Jejak Kepahlawanan Mohamad Saleh di Probolinggo, Salah Satu Pendiri Boedi Oetomo

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Nama Mohamad Saleh begitu lekat di telinga warga Probolinggo, Jawa Timur. Di kota kecil berpenduduk 239,64 jiwa ini, Mohamad Saleh menjadi nama RSUD, nama jalan, dan nama museum. Apakah dia pahlawan nasional layaknya Dr. Soetomo yang juga menjadi nama jalan?
Mohamad Saleh atau Mochamad Saleh adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908, bersama Dr. Soetomo dan tujuh pelajar sekolah kedokteran pribumi atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) lainnya.
Advertisement
Tujuh teman Mohamad Saleh lainnya saat mendirikan Boedi Oetomo adalah Mohammad Soelaiman, Goenawan Mangoenkoesoemo, Gondo Soewarno, R. Angka Prodjosoedirdjo, Mas Goembrek, Soewarno dan Soeradji Tirtonegoro.
Di organisasi modern pertama di tanah air yang menjadi tonggak sejarah kebangkitan Indonesia tersebut, Mohamad Saleh menjabat sebagai salah satu komisaris bersama M. Soeradji, Soewarno II (M. Soewarno), dan RM Goembrek.
Meski namanya berjejer dengan Dr. Soetomo, Mohamad Saleh belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Meski demikian, jejak kepahlawanan dokter kelahiran Boyolali, Jawa Tengah pada 1888 tersebut, begitu melekat bagi warga Probolinggo.
Ia menghabiskan hidupnya di Probolinggo sebagai seorang dokter. Meski telah wafat 70 tahun silam dalam usia 63 tahun, namanya mengabadi menjadi nama beberapa fasilitas publik: RSUD dr Moh Saleh, Jalan dr. Moh Saleh, dan Museum dr. Moh Saleh.
Jejak Juang di Probolinggo
Moehamamd Saleh memiliki 11 anak bersama istrinya, Emma Naimah binti Daeng Moechsin, wanita suku Makassar-Betawi. Abdulrachman Saleh, pahlawan nasional yang namanya diabadikan sebagai nama bandara di Malang, adalah salah satu anak Mohamad Saleh.
Museum dr Moh Saleh di Kota Probolinggo, tampak dari depan (Foto: Dokumen/TIMES Indonesia)
Soehartini Heroemoerti, putri termuda dari Mohamad Saleh, menulis sebuah buku di Bandung, pada 11 April 2008: Semangat Bangkit. Buku catatan pribadi tersebut, mengenang sosok Mohamad Saleh.
Dikutip dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/moehammad-saleh diceritakan, Soehartini mengenal tiga pemuda yang menjadi mata rantai perjuangan kemerdekaan RI. Ketiganya adalah kusir delman, berasal dari tiga desa di sekitar Gunung Bromo.
Ketiganya bertugas sebagai kurir bagi pemuda pejuang, yang tergabung dalam Tentara Pelajar dengan basis gerilya di daerah Gunung Bromo.
“Karena Bapak berprofesi sebagai dokter, pada saat-saat tertentu secara bergantian mereka datang ke rumah yang sekaligus tempat praktek Bapak, dan berpura-pura mendaftarkan diri sebagai pasien yang akan berobat,” tulisnya.
Rumah yang ditempati Mohamad Saleh, berada di Jalan Laut, yang kini bernama Jalan dr. Moh Saleh nomor 1, Kota Probolinggo. Sejak Maret 2013, rumah tersebut dijadikan museum: Museum dr. Moh Saleh, menyimpan koleksi berbagai peralatan medis yang sering digunakan pada masa penjajahan Belanda.
Ketika ketiga pemuda ini dapat giliran masuk untuk diperiksa, mereka mengucapkan kata sandi tertentu kepada Mohamad Saleh.
“Bapak pun segera tahu apa yang harus dilakukan, yaitu membantu obat-obatan untuk para pejuang melalui kurir kusir delman tersebut,” kenang Soehartini dalam buku tersebut.
Pada awalnya semua berjalan dengan baik dan lancar. Berbagai obat-obatan yang diperlukan bisa diterima oleh para pejuang di lapangan. Hingga suatu saat, atas ulah seorang mata-mata, kegiatan ini diketahui oleh Belanda. Mohamad Saleh yang dikenal setia dan pendiam, dibawa polisi.
“Kami sekeluaga cemas dengan kejadian itu. Sementara di kantor polisi diperlihatkan kepada Bapak berbagai macam obat- obatan yang pernah dititipkan melalui kurir,” tulis Soehartini. Beruntung, sehari kemudian, Mohamad Saleh diperbolehkan pulang.
Menurut Soehartini, di kantor polisi ayahnya berusaha bersikap tenang, meski bukti obat-obatan yang dikirim olehnya kepada para pejuang dibeberkan. Semua obat-obatan tersebut diakui oleh Mohamad Saleh.
“Bapak berusaha tegar dan percaya diri, karena mengetahui bahwa apa yang diperbuatnya adalah benar, sesuai kode etik kedokteran siapa pun yang membutuhkan tindakan medis wajib dibantu,” tulisnya.
Semangat Harga Diri
Pada suatu malam, Soehartini yang kala itu duduk di bangku sekolah dasar (lagere school), tengah belajar sejarah ditemani ayahnya, Mohamad Saleh. Di tempatnya sekolah, ada dua buku sejarah: Sejarah Belanda, dan sejarah Indonesia.
=
Menurut Soehartini, semua buku pelajaran dapatkan dari sekolah. Semua murid—termasuk dirinya, diwajibkan memberi sampul buku-buku itu, dengan judul ditulis di bagian luar sampul. Pada salah satu buku, tertulis “Inlandse Geschiedenis” yang berarti sejarah pribumi.
“Tien, apa kamu tahu artinya Inlandse?,” tanya Mohamad Saleh.
“Pribumi,” jawab Soehartini.
“Inlandse adalah kata sifat dari Inlander, kamu mau disebut Inlander?,” kata Mohamad Saleh menjelaskan, sambil meninggalkan Soehartini belajar sendiri.
“Ganti dulu judul sampul buku itu,” katanya sambil berlalu.
Mendengar respon sang ayah seperti itu, Seohartini mengubah sampul bukunya dengan istilah kecil berupa kata yang memiliki arti penting menyangkut harga diri bangsa.
Malam harinya setelah selesai belajar dan sampul buku telah diganti, Mohamad Saleh datang, memeluk Soehartini dan berkata. “Nah ini baru anak Bapak.”
Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI mencatat, Inlander adalah sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda.
Mohamad Saleh wafat di Probolinggo Jawa Timur, 2 Maret 1952. Ia dimakamkan di Pasarean Astono Mulyo Probolinggo. Pemakamannya dihadiri oleh masyarakat luas serta tokoh-tokoh sepergerakan.
Dikenal sebagai Pahlawan Nasional
Meski telah wafat 70 tahun silam, namanya mengabadi menjadi nama beberapa fasilitas publik: RSUD dr Moh Saleh, Jalan dr. Moh Saleh, dan Museum dr. Moh Saleh. Karena jejak juangnya, tak sedikit warga Probolinggo yang mengenal Mohamad Saleh sebagai Pahlawan Nasional.
Di antaranya Angelina dan Fariana. TIMES Indonesia bertemu dengan dua pelajar SMPK Mater Dei ini saat berkunjung ke Museum dr. Moh Saleh pada 10 November 2017, bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional.
Angelina dan Fariana mengaku cukup sering berkunjung. Keduanya merasa senang melihat koleksi foto-foto masa lalu, yang terpampang di dalam museum. "dr Mohamad Saleh dokter pertama di Probolinggo," kata Angelina.
Bagi mereka, dr Mohamad Saleh merupakan pahlawan nasional, meski sebenarnya belum. Yang telah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional adalah anaknya: Abdulrachman Saleh. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |