Peristiwa Nasional

Merdeka Pasca Reformasi, Imlek Bebas dari Belenggu Orde Baru

Sabtu, 21 Januari 2023 - 16:54 | 56.11k
Foto Gus Dur dalam kegiatan khas orang Tionghoa di Indonesia (FOTO: Istimewa)
Foto Gus Dur dalam kegiatan khas orang Tionghoa di Indonesia (FOTO: Istimewa)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAImlek merupakan salah satu perhelatan penting bagi etnis Tionghoa, perayaan tahun baru ini didasarkan dari kalender lunisolar yang dibentuk dari penggabungan kalender bulan dengan kalender matahari.

Selama tiga dekade saat rezim Orde Baru berkuasa, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek. Kemungkinan disebabkan oleh dugaan keterlibatan Tiongkok dan Peristiwa Oktober 1965.

Advertisement

Namun pada era Reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjamin hak-hak kultural komunitas Tionghoa dan terjaga hingga kini.

Ketika Soeharto berkuasa, masyarakat etnis Tionghoa hanya dapat merayakan Imlek secara terbatas dan tertutup. Selain itu, Imlek bukan termasuk hari libur nasional pada saat itu.

Tahun Baru Imlek 2023 jatuh pada hari Minggu (22/1/2023) sekaligus menjadi hari libur nasional. Selain itu, Pemerintah juga resmi menetapkan hari cuti bersama Tahun Baru Imlek pada tanggal 23 Januari 2023 sebagai 2574 Kongzili. Kebebasan perayaan Imlek tidak lepas dari peran penting Presiden Gus Dur. 

Ketetapan hari libur nasional dan cuti bersama itu diputuskan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1066 Tahun 2022 Nomor 3 Tahun 2022, Nomor 3 Tahun 2022 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2023.

Imlek Pasca Merdeka di Era Soekarno

Masyarakat etnis Tionghoa memiliki kebebasan dalam berbahasa, memeluk agama Konghucu, punya surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama China. Sekolah, toko, restoran, dan bengkel bisa memasang plang bertulisan Mandarin.

Presiden Ir. Soekarno menetapkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama No.2/OEM-1946. Adapun perayaan yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam penetapan tersebut, yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Imlek, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek.

Imlek di era Orde Baru

Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China.

Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Sebelum mengeluarkan Inpres tersebut, Soeharto juga sempat merilis Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 06 Tahun 1967 tentang Masalah Cina. Soeharto menilai istilah Tionghoa atau Tiongkok mengandung nilai asosiasi psikopolitis yang berpotensi negatif untuk masyarakat Indonesia. Sejak saat itu, diputuskan penyebutan "Tionghoa" atau "Tiongkok" diganti menjadi "Cina".

Dalam Inpres 14/1967 tercantum poin yang menyatakan bahwa "perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.". Sejak Inpres 14/1967 tersebut dikeluarkan, masyarakat peranakan Tionghoa merayakan Imlek secara sembunyi dan tidak bebas. Tidak hanya Imlek yang dibatasi, hampir semua hal yang berkaitan dengan budaya Tionghoa tidak memiliki tempat bebas di era Orde Baru. 

Presiden Gus Dur Mencabut Belenggu Inpres 14/1967

Pada 17 Januari 2000 Presiden Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Abdurrahman Wahid resmi mencabut regulasi yang dinilai diskriminatif untuk masyarakat etnis Tionghoa. Dengan Keppres yang ditetapkan oleh Gus Dur, masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka.

Imlek ditetapkan menjadi hari libur nasional

Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak ditentukan pemerintah pusat secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing.

Presiden SBY menghilangkan diskriminasi ras tertentu

Melalui Keppres No.12/2014, Presiden SBY mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 06/1967. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap ras atau golongan tertentu dan melindungi hak asasi manusia. 

Kini, hari raya Imlek dapat dirayakan dengan bebas. Meski penggunaan istilah yang keliru imbas dari masa Orde Baru masih belum dibenarkan, namun masyarakat etnis Tionghoa memiliki jaminan hak yang sama di Indonesia. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES