Peristiwa Internasional

PBB Tolak Resolusi AS Soal Perang Rusia-Ukraina

Selasa, 25 Februari 2025 - 14:48 | 49.42k
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa saat melakuka pertemuan untuk sesi khusus di markas besar PBB. (FOTO: Arab News/AFP via Getty Images)
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa saat melakuka pertemuan untuk sesi khusus di markas besar PBB. (FOTO: Arab News/AFP via Getty Images)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Majelis Umum PBB (UNGA) menolak resolusi AS pimpinan Donald Trump yang mendesak diakhirinya perang di Ukraina dengan  tanpa mempertimbangkan agresi Rusia.

Anggota majelis menolak mengadopsi resolusi Washington karena sama sekali tidak menyebutkan agresi Rusia.

Advertisement

Sebaliknya, PBB menyetujui resolusi yang didukung Eropa yang menuntut Rusia segera menarik pasukannya dari wilayah Ukraina. Tuntutan Eropa itu ditentang pemerintahan Donald Trump.

Majelis Umum PBB pada meloloskan resolusi itu setelah disahkan dengan 93 suara.

Ada 18 suara yang menentang termasuk AS dan Rusia. Sedangkan 65 negara, termasuk Tiongkok dan negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk, abstain. Semua negara Arab lainnya juga abstain, kecuali Lebanon, yang memberikan suara mendukung.

Resolusi PBB  tersebut menegaskan kembali komitmen majelis terhadap kedaulatan Ukraina dan prinsip bahwa tidak ada perolehan wilayah yang diakibatkan oleh ancaman atau penggunaan kekuatan yang boleh diakui sebagai sesuatu yang sah.

Resolusi ini menyerukan de-eskalasi, penghentian permusuhan lebih awal, dan penyelesaian damai perang melawan Ukraina, dan menegaskan kembali “kebutuhan mendesak untuk mengakhiri perang tahun ini.”

Selama akhir pekan ini, Amerika Serikat begitu gencar mendesak negara-negara untuk memberikan suara menentang resolusi Ukraina.

Jumat lalu, AS mengusulkan resolusi tandingannya sendiri yang sangat singkat dan di menit-menit terakhir yang mengakui "hilangnya banyak nyawa secara tragis selama konflik Rusia-Ukraina," memohon "penghentian konflik secepatnya" dan selanjutnya mendesak upaya untuk mencapai "perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia." Tetapi resolusi itu sama sekali tidak menyebutkan agresi Rusia.

Resolusi AS baru disahkan oleh Majelis Umum setelah amandemen, yang diusulkan oleh Prancis, yang memperjelas bahwa Rusia telah menginvasi tetangganya yang lebih kecil yang melanggar Piagam PBB.

Pemungutan suara untuk resolusi AS yang telah diamandemen tersebut disahkan dengan 93 suara dukungan delapan suara menentang. Ada 73 suara abstain, termasuk AS, yang abstain dari pemungutan suara akhir untuk resolusinya sendiri.

Utusan AS Dorothy Shea mengatakan beberapa resolusi PBB sebelumnya yang mengutuk Rusia dan menuntut penarikan pasukan Rusia "telah gagal menghentikan perang," yang "kini telah berlangsung terlalu lama dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi rakyat Ukraina dan Rusia serta sekitarnya."

Ia menambahkan, yang diperlukan adalah resolusi yang menandai komitmen dari semua negara anggota PBB untuk mengakhiri perang secara permanen.

Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina, Mariana Betsa, menyerukan semua negara untuk berdiri teguh dan memihak Piagam (PBB), pihak kemanusiaan, dan pihak perdamaian yang adil dan abadi, perdamaian melalui kekuatan.

Mariana Betsa, menambahkan, perang ini tidak hanya menyangkut Ukraina, tetapi ini menyangkut hak dasar setiap negara untuk hidup, memilih jalannya sendiri, dan hidup bebas dari agresi.”

Berbicara atas nama Dewan Kerjasama Teluk setelah pemungutan suara, perwakilan tetap Kuwait untuk PBB, Tarek Al-Banai mengatakan kepada majelis, bahwa anggota GCC abstain untuk memberikan prioritas pada dialog, dan menyatakan komitmen dewan untuk menyelesaikan konflik di Ukraina secepat mungkin.

Al-Banai mengatakan bahwa selama tiga tahun terakhir, negara-negara anggota GCC telah mengambil peran sebagai mediator, yang membantu memfasilitasi pembebasan sandera melalui negosiasi.

Ia juga menyatakan harapan bahwa pembicaraan antara Rusia dan AS di Riyadh minggu lalu akan terbukti menjadi langkah pertama menuju penyelesaian konflik.

Ia berjanji bahwa GCC akan melanjutkan upayanya untuk mencari solusi serius yang akan memungkinkan penghentian pertumpahan darah.

Ketegangan antara Amerika Serikat dan Ukraina meningkat selama beberapa waktu dimana Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy saling tukar "serangan".

Trump baru-baru ini menyebut Zelenskyy sebagai “diktator” dan menuduh Ukraina memulai perang.

Karena itu Trump kemudian berujar memperingatkan bahwa ia “harus bergerak cepat” untuk berunding guna mengakhiri konflik, atau berisiko tidak memiliki negara untuk dipimpin sama sekali.

Komentar presiden AS ke-47 itu muncul setelah Zelensky mengatakan Trump hidup di "ruang disinformasi" buatan Rusia.

Pemerintahan Trump kemudian mengabaikan resolusi Ukraina dan mengajukan usulan mereka sendiri.

AS juga ingin meneruskan pemungutan suaranya ke Dewan Keamanan PBB yang lebih kuat, dimana resolusi bersifat mengikat secara hukum.

Namun Majelis Umum PBB (UNGA) menolak  resolusi AS pimpinan Donald Trump yang mendesak diakhirinya perang di Ukraina yang tanpa  mempertimbangkan agresi Rusia itu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES