Peristiwa Nasional

Membumikan Pagar Mangkuk, Deteksi Dini Radikalisme Ala Filosofi Jawa

Kamis, 12 November 2020 - 20:28 | 99.57k
Ater ater, salah satu bentuk Pagar Mangkuk yang bisa diaplikasikan untuk cegah radikalisme. (FOTO: kompasiana)
Ater ater, salah satu bentuk Pagar Mangkuk yang bisa diaplikasikan untuk cegah radikalisme. (FOTO: kompasiana)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – 15 Oktober 2019 silam, Densus 88 Mabes Polri menangkap dua orang terduga terorisme di Jalan Papa Biru II/24 kota Malang. Rabu (11/11/2020), TIMES Indonesia mencoba kembali ke rumah tersebut, kondisinya masih kosong persis saat terjadi penangkapan satu tahun silam.

Terbaru, saat pandemi Covid-19 masih terjadi, tepatnya 7 Agustus 2020 Densus 88 kembali menangkap terduga teroris dengan inisial AF (41) di Jalan Danau Limboto A4 Sawojajar Kota Malang. Dari data yang ada di arsip TIMES Indonesia, semua narasumber menyatakan terduga teroris itu jarang berinteraksi dengan warga.

Advertisement

“Kalau pak Efendi itu orangnya jarang bertegur sapa dengan warga yang lain. Keluar rumah juga jarang. Jaranglah kalau sosialisasi,” papar warga yang enggan disebutkan namanya seperti yang pernah diberitakan oleh TIMES Indonesia.

Dari dua lokasi penangkapan terduga teroris tersebut, muncul pertanyaan kenapa lokasi penangkapan lebih banyak dilakukan di perkotaan?

Tahlilan.jpgTahlilan, salah satu bentuk Pagar Mangkuk untuk cegah radikalisme di level masyarakat. (FOTO: Dok TIMES Indonesia)

Dosen Sosiologi Universitas Nasional Jakarta, Didit Hariyadi mengungkapkan faktor heterogen masyarakat perkotaan membuat masing masing memunculkan sifat individualisnya.

“Kemudian solidaritas atau kesadaran yang muncul menjadi lemah atau bahasa sosiologisnya solidaritas organik, dimana kesadaran sosial kohesivitas sosial mengenal satu sama lain makin memudar dengan kesibukan kesibukan individual,” ucapnya sembari menambahkan bahwa modernitas dan teknologi juga mendukung lemahnya solidaritas sosial tersebut.

Kondisi ini menurut Didit membuat kontrol sosial yang terjadi bersifat represif atau memaksa individu atau anggota masyarakat mentaati norma yang sudah disepakati agar tercipta tertib sosial.

“Bedanya kalau di pedesaan kontrol sosial lebih restitutif, mengikat anggota anggota untuk sadar secara spontan untuk menjalankan norma yang ada,” ungkap alumni Universitas Istanbul Turki ini kepada TIMES Indonesia, Kamis (12/11/2020).

Kontrol sosial yang lemah di area perkotaan dibenarkan oleh Didit Hariyadi menjadi salah satu faktor kenapa antar masyarakat kurang mengenal satu sama lain terutama yang ada di perkotaan.   

“Konsep sosialisasi paling awal atau primer adalah di lingkungan keluarga selanjutnya lebih luas sekunder dalam lingkup lingkungan sosial. Kalau kontrol mulai lemah jangan heran jika satu sama lain tidak saling mengenal, dan ini menjadi benih kenapa radikalisasi terus berkembang,” papar pria asal Bima NTB ini.

Pagar Mangkuk, Apa Itu?

Adanya banyak kasus penangkapan terduga teroris di area perkotaan membuat harus ada konsep baru untuk mendeteksi secara dini di level masyarakat. Filosofi jawa, Pagar Mangkuk bisa menjadi satu solusi deteksi dini keberadaan radikalisme di kalangan masyarakat.

Apa itu Pagar Mangkuk? Dua kata ini berasal dari peribahasa Jawa yang berbunyi “Luwih becik pager mangkok, tinimbang pager tembok” atau jika diterjemahkan “lebih baik pagar mangkuk daripada pagar tembok”. Pagar mangkuk adalah bentuk kearifan lokal dalam masyarakat Jawa tentang perilaku saling berbagi, peduli dan menjaga di antara orang-orang yang hidup bersama dalam suatu lingkungan.  

Pagar mangkuk dinilai sebagai bentuk berbagi dan saling peduli diantara orang-orang satu lingkungan. Bentuk ini pun dianggap sebagai sistem keamanan yang lebih baik daripada meninggikan tembok pagar. Mangkuk adalah simbol memberi dan umumnya digunakan wadah untuk makanan ke tetangga.

Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Brawijaya Malang, Yusli Effendi MA membenarkan Pagar Mangkuk bisa menjadi mekanisme pencegahan ke arah radikalisasi terorisme.

“Kalau penelitian belum ada yang konkrit membahas ini (Pagar Mangkuk). Tapi beberapa kali di Malang ada yang ditangkap di perumahan. Jadi kalau beberapa kali berarti bisa disimpulkan di perumahan kelas menengah nilai Pagar Mangkuk ini harus diangkat lagi,” ucapnya kepada TIMES Indonesia, Kamis (12/11/2020).

Pria yang juga Sekretaris Jurusan PPHI FISIP UB ini menjelaskan Pagar Mangkuk bisa dalam bentuk memberikan sedekah makanan ke tetangga sekitar. Dan hal ini bisa membangun mekanisme sosial, melindungi diri dan mengenal tetangga lebih baik.

“Sebab di masyarakat yang lebih industrial dan individualis ini jadi masalah karena kita sibuk dan tak mengenal dengan baik. Seperti kejadian di Papa Biru Malang itu ternyata mereka pendatang kemudian ditangkap dan orang sekitarnya tidak tahu. Ini karena kita merasa tidak perlu mengenal lebih dekat dengan tetangga kita,” sambung Yusli Effendi.  

Dengan adanya Pagar Mangkuk itu kata Yusli masyarakat bisa mengenal nilai nilai lama untuk diaplikasikan sebagai bentuk mencegah terorisme. Bentuk lain dari Pagar Mangkuk bisa tahlilan dan pengajian.

“Dari kegiatan itu mereka antar tetangga akan kenal lebih baik kemudian juga bisa muncul pertanyaan kenapa si A sering tidak pernah muncul. Ini akan membuat mekanisme pencegahan tersendiri,” tegasnya.

Jika diaplikasikan maka konsep Pagar Mangkuk ini merupakan alat deteksi dini radikalisasi terorisme di level RT/RW. “Sebab Negara tidak akan secara seluruhnya bisa menyentuh hal kecil seperti itu. Maka peran masyarakat di level paling bawah bisa menjadi pencegah terjadinya terorisme,” imbuh Yusli.  

Menariknya, konsep Pagar Mangkuk ini ternyata sebelumnya sudah pernah digunakan oleh Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian LHK). Seperti dilansir dari Republika, Kementerian Kehutanan juga menerapkan kearifan lokal pagar mangkuk untuk menjaga kawasan hutan. Rakyat di sekitar hutan diberdayakan dengan beragam kegiatan perekonomian pengelolaan hutan sehingga menjadi sejahtera. Dengan demikian, rakyat turut menjadi penjaga dan pengawas hutan.

Lalu bagaimana penerapannya di tingkat masyarakat kota? Jurnalis TIMES Indonesia mengunjungi Masjid Nurul Jannah yang berada di Perumahan Istana Gajayana Kota Malang. Ketua Takmir Masjid, Hari Jatmiko mengungkapkan sistem Pagar Mangkuk mulai diterapkan di perumahan terutama melalui keberadaan masjid.

“Kami rutin menyelenggarakan pengajian tiap Senin atau Kamis di masjid. Semua warga kami undang dengan undangan konvensional dari kertas, tidak hanya melalui WA,” ucapnya.

Dengan undangan yang dibagikan secara konvensional ini juga bisa menjadi kontrol sosial kepada tiap warga. “Memang tidak semua warga bisa datang ke pengajian karena kesibukan masing masing. Tapi dengan undangan konvensional yang kami antar ke rumah masing masing warga setidaknya kami paham bagaimana karakter masing masing warga,” sambung Hari.

Selain pengajian rutin, Hari mengungkapkan tiap warga diberi jadwal piket untuk memberikan makanan di masjid terutama untuk kegiatan Taman Pendidikan Quran (TPQ) anak anak. Dan juga untuk buka puasa bersama pada hari Senin dan Kamis.

“Dengan jadwal ini setidaknya warga bisa juga berinteraksi dengan tetangga minimal dengan mengantarkan makanan ke masjid,” ujar Hari.

Adanya contoh kecil Pagar Mangkuk di masyarakat perumahan menurut Yusli Effendi yang juga dosen HI UB ini, patut dijadikan contoh ke masyarakat yang lain terutama yang ada di perumahan. “Sebab ini (Pagar Mangkuk) adalah alat kontrol sosial khas lokal untuk cegah secara dini terjadinya terorisme,” pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES