Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, AII: Evaluasi Penggunaan Gas Air Mata dan Tegakkan Keadilan

TIMESINDONESIA, MALANG – Amnesty Internasional Indonesia (AII) menyerukan agar aparat keamanan segera mengevaluasi penggunaan kekuatan berlebihan, terutama dalam menggunakan gas air mata dalam pelaksanaan tugas mereka.
Selain itu, mereka juga harus mengusut tuntas dan mengadili para pelaku dengan seadil-adilnya serta memastikan hak pemulihan bagi korban dan keluarganya.
Advertisement
Seruan ini dilontarkan Amnesty Internasional Indonesia saat memperingati satu tahun tragedi olahraga terbesar dalam sejarah negara ini di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 1 Oktober 2022.
Pada peristiwa tragedi Kanjuruhan tersebut, setidaknya 135 orang tewas, 96 orang mengalami luka berat, dan 484 orang menderita luka sedang atau ringan akibat tembakan gas air mata dari aparat setelah pertandingan Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan.
"Kami tidak melihat adanya perubahan signifikan sejak tragedi mengerikan itu. Kejadian di Bandung pada 14 Agustus dan Rempang pada 7 September menyiratkan bahwa tidak ada pembelajaran yang berarti. Aparat keamanan masih menggunakan pendekatan represif dalam menghadapi protes warga, keberatan terhadap kebijakan negara, atau pandangan berbeda dengan penguasa," kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam rilis yang diterima redaksi, Sabtu (30/9/2023).
Gas air mata tampaknya menjadi respons utama aparat dalam menghadapi warga dalam berbagai situasi, dan proses hukum yang ada menimbulkan pertanyaan tentang komitmen negara terhadap keadilan.
Dua minggu menjelang peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan, stadion tersebut mulai dibongkar meskipun belum semua pelaku terungkap. Lima dari enam tersangka sudah diproses hukum dan divonis di pengadilan. Satu tersangka dilepaskan karena berkas penyidikannya masih perlu dilengkapi oleh kepolisian dan masa penahanannya telah habis.
Dua anggota kepolisian yang awalnya divonis bebas akhirnya dihukum penjara oleh Mahkamah Agung. MA juga memperberat hukuman Ketua Panitia Pelaksana pertandingan Arema FC Vs Persebaya, Abdul Haris, menjadi 2 tahun penjara terkait kasus tragedi Kanjuruhan.
Sementara itu, mantan Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno, divonis satu tahun penjara dan mantan Danki Brimob Polda Jatim, Hasdarmawan, dinyatakan bersalah dan dihukum penjara selama 1 tahun 6 bulan.
"Proses hukum terkait aparat keamanan yang menggunakan gas air mata belum mencapai para pemimpin mereka di tingkat komando. Ini tidak dapat diterima, dan keluarga korban berhak mendapatkan keadilan dan akuntabilitas yang pantas," kata Usman.
Pada Pengadilan Militer pada 7 Februari, seorang anggota TNI Serda Tofan Baihaqi Widodo dijatuhi hukuman empat bulan penjara karena melakukan penganiayaan saat tragedi Kanjuruhan.
"Namun, semua proses hukum ini belum mencukupi. Tanggung jawab hukum harus diterapkan kepada para pemimpin di tingkat komando yang bertanggung jawab atas penggunaan gas air mata yang berlebihan dan berbahaya. Keadilan bagi para korban harus menjadi prioritas utama, dan tidak dapat diterima jika para pelaku hanya dilindungi oleh sistem yang ada," lanjut Usman.
Lebih disayangkan lagi, sejak Tragedi Kanjuruhan, kasus penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian kepada masyarakat sipil masih terus terjadi, seperti yang terjadi di Bandung dan Pulau Rempang-Galang beberapa waktu lalu.
Tragedi Kanjuruhan adalah contoh tragis yang menunjukkan bahaya penggunaan gas air mata dalam mengendalikan kerumunan yang dapat mengakibatkan cedera serius atau kematian bagi warga sipil. Kejadian di Stadion Kanjuruhan setahun yang lalu menunjukkan bahwa aparat keamanan cenderung mengandalkan gas air mata sebagai solusi utama dalam mengatasi situasi.
"Ketika penembakan gas air mata terjadi berulang kali, seperti dalam kasus di Bandung pada 14 Agustus dan Pulau Rempang-Galang pada 7 September, ini menunjukkan bahwa aparat keamanan belum belajar dari pengalaman Tragedi Kanjuruhan dan masih menggunakan taktik yang sama tanpa mempertimbangkan risiko kesehatan dan keselamatan warga sipil," kata Usman.
Kritik terhadap penggunaan gas air mata bukanlah upaya untuk menghambat aparat keamanan dalam menjalankan tugas mereka untuk menjaga ketertiban. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk memastikan bahwa penggunaan kekuatan dan taktik oleh aparat keamanan selalu berada dalam kerangka hukum dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
"Kritik ini juga mendorong negara untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan perubahan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat sipil dari penggunaan kekuatan yang berlebihan dan berpotensi berbahaya," tambah Usman. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |