Peristiwa Nasional

Anggaran Tak Tepat, Proyek Kereta Cepat Melambat

Senin, 15 November 2021 - 20:28 | 63.06k
Ilustrasi Kereta Cepat Jakarta - Bandung. (FOTO: Dok. Liputan6)
Ilustrasi Kereta Cepat Jakarta - Bandung. (FOTO: Dok. Liputan6)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemerintah Pusat telah turun tangan agar target operasional Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung (KCJB) pada Desember 2022 bisa terkejar. Rencana penyertaan modal negara (PNM) untuk menyokong BUMN di konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) juga telah mengemuka di ranah publik.

Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut suntikan modal yang disalurkan melalui PT Kereta Api Indonesia (Persero) itu senilai Rp 4,3 triliun. Dana APBN tersebut bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang totalnya sebesar Rp20,1 triliun.

Advertisement

Penyertaan modal negara ini dilakukan untuk menyelamatkan Proyek Strategis Nasional yang mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaiannya. Pada awalnya, proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung diperhitungkan membutuhkan biaya Rp86,5 triliun. 

Namun, kini biaya proyek menjadi Rp114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun. Dana sebesar itu tentu tak sedikit. Target penyelesaian pun molor dari tahun 2019, mundur ke tahun 2022 mendatang.

Melonjaknya biaya investasi kereta cepat kerja sama Indonesia -China bahkan juga sudah jauh malampaui dana pembangunan untuk proyek yang sama yang ditawarkan Jepang melalui JICA, meski pihak Tokyo menawarkan bunga utang lebih rendah. 

Sejumlah kalagan mengkritik rencana pemerintah menyertakan modal negara di proyek yang disebut mereka proyek gagal ini. Bahkan, jika meminjam istilah ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, dengan nada pesimistis, proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung tidak akan balik modal hingga kiamat. 

Kalkulator Faisal Basri

Pada Selasa, 2 November lalu, Faisal Basri sempat membuat skema perhitungan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung di tengah membengkaknya nilai investasi. Berdasarkan perhitungan simulasi sederhana, ia mengatakan proyek ini baru bisa balik modal hingga 139 tahun.

“Kalau nilai investasi Rp114 triliun, dengan kursi yang diisi 50 persen dengan jumlah trip 30 kali sehari dan harga tiket Rp250 ribu, kereta cepat baru balik modal 139 tahun kemudian,” ujar Faisal dalam webinar bersama Paramadina tersebut.

Skema itu adalah perhitungan terburuk untuk operasional kereta cepat. Dengan nilai investasi yang sama, namun tingkat keterisian kursi lebih tinggi sebesar 60 persen, jumlah trip lebih banyak menjadi 35 perjalanan, dan harga tiket sedikit lebih mahal senilai Rp350 ribu, Faisal mengatakan proyek itu akan bisa balik modal lebih cepat menjadi 83 tahun.

Skema lain, Faisal Basri menghitung jika kereta cepat diisi oleh penumpang sebanyak 80 persen dengan jumlah trip 30 kali sehari dan harga tiket Rp350 ribu. Pada kondisi ini, lama balik modal adalah 62 tahun.

Sedangkan untuk skenario paling optimistis, dengan nilai investasi yang sama namun tingkat keterisian mencapai 100 persen dan jumlah trip 39 kali sehari, modal proyek kereta cepat bisa kembali selama 33 tahun. Syaratnya, harga tiket harus ditetapkan sebesar Rp400 ribu.

Simulasi optimistis lainnya, apabila kereta cepat yang bisa menampung 601 orang ini beroperasi mengangkut penumpang dengan kapasitas 100 persen sepanjang tahun dan jumlah rangkaian yang melayani perjalanan mencapai 36 kali dalam sehari, proyek tersebut dalam balik modal dalam waktu 45,6 tahun. Namun, harga tiket yang dipatok mesti Rp300 ribu.

Pertimbangan Pemerintah

Setiap pembangunan infrastruktur memang memerlukan waktu yang lama untuk bisa balik modal. Hal yang sama juga terjadi dengan proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Proyek tersebut tidak bisa langsung untung. 

Menteri BUMN Erick Thohir juga menjelaskan pertimbagan pemerintah untuk menyertakan modal negara. Salah satunya, adalah karena proyek ini sudah berjalan lebih dari 60 persen. Jika tiba-tiba terhenti, tentu dana yang sudah diinvestasikan sebelumnya akan sia-sia.

"Saya yakini bawa ini sama seperti proyek investasi bahwa memerlukan waktu yang sangat panjang. Apakah MRT atau LRT ataupun sebagian jalan tol yang di mana akan dirasakan itu bukan sekarang nanti 30-40 tahun lagi," kata Erick Thohir dalam acara Kick Andy Double Check, Minggu, 14 Noveber 2021 malam.

Erick Thohir lantas mencontohkan negara maju seperti Korea Selatan. Negara tersebut menggunakan 50 persen dari APBN di periode 1960 untuk pembangunan infrastruktur. Dalam periode tersebut Korea Selatan masih sangat miskin dampak dari perang.

Namun pembangunan infrastruktur tersebut tidak bohong. Hari ini Korea Selatan membuktikan bisa menjadi negara maju sebagai dampak pembagunan 60 tahun lalu.

"Kita juga mesti melihat perspektif yang sama infrastruktur itu tentu konteksnya jangka panjang sekarang bagaimana dengan kereta cepat," kata Erick Thohir.

Selain itu, Erick Thohir juga meyebut, skema pembangunan mega proyek ini berbeda dengan proyek lainnya. Kereta Cepat Jakarta - Badung sebenarnya memang tidak bisa sepenuhnya dijalankan dengan skema business to business (B to B) tanpa perlu jaminan dari pemerintah.

"Kenapa harganya naik kita tahu pembebasan tanah di Indonesia susah. Ini yang akhirnya angkanya jadi naik. Kedua Covid-19 ini membuat harga-harga naik, harga baja naik batubara naik, semua juga cost investasi naik yang ada hubungannya dengan sumber daya alam," tuturya.

Erick melihat proyek ini dari persepsi yang berbeda dan untuk jangka panjang meskipun banyak pihak menilai Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah proyek yang mubadzir, sehingga tidak tepat bila harus mendapatkan pendanaan dari negara.

Baginya, proyek infrastruktur ini adalah sebuah investasi yang hasilnya tidak bisa cepat didapat atau dirasakan. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini bisa membutuhkan waktu 30-40 tahun sampai akhirnya bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Tak Sesua Rencana Awal

Untuk diketahui, proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung awalnya ditetapkan B to B dan tidak menggunakan APBN sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebelum proyek tersebut dilaksanakan.

“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis,” ucap Presiden pada Kamis, 3 September 2015.

Lalu pada 6 Oktober 2015, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Adapun untuk menggarap proyek ini, telah didirikan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada Oktober 2015. KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan 60 perseb dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd. dengan kepemilikan 40 persen.

Pada Pasal 4 ayat (2) Perpres Nomor 107 Tahun 2015 menyatakan pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung tidak menggunakan dana dari APBN serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah. Namun dalam perjalanannya, pemerintah memutuskan untuk menyuntikkan modal negara Rp4,3 triliun agar proyek ini tidak mejadi musium.

Keputusan pemerintah ini dikritik bayak kalangan, termasuk anggita dewan. Misalnya, Anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan yang menyebut penggunaan APBN untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung kurang tepat.

Kritik itu didasarkan pada hasil kalkulasi Ekonom Faisal Basri yang menyatakan, proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung baru bisa balik modal setidaknya dalam 139 tahun lamanya. "PMN itu artinya negara menginvestasikan sejumlah uang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Namun bila balik modalnya membutuhkan waktu yang lama maka disebut tidak layak investasi," ujarnya, Senin (15/11/2021).

Faktor lainnya, Kereta Cepat Jakarta - Bandung dianggap kurang ekonomis karena stasiun terakhir terletak di pinggiran Kota Bandung yakni stasiun Tegalluar. Sehingga penumpang masih harus berganti moda transportasi untuk menuju ke tengah kota. 

Lalu, harga tiket diperkirakan antara Rp250.000 hingga Rp350.000 akan menyulitkan Kereta Cepat Jakarta - Badung bersaing dengan moda transportasi lainya seperti armada travel, bus, dan kendaraan pribadi.

Hergun sapaan akrabnya juga menilai, rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur sedikit banyak akan mengurangi mobilitas warga Bandung ke Jakarta. "Itulah beberapa kondisi yang menyebabkan KCJB (Kereta Ceparlt Jakarta - Bandung) tidak layak didanai oleh APBN," tegas Hergun.

Di sisi lain, Hergun juga mepertanyakan dengan pembengkakan yang dialami proyek ini. Megutip penjelasan Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya, pembengkakan tersebut dikarenakan pengadaan lahan, penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api, biaya investasi untuk instalasi PLN serta pekerjaan variation order dan financing cost.

"Mestinya Pemerintah konsisten dengan kebijakan tersebut. Proyek tersebut sudah melalui studi yang cukup lama dan komprehensif. JICA sudah menghabiskan dana 3,5 juta dollar untuk melakukan studi kelayakan. Belum lagi studi kelayakan yang dilakukan pihak China. Sehingga aneh bila tiba-tiba terjadi pembengkakan biaya yang cukup besar," tuturnya.

Hergun menegaskan, Kereta Cepat Jakarta - Bandung bukan merupakan proyek kelas warung kelontong yang bisa diubah semaunya. Proyek ini merupakan proyek prestisius bahkan yang pertama di Asia Tenggara. Pelaksana proyek harus mengerjakannya secara profesional sesuai rencana awal yang ditetapkan.

Dia bahkan menilai, Pemerintah mendapatkan masukan yang tidak tepat sehingga mengubah kebijakan tersebut. Perpres 107 Tahun 2015 diganti dengan Perpres 93 Tahun 2021. Ada sejumlah perubahan menonjol dalam beleid yang diteken Presiden Joko Widodo pada 6 Oktober 2021 ini.

Pertama, dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, WIKA ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium BUMN. Sedangkan di dalam beleid yang baru, posisi WIKA digantikan oleh PT KAI.

Kedua, dalam Perpres Nomor 107 Tahun 2015, Menko Perekonomian ditugaskan mengoordinasikan percepatan pelaksanaan proyek. Sedangkan di dalam beleid yang baru, dibentuk Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Ketiga, dari sisi pendanaan, Perpres Nomor 107 Tahun 2015 menegaskan tidak memakai dana APBN dan penjaminan dari pemerintah. Sedangkan pada beleid baru, ditegaskan bisa menggunakan dana APBN dan mendapatkan penjaminan dari pemerintah.

Hergun juga mempertanyakan, apakah pemerintah sudah melakuka kajian perihal kelayakan proyek sebelum memberi persetujuan PMN. Pasal 16 Perpres 107/2015 menegaskan bahwa konsorsium BUMN tersebut harus memberi laporan kepada Menko Perekonomian, Menhub, Menkeu, dan Menteri BUMN secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama pembangunan prasarana.

Oleh karena itu, Hergun yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini mengingatkan pemerintah agar percepatan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung jangan sampai hanya akan menambah daftar proyek-proyek yang tidak maksimal pemanfaatannya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES