Post Humous Award ATI 2020: Mengenang Prof Abdul Malik Fadjar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia memiliki banyak sosok yang peduli akan pendidikan nasional. Negeri ini juga mempunyai banyak tokoh keagamaan yang menawarkan kearifan religius. Namun jika berbicara tentang figur yang mewakili dua kategori tersebut, maka jumlahnya akan mengerucut tajam. Dan almarhum Prof Abdul Malik Fadjar MSc termasuk salah satu aset 'langka' tersebut. Untuk itulah dalam Anugerah TIMES Indonesia (ATI 2020) menganugerahi post humous award.
Pria kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1938 mengukir namanya dalam buku sejarah pendidikan Indonesia lewat perjalanan karir panjang yang dimulai dari level dasar. Sebagai anak seorang guru yang juga aktivis Muhammadiyah, Malik Fadjar adalah sosok yang mewarisi jiwa aktivis dan kepemimpinan ayahnya, Fadjar Martodiharjo yang di kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan mengayomi.
Advertisement
Jati diri Malik Fadjar sebagai seorang pendidik, begitu pula karakter kepemimpinannya yang memiliki pengaruh demikian besar itu tidak terjadi begitu saja. Dari riwayat pendidikannya, terlihat bahwa ia memang memiliki passion yang amat besar untuk menjadi seorang guru. Malik memulai pendidikannya di SRN Pangenan Kertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1947. Ia selanjutnya bersekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) Magelang pada 1953 dan Pendidikan Guru Agama Atas Negeri (PGAAN) Yogyakarta pada 1957. Ia kemudian kuliah di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1963 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam pada 1972.
Selepas menempuh pendidikan, darah pendidik yang menancap begitu kuat dalam dirinya terlihat sejak ia menjadi guru agama di daerah terpencil di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 1959, yaitu Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Taliwang. Selanjutnya, perjalanan hidupnya tak pernah lepas dari dunia pengajaran dan pendidikan.
Selepas dari SRN Taliwang, ia berturut-turut kemudian mengajar di Sekolah Guru Bantu (SGB) Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sumbawa Besar NTB pada rentang 1960-1963, dosen Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malang pada 1972, dosen dan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) hingga 1983, dan kemudian menjadi rektor di dua kampus, yaitu di UMM pada 1983-2000 dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 1994-1995.
Gelar S1 nya diperoleh dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang, 1972 dan meraih gelar Sarjana Pendidikan Kemasyarakatan Islam. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1979, ia melanjutkan studinya di Florida State University, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master of Science di bidang pengembangan pendidikan pada 1981. Kepakarannya di bidang pendidikan kian lengkap setelah Malik dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel pada 1995. Kemudian pada 2001, Malik mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa di bidang kependidikan Islam dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Puluhan tahun menjadi guru di Muhammadiyah, ia tak sekadar menjadi seorang pendidik, tapi juga berkontribusi besar membangun sekolah-sekolah Muhammadiyah dan perpustakaan desa di daerah Yogyakarta dan Magelang. Kesuksesannya dalam mengembangkan pendidikan, terutama pendidikan Islam, membuat namanya kian disegani dalam dunia pendidikan Indonesia. Terlebih, ia mampu membawa UMM yang semula tak begitu dipandang menjadi kampus yang amat disegani dalam konteks nasional bahkan internasional.
Hal itu membuatnya dipercaya sebagai Menteri Agama di era Presiden BJ Habibie pada 1998-1999 dan Menteri Pendidikan Nasional di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri 2001-2004. Bahkan, ia juga sempat menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) ad-interim menggantikan Jusuf Kalla yang ketika itu mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2004.
Di samping itu, Malik juga aktif di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Pada tahun 2015, tokoh Muhammadiyah ini juga tercatat sebagai anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) di periode Presiden RI Jokowi. Atas jasa besar yang luar biasa terhadap Negara dan Bangsa Indonesia, ia mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden BJ Habibie. Tanda kehormatan ini tertuang dalam Keppres Nomor 076/TK/TH 1999 tanggal 13 Agustus 1999.
"Tak perlu diragukan lagi, pada diri tokoh pendidikan yang tak pernah berhenti berkarya ini, mengalir darah guru dan darah Muhammadiyah," demikian ungkap Anwar Hudijono, penulis perjalanan hidup Malik Fadjar.
Kepergian Malik Fadjar pun tak pelak meninggalkan duka yang mendalam bagi umat Islam, terutama warga Muhammadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah saat ini, Haedar Nashir Haedar mengaku, secara pribadi sangat dekat dengan almarhum. "Sebagai orang yang lebih muda dan banyak berinteraksi dengan Prof Malik, saya banyak belajar dari beliau. Beliau tokoh Muhammadiyah, umat Islam, dan bangsa yang bersahaja, gigih, penuh prestasi di bidang pendidikan, berpikiran maju, inklusif, dan diterima banyak pihak. Beliau lebih banyak bekerja bangun pusat keunggulan dan membawa umat untuk maju ketimbang banyak bicara. Pengabdiannya untuk bangsa sangat besar tanpa mengeluh, radius pergaulan dan pemikirannya pun melintasi. Selamat jalan Pak Malik, kami kehilangan sosok teladan," ujarnya.
Kehilangan pun dirasakan tokoh Muhammadiyah lain, Din Syamsuddin. Menurut mantan Ketua PP Muhammadiyah ini, Prof Malik sangat aktif. Pikiran-pikirannya banyak mewarnai langkah-langkah Muhammadiyah, khususnya dalam bidang Pendidikan. Saat hidupnya almarhum dinilai adalah pribadi yang akrab. Walaupun usianya di atas rata-rata anggota pimpinan yang lain, namun beliau menaruh takzim siapapun. Termasuk cukup menyantuni para aktivis muda. "Almarhum adalah salah seorang kader terbaik Muhammadiyah sehingga dapat mewakili Muhammadiyah dalam banyak jabatan politik, kenegaraan, sejak dari menjadi Menteri Agama, Mendiknas, Menko Kesra, dan terakhir sebagai Anggota Wantimpres," jelasnya.
Di lingkungan Kementerian Agama pun, kiprah Prof Malik begitu terasa. Menteri Agama RI saat ini, Fachrul Razi mengungkapkan almarhum telah memiliki kiprah besar dalam pendidikan Islam sejak muda. Lahir dari keluarga Muhammadiyah pada 22 Februari 1939, Malik, begitu ia biasa disapa, merupakan produk pendidikan Kementerian Agama. "Yang menarik, beliau telah membangun karir mulai menjadi guru pada Sekolah Rakyat Negeri (SRN), hingga kemudian menjadi Dirjen pada Ditjen Bimbaga Islam Kemenag di tahun 1995an. Saat menjadi Dirjen, lalu Menteri Agama, beliau banyak melakukan pembenahan dan inovasi, antara lain pengembangan manajemen berbasis sekolah, serta Madrasah Aliyah Model dan Madrasah Aliyah Keterampilan. Beliau ikut berjasa dalam pengembangan pendidikan Islam," ujar Menag.
Tak hanya dari kalangan keagamaan, kehilangan juga dirasakan dari dunia pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim menyatakan jika almarhum adalah sosok yang banyak memberi inspirasi dan pembelajaran bagi semua. "Termasuk tentang pendekatan humanis, demokratis dan memberikan kebebasan hak asasi manusia dalam pendidikan," kata Nadim Selasa (8/9/2020). "Selamat jalan pahlawan dan guru bangsa," tambah Nadiem.
Mantan Mendikbud RI yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun turut mengenang jasa Prof Abdul Malik Fadjar. Menurut Anies, almarhum adalah pejuang pendidikan yang sangat menginspirasi banyak orang di Indonesia. "Beliau seorang pejuang pendidikan yang gigih dan menginspirasi banyak orang dari jutaan orang yang mendapatkan pendidikan lebih baik atas perjuangannya," tulis Anies di Instagram resminya.
Sosok Prof Malik pun menjadi inspirasi bagi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK RI) Muhadjir Effendy. Bagi Muhadjir, Abdul Malik merupakan mentor, senior, sekaligus tokoh panutan saat menjabat di pemerintahan. Apalagi keduanya memiliki jalur karir yang serupa.
Semasa hidupnya, Malik sempat berkiprah sebagai Rektor UMM, Menteri Pendidikan dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, yang kini berubah menjadi Menko PMK. Semua pun pernah dijabat Muhadjir. Tak hanya itu, Muhadjir juga mengaku mengenal baik Prof Malik semenjak di Persyarikatan Muhammadiyah. "Beliau adalah tokoh senior yang telah lama berkiprah di Muhammadiyah. Beliau juga ikut andil dalam pemerintahan, pendahulu saya sebagai Mendiknas dan Menkokesra. Saya banyak belajar dari kiprah kepemimpinan beliau," ujarnya.
Sungguh lengkap kiprah Prof Abdul Malik Fadjar, mulai dari praktisi pendidikan paling dasar, birokrat pendidikan, hingga cendekiawan Muslim yang senantiasa berpikir soal kemajuan bangsanya. Ibarat pena, Prof Abdul Malik Fadjar adalah tinta yang tak pernah habis. Guru adalah jiwanya. Penghayatan terhadap filosofi guru menjadikannya seorang guru yang sebenar-benarnya guru, hingga menjadi inspirasi dari Menteri Para Guru (Mendiknas). (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sholihin Nur |