Peristiwa Nasional

Prof Rokhmin Dahuri Terima Gelar Profesor Emiritus dari Universitas Shinhan Korsel

Kamis, 10 November 2022 - 12:22 | 38.79k
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat mendapat gelar Profesor Kehormatan di Shinhan University, Korea Selatan, Selasa (8/11/2022). (FOTO: dok for TIMES Indonesia)
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat mendapat gelar Profesor Kehormatan di Shinhan University, Korea Selatan, Selasa (8/11/2022). (FOTO: dok for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS baru saja meraih gelar Profesor Kehormatan atau Profesor Emiritus dari Departemen of Internasional Development Cooperation Shinhan University, Korea Selatan (Korsel) pada Selasa (8/11/2022) kemarin.

Pada awalnya, Prof Rokhmin Dahuri mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr Kang Sung-jong, selaku Presiden Universitas Shinhan.

Advertisement

Ini merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk menerima gelar Profesor Kehormatan," ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University di Shinhan University Seoul melalui keterangan tertulisnya kepada TIMES Indonesia, Kamis (10/11/2022).

Prof Rokhmin berjanji akan melakukan yang terbaik untuk berkontribusi dalam upaya kolaboratif, terpadu, dan berkelanjutan dengan semua pemangku kepentingan untuk menjadikan Universitas Shinhan sebagai salah satu universitas kelas dunia terbaik dalam waktu dekat.

"Kontribusi saya akan berupa pengajaran, penelitian, inovasi, dan kerjasama internasional di bidang Pembangunan Berkelanjutan termasuk Ekonomi Hijau, Ekonomi Biru, Teknologi Industri 4.0, serta Sciences of Our Changing Planet Earth," paparnya.

Prof Rokhmin memaparkan, sejak revolusi industri pertama tahun 1753, kapitalisme atau paradigma pembangunan konvensional telah membuat perekonomian dunia tumbuh sangat pesat sebesar 3-4 persen per tahun.

Dari Produk Domestik Bruto (PDB) global sekitar US$ 0,45 triliun menjadi US$ 100 triliun pada 2019 lalu. Sebelumnya, pada tahun 1750-an sebagian besar negara di dunia miskin.

Sejak itu jumlah dan persentase orang miskin dunia telah menurun. Apalagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipicu oleh orientasi mencari keuntungan dari Kapitalisme sangat fenomenal yang membuat hidup manusia lebih sehat, lebih mudah, lebih cepat, juga lebih nyaman.

Namun demikian, kapitalisme hingga saat ini belum mampu mengangkat warga dunia dari kemiskinan.

"Kesenjangan antara penduduk kaya dengan penduduk miskin terindikasi adanya ketidaksetaraan ekonomi, baik di dalam maupun antar negara cenderung semakin melebar," tutur Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2001-2004 itu.

Ia melanjutkan, sebelum pandemi Covid-19 pada Desember 2019, sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses listrik, 900 juta tidak memiliki akses air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses sanitasi yang sehat.

Dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses ke jalan segala cuaca dan terputus dari dunia di musim hujan (IEA, 2016).

Kemudian, imbuhnya, sekitar 1 miliar penduduk dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem dengan pengeluaran kurang dari US$ 1,25 per hari, dan sekitar 3 miliar orang atau 40 persen populasi dunia tetap miskin dengan pengeluaran harian kurang dari US$ 1 miliar. $2 (Bank Dunia, 2020).

Ironisnya dengan PDB dunia sebesar US$ 100 triliun dan jumlah penduduk dunia sekitar 7,4 miliar jiwa, jika merata maka rata-rata PDB per kapita dunia menjadi US$ 12500.

"Ini berarti bahwa semua warga negara di dunia akan sejahtera," tutur Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 ini.

Dengan kata lain, lanjutnya, dalam 250 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata. Misalnya, pada tahun 2010, orang terkaya di dunia dari 388 orang memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh separuh bawah populasi dunia atau sekitar 3,3 miliar orang.

Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi setengah populasi dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang sedemikian tinggi telah terjadi tidak hanya antar negara, tetapi juga di dalam negara.

Pertumbuhan ekonomi selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan besar-besaran yang didorong oleh keserakahan manusia, kegagalan pasar, dan kebijakan yang buruk.

Sehingga, hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran lingkungan yang membahayakan kehidupan di bumi.

"Kami menebang pohon lebih cepat daripada yang bisa mereka lakukan untuk regenerasi, menggembalakan padang rumput yang berlebihan dan mengubahnya menjadi gurun, pemompaan akuifer, dan mengeringkan sungai.

Praktik pertanian kami telah menghasilkan tingkat erosi tanah yang melebihi pembentukan tanah baru, perlahan-lahan menghilangkan kesuburan yang melekat pada tanah.

Kami mengambil ikan dari lautan lebih cepat daripada yang bisa mereka lakukan. Kami membuang berbagai limbah yang lebih besar dari kapasitas asimilasi ekosistem alam untuk menetralisirnya yang menghasilkan polusi," ucap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Selain itu, masih kata dia, kita melepaskan karbon dioksida (CO2) dan Gas Rumah Kaca lainnya ke atmosfer lebih cepat dari yang dapat diserap oleh atmosfer. Sehingga, menyebabkan pemanasan global (Global Climate Change).

Singkatnya, kita meminta lebih banyak dari bumi daripada yang dapat diberikannya secara berkelanjutan, menciptakan ekonomi gelembung.

Jadi, terangnya, sudah saatnya untuk mengakui bahwa mesin kapitalis rusak, yang dalam bentuknya yang sekarang mau tidak mau mengarah pada ketimpangan yang merajalela, kemiskinan masif, dan perusakan lingkungan.

Menurutnya, kita membutuhkan sistem ekonomi baru yang melepaskan altruisme sebagai kekuatan kreatif yang sama kuatnya dengan kepentingan pribadi.

Sistem itu yakni sebuah sistem ekonomi yang mampu menghasilkan pertumbuhan hijau yang inklusif secara berkelanjutan, dan menjadikan dunia nol kemiskinan, nol pengangguran, bahkan nol emisi karbon bersih.

Untuk mencapai tujuan ekonomi seperti itu, kita harus membuat perubahan mendasar dalam kerangka teoritis dan praktis Kapitalisme. Perubahan yang memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri dengan cara multidimensi dan mengatasi masalah yang belum terpecahkan atau bahkan diperburuk oleh paradigma Kapitalisme yang ada," tuturnya.

Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu menambahkan, teori kapitalisme dewasa ini menyatakan bahwa pasar disediakan untuk mereka yang hanya tertarik pada keuntungan - sebuah interpretasi yang memperlakukan orang sebagai makhluk satu dimensi.

Tapi, manusia itu multidimensi. Sementara manusia memiliki dimensi egois, mereka juga memiliki dimensi tanpa pamrih (filantropi, spiritual). Teori kapitalisme dan pasar¬tempat yang tumbuh di sekitarnya tidak memberi ruang bagi dimensi manusia yang tidak mementingkan diri sendiri.

Oleh karena itu, kita harus menafsirkan kembali Kapitalisme dengan memperkenalkan pandangan baru tentang umat manusia - yang lebih dekat dengan pribadi sejati daripada manusia kapitalis dari teori saat ini.

"Hal ini membuat jurang perbedaan dalam konsep kami, dalam praktik kami, dan dalam kerangka kelembagaan ekonomi. Begitu motivasi altruistik yang ada pada semua orang dapat dibawa ke sektor publik dan swasta, akan ada beberapa masalah sosial-ekonomi dan lingkungan yang tidak dapat kita selesaikan," imbuhnya.

Pada tataran praktis, Ekonomi Kapitalis yang ada harus diubah menjadi Ekonomi Hijau dan Biru atau Ekonomi Melingkar. Dimana, material digunakan kembali, diproduksi ulang atau didaur ulang yang secara signifikan dapat mengurangi limbah dan emisi karbon.

Ekonomi sirkular dapat membuat peralihan untuk memperpanjang masa pakai produk, menggunakan kembali, dan mendaur ulang untuk mengubah sampah menjadi produk dan kekayaan yang bermanfaat.

Menurutnya, ini adalah sistem ekonomi yang tidak menghasilkan limbah dan emisi namun menghasilkan lebih banyak barang dan jasa, menciptakan lebih banyak kesempatan kerja, menyumbangkan modal sosial, dan tidak memerlukan biaya yang lebih tinggi.

Ekonomi sirkular menangani isu-isu keberlanjutan yang lebih dari sekadar pelestarian. Ini melibatkan regenerasi dan memastikan bahwa ekosistem alami Bumi dapat mempertahankan jalur evolusinya.

Sehingga semua manusia dapat memperoleh manfaat dari aliran kreativitas, adaptasi, dan kelimpahan alam yang tak ada habisnya.

Maka, lanjutnya, dengan menerapkan generasi teknologi industri 4.0 termasuk Artificial Intelligence, Internet of Things, nanoteknologi, bioteknologi, dan energi terbarukan, ekonomi sirkular akan membangun ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, dan kompetitif di abad 21.

Pada akhirnya, lanjut anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu, semua kebijakan pemerintah harus kondusif bagi penerapan paradigma ekonomi baru tersebut.

"Lalu, indikator kinerja pemimpin mulai dari Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Anggota DPR, sampai Dirut harus mencakup tidak hanya pertumbuhan ekonomi seperti PDB, nilai ekspor, dan infrastruktur tetapi juga kesejahteraan rakyat, keadilan, serta kualitas lingkungan secara keberlanjutan," jelasnya.

Di akhir sambutannya, Prof Rokhmin Dahuri mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Kim BoHyuk dan Prof Kim Sooil yang telah memfasilitasi penganugerahan Emeritus Professorship dari Shinhan University untuknya.

"Penghargaan yang setinggi-tingginya juga saya tujukan kepada istri saya, Dr. Pigoselpi Anas yang telah sangat sabar, tulus, dan penuh kesetiaan dalam mendukung hidup dan karir saya secara terus menerus," pungkas Prof Rokhmin Dahuri. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES