Titik Temu Arab Saudi dan Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejak istilah As-Saunesia (Saudi-Indonesia) dilontarkan oleh Dr Agus Maftuh, sejak itu pula hubungan antara kedua negara semakin akrab dan mesra. Sebenarnya pada tahun 2015, KH Mustafa Ya’kub sudah mengawali pendekatan hubungan antara Saudi dengan Indonesia melalui sebuah buku “Titik Temu Wahabi-NU”.
Buku ini menjadi topik menarik di kalangan santri dan mahasiswa NU. Saat itu Unisma sempat mengundang KH Mustafa Ya’kub, KH Syukran Ma’mun, KH Prof Dr Muhammad Tholah Hasan, Dr Ibrahim Al-Nugaimis, atase agama Arab Saudi untuk menjadi pembicara seminar di Unisma Malang dengan tema “KH. Muhammad Hasyim Asaary: Manhajuhu wa Afkaru”.
Advertisement
Dr. Ibrahim Al-Nugaimisi sempat menyebut pendiri NU itu dengan “Al-Imam Syekh Muhammad Hasyim As'ary” karena kedalaman Mbah Hasyim.
Pada seminar itu, KH Mustofa Ya’kub dan KH Syukran Ma’mun menyampaikan gagasan-gagasan yang terkandung dalam buku di atas. Secara tidak langsung, KH Mustafa Ya’kub telah mengawali hubungan Arab Saudi dan Indonesia menjadi lebih baik melalui diplomasi karya tulis. Selalu ketua panitia, saya sempat di-bully karena mengundang atase agama Arab Saudi menjadi pembicara di Unisma.
Dalam buku “Titik Temu Wahabi-NU, KH Mustafa Ya’kub menyebutkan titik temunya dalam urusan usuluddin (dasar agama) dan furu’ (cabang). Ada 31 point yang disebutkan oleh KH Mustafa Ya’kub, di antaranya ; rukun iman, rukun islam, sumber hukum, bermadhab empat (Ya’kub;2015). Jika KH Mustafa Ya’kub ingin mendekatkan secara teologi. Namun, demikian tidak semua tokoh NU menerima, karena memang NU dan Wahabi itu nyatanya berbeda.
Justru Dr Agus Maftuh yang dipercaya menjadi dubes kali ini, telah mendapatkan momentum paling tepat mengawali hubungan baik antara Indonesia dan Arab Saudi yang lama kurang bagus. Tentu saja, diplomasi ala santri Nusantara, yang bisa melulihkan hati Raja Salman Ibn Abdul Aziz.
Titik temu antara Arab Saudi dan Indonesia melalu jalur politik dan diplomasi ala santri telah di bangun oleh Dr. Agus Maftuh. Walhasil, gaya santri dalam berdiplomasi memang ampuh. Keakraban antara Arab Saudi dan Indonesia menjadi nyata ketika Raja Salman Ibn Abdul Aziz Ali Suud berkunjung pada 1-9 maeret 2017). Tidak main-main, Raja Salman datang dengan membawa puluhan pangeran dan rencana ivestasi besar-besaran di Indonesia.
Arab Saudi membawa sendiri semua fasilitasnya selama di Indonesia. Dengan demikian, secara tidak langsung Arab Saudi membelanjakan duitnya di Indonesia. Tidak tidak sebearapa, jika dibandingkan jamaah haji reguler dan plus yang setiap tahun membelanjakan duitnya di Arab Saudi (Makkah dan Madinah).
Jokowi terlihat sumringah ketika menyambut Raja Salman. Sekaligus mejadi bukti nyata jika Jokoti itu sunni, dan tidak anti Arab. Jokowi-pun memberikan sambutan yang sangat istimewa terhadap tamunya yang menganut Aswaja. Lihat saja, ketika menemai makan Raja Salman, Jokowi meminta Raja Salam untuk menyapa rakyat Indonesia. Seumur-umur, Raja Salam kayaknya baru kali ini menyapa rakyat Indonesia melalui cara cerdas Jokowi.
Menurut guyonan kaum santri, sambutan yang ditunjukkan oleh Jokowi itu sudah sesuai dengan syari, artinya sesuai dengan keterangan hadis Rosulullah SAW yang artinya “barangsiapa yang ber-iman kepada Allah dan hari akhir, maka mulyakanlah tamunya. Walaupun tidak dipungkiri, bahwa orang Islam Nusantara sangat memulyakan tamu.
Sebenarnya, kunjugan kenegaraan seperti ini sudah bisa. Menjadi luar biasa, karena Saudi Arabia dan Indonesia sudah terlalu lama tidak pernah bertemu dan bermesraan sebagai Negara muslim. Saat ini, kedua Negara mulai saling merindukan, ingin bercengkrama, mengulang masa indah yang pernah terjalin pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Wajar, jika Raja Salman mencari keturunan Presiden Soekarno.
Perlu diketahui juga bahwa, ulama-ulama yang pernah mengajar di Masjidiharam, seperti; Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Hamid Ali Kudus, Syekh Abdul Fattah Rowah Aceh merupakan ulama besar Arab Saudi yang berdarah Nusantara. Bahkan, ulama Nusantara yang mengajar di Masjidilharam, pernah memiliki sekolah resmi yang bernama “Madrasah Darul Ulum Al-diniyah”.
Para pejuang sejati dan perintis Negara Kesatuan Repubik Indonsia (NKRI) sebagian besar pernah ngaji di Masjidilharam dan Nabawi. Pendiri organisasi terbesar Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah termasuk santri yang pernah ngaji dan mendalami ilmu agama di Masjidilharam.
Sebagian besar ulama yang mengajar di Masjidilharam itu merupakan ulama Aswaja yang menanamkan cinta terhadap islam, juga ramah dan santun, sera mengajarkan cinta tanah air, sealigus menolak “radikalisme”. Saudi dan Indonesia sekarang memiliki kesepahaman di dalam memerangi gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme, sekaligus menanamkan kepada rakyatnya agar cinta terhadap tanah air.
Saat ini, Arab Saudi sedang menghadapi ancaman terorisme, begitu juga Indoensia. Rupanya, terorisme yang sedang terjadi di timur tenggah itu karena pemahaman terhada makna “jihad” secara sempit dan sembarangan. Dasarnya adalah “takfiri”, yaitu mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham dan sependapat denganya. Dengan demikian, munculah gerakan-gerakan radikalisme yang membayakan negara.
Penjelasan jihad (berjuang) dijalan Allah SWT, sebagaimana penjelasan Al-Quran itu melalui pendekatan fisik dan finansial. Sebuah perjuangan tidak lepas dari dua hal tersebut. Orang akan dikatakan sebagai perjuang dijalan Allah SWT jika benar-benar mau mengorbankan jiwa raga dan hartanya untuk Allah SWT. Tidak tanggung-tanggung, Allah SWT akan membalasnya dengan pahala surga tanpa harus dihisab terlebih dahulu. Rupanya, pemahanan jihad itu hanya sebatas rebutan surga melalui jihad membabi buta, sehingga lupa terhada hakekat jihad yang sebenarnya.
Arab Saudi itu menjadi kiblat umat islam dunia, karena adanya Baitullah dan Madinah. Rajanya juga termasuk Khodimul Haramain (pelayan dua tanah suci). Sementara, Indonesia itu mayoritas penduduknya beragama islam yang menganut Ahlussunah Waljamaah. Ketika kelompok garis keras (radikalisme) mampu meciptakan kondisi Indonesia tidak aman, rakyat saling bermusuhan dan membenci serta mencaci maki, maka itu berarti menjadi petaka bagi dunia islam.
Saudi datang ke Indonesia bukan ingin bertemu dengan kelompok keras tetapi kunjungan resmi pemerintah Republik Indonesia, sekigus menjadi kunjungan balasan atas kujungan Jokowi. Raja Salman dijadwalkan bertemu dengan NU, Muhammadiyah serta MUI. Semua tahu, NU dan Muhammadiyah itu ibarat dua sayap garuda. Akan bisa terbang tinggi, jika kedua sayab itu sehat.
Bahaya Radikalisme
Masalah utama yang dihadapi kedua negara adalah radikalisme yang mengatasnamakan agama sekaligus membayakan keutuhan negara. Agama tidak membenarkan radikisme. Kaum radikalisme yang ada di Indonesia cukup signifikan. Mereka merasa bahwa Arab Saudi itu menjadi kiblatnya.
Saat ini mereka harus menyaksikan Jokowi menyambut Raja Salman Ibn Abdul Aziz Al Suud dengan ramah dan santun. Bahkan, Ahok juga ikut serta menyalami sang Raja karena sebagai Gubernur DKI. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan kaum radikalisme yang selama ini menuduh Jokowi dekat dengan syiah, pki, bahkan pernah dikatkan anti-arab. Tetapi, dalam politik semua bisa terjadi.
Raja Salman sangat senang ketika mendapatkan sambutan pemerintah Indonesia. Pertemuan antara Jokowi dan Raja Salman, membuat kelompok yang suka menuduh sesama muslim takhayul, bidah; syirik khurafat, sementara waktu terdiam. Karena Raja Salamn-pun akhirnya jatuh cinta kepada umat islam Indonesia yang mayoritas Aswaja.
Kaum teroris ini begitu ganas, keras, serta begitu mudahnya menyesatkan dan mengkafirkan sesama muslim yang tidak sefaham denganya. Mereka tidak segan-segan ngebom dengan mengatas namakan agama dan jihad di jalan Allah SWT. Padahal, kadang yang di bom itu juga juga sebagian orang islam sendiri. Jakarta, Bali, Surabaya, menjadi tujuan para pengebom. Bali dan Jakarta, menjadi sasaran utama, karena banyak wisatawan asing dan usaha miliki orang asing.
Radikalime, baik di Arab Saudi maupun Indonesia sangat membayakan negara. KH Hasyim Muzadi pernah dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) berkelakar: “Bedanya wali songo dan wali jenggot ialah, kalau wali songo itu mengislamkan orang-orang kafir. Sementara wali jengot itu mengkafirkan orang-orang islam”. Sindiran keras itu untuk kelompok garis keras yang sukanya mengkafirkan dan menyesatkan sesama.
Ketika kelompok garis keras yang sering mengkafirkan sesama muslim, tiba tiba kaget bukan kepalang ketika menyaksikan Raja Salman Ibn Abdil Aziz Al Suud bergandengan mesra dengan pemerintahan Jokowi, meneguhkan tekadnya memerangi terorisme (Mukafatu al-Ihrab).
Bagaimana kalangan radikalisme tidak kaget, Jakarta dan Bali yang pernah dibom justru menjadi tujuan utamanya. Konon, Arab Saudi yang menjadi pusat dan kiblatnya garis keras, justru rajanya malah akan liburan dengan menjadi wisatawan ke Bali.
Bayangkan saja, apa yang ada dalam benar kaum radikalis yang sukanya mengkafirkan, menyesatkan itu ketika Raja yang dikaguminya justru berlibur di Bali yang dianggap tempat maksiat. Barangkali, dengan kunjungan Raja Salman itu akan meredam kaum radikalisme yang suka ngebom-ngebom itu.
Poin penting yang disepakati antara Arab Saudi dan Indonesia adalah “memerangi terorisme” dengan segala bentuknya. Ketika kondisi negara aman, maka semua orang akan bisa beraktifitas dengan nyaman, mulai petani, pedagang, nelayan, pengusaha, ibadah-pun juga tidak was-was karena ketakutan terhadap terorisme. Aman dan nyaman menjadi kebutuhan pokok antara Arab Saudi dan Indonesia. (*)
* Penulis adalah alumnus Ummul Qura, pengurus PCI NU Arab Saudi
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rochmat Shobirin |