sepaham dengan kekuasaan," jelasnya.
Dalam sebuah negara demokrasi, keseimbangan antara kekuasaan dan oposisi sangatlah penting. Aan menilai, RUU tersebut berpotensi melemahkan prinsip dasar demokrasi dengan memperlemah peran oposisi.
Dia mengkritik bahwa aturan ini cenderung memfasilitasi calon pemimpin yang sebenarnya tidak memenuhi syarat, sebagaimana pernah terjadi pada pemilu sebelumnya.
“Sudah ada kasus di mana calon wakil presiden yang usianya belum memenuhi syarat, namun tetap diatur sedemikian rupa agar bisa maju,” lanjutnya.
Selain itu, Aan khawatir, jika RUU ini disahkan, manipulasi semacam itu akan kembali terjadi di masa depan. Menurutnya, hal ini menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia yang seharusnya berjalan adil dan terbuka bagi semua pihak.
Kritik Terhadap Demokrasi yang Terkikis
Aan juga menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit. Ia berharap, rakyat bisa lebih kritis dan aktif dalam menjaga nilai-nilai demokrasi yang sejati.
Baginya, RUU Pilkada adalah contoh nyata dari upaya oligarki untuk memperkuat dominasi mereka dan merusak keseimbangan politik di tanah air.
Sebagai mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri, Aan merasa terpanggil untuk menyuarakan keresahannya atas situasi ini. Ia berharap, semakin banyak warga Indonesia yang menyadari bahaya dari kesewenang-wenangan oligarki dan bersatu untuk melawan ketidakadilan.
"Kita tidak boleh diam. Setiap warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri, harus berperan aktif dalam menjaga demokrasi," tutup mahasiswa yang juga alumni Universitas Al-Azhar, Kairo itu.
RUU Pilkada terus menjadi topik perdebatan sengit di tanah air. Berbagai elemen masyarakat berharap agar pembahasan RUU ini tidak hanya menguntungkan satu pihak, melainkan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan dan demokrasi yang benar. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |