
TIMESINDONESIA, JAKARTA – "Aku harus menaikkan kekuatanku dari alam pemurnian jiwa ke alam pemurnian roh untuk tetap bisa memimpin para menteri," ucap Menteri Jombe pada punggawa setianya.
"Carikan aku sumberdaya untuk bisa naikkan kekuatan. Setidaknya aku butuh seribu batu roh murni untuk kultivasi ku dalam sebulan ini. Cari dan sediakan untukku, bagaimana pun caranya! Kalau tidak dapat jangan kembali, atau kamu mati!" perintah Jombe.
Advertisement
Para punggawa setianya pun bergerak. Ancaman membuat mereka ciut. Mereka pun ngawur.
Ada yang merampok. Ada yang membunuh. Banyak pula yang menghancurkan temannya sendiri hanya untuk batu roh murni.
Kisah itu ada di novel-novel fiksi legenda zaman purba. Cerita-cerita tentang individu yang berusaha keras memperoleh kekuatan luar biasa.
Legenda-legenda kuno juga sering menceritakan bagaimana seseorang rela mengorbankan segala-galanya, termasuk moralitas, demi kekuasaan atau kesaktian yang diidam-idamkan. Mereka mungkin harus mencari sumber daya langka, menghadapi musuh yang kuat, atau bahkan mengkhianati orang terdekat mereka demi kekuasaan yang mereka inginkan.
Kekuasaan dan syahwat untuk mendapatkannya telah menjadi bagian dari kondisi manusia sejak awal waktu. Friedrich Nietzsche pernah menulis, "Ketika kamu menatap jurang yang dalam, jurang itu juga menatap balik kepadamu."
Syahwat kekuasaan adalah jurang tersebut. Dan, bagi banyak orang, godaan untuk melompat ke dalamnya terlalu kuat untuk ditahan.
Plato, dalam karyanya "Republik" yang dibuat 360 sebelum masehi, memperdebatkan konsep ideal pemerintahan dan bahaya syahwat yang tak terkendali. Dia berargumen bahwa syahwat kekuasaan tanpa pemahaman dan kendali diri dapat merusak struktur masyarakat. Manusia yang dikuasai oleh syahwat tanpa kendali bisa menjadi tiran dan merugikan banyak orang.
Seiring berjalannya waktu, bentuk dan metode dalam mengejar kekuasaan berubah cara, namun esensinya tetap sama. Machiavelli, dalam "The Prince", menggambarkan dunia politik yang penuh intrik dan manipulasi. Dia mencatat, "Tujuan menghalalkan cara," yang menunjukkan bagaimana syahwat kekuasaan bisa mempengaruhi seseorang untuk membenarkan tindakan apapun demi tujuan akhir.
Dalam konteks kontemporer, kasus korupsi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menggambarkan betapa syahwat untuk kekuasaan dan kekayaan bisa merusak integritas individu.
Kasus di Kementan dan mega korupsi di Kemkominfo adalah bukti bagaimana kekuasaan dan syahwat untuk mempertahankannya dapat menyebabkan kerusakan yang mendalam pada struktur sosial dan politik sebuah negara.
Syahwat memang tidak selalu negatif. Ambisi dapat mendorong inovasi, kemajuan, dan perkembangan. Namun, seperti yang dikatakan oleh Lord Acton, "Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan mutlak merusak secara mutlak."
Masalahnya adalah ketika syahwat menjadi tak terkendali, dan kekuasaan dipergunakan tanpa pertimbangan etika dan moral.
Kita hidup di dunia yang semakin kompleks, di mana kekuasaan dapat mempengaruhi banyak orang dan memiliki konsekuensi yang jauh. Bagaimana kita memahami dan mengendalikan syahwat kita sendiri menjadi krusial.
Seperti yang ditulis Søren Kierkegaard, "Hidup dapat hanya dimengerti mundur, tapi harus dijalani maju." Ini berarti kita harus belajar dari kesalahan masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya di masa depan.
Adalah tanggung jawab kita untuk mengajarkan generasi berikutnya tentang pentingnya kendali diri, integritas, dan etika. "Ketika kita melihat orang baik, kita harus berpikir untuk menjadi seperti dia. Ketika kita melihat orang jahat, kita harus mengintrospeksi diri kita sendiri," ucap Confusius.
Integritas, moralitas, dan pemahaman diri adalah kunci untuk memastikan bahwa syahwat kekuasaan tidak menguasai kita. Setiap individu memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan sejahtera. Dan masyarakat seperti itu hanya dapat terwujud jika kita semua berkomitmen untuk memerangi syahwat yang tak terkendali dan memilih jalan yang benar.
Syahwat Era Modern
Seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, tuntutan untuk memiliki kekuasaan semakin meningkat. Pasar global, media sosial, dan teknologi informasi telah menciptakan landasan bagi individu dan kelompok untuk memperluas cakrawala pengaruh mereka. Namun, dengan peluang ini datang tanggung jawab yang lebih besar.
Dalam era digital saat ini, syahwat untuk kekuasaan tidak hanya terbatas pada politik atau ekonomi. Kekuasaan informasi telah menjadi alat yang sama pentingnya. Dengan akses ke informasi, seseorang dapat mempengaruhi opini publik, mengubah hasil pemilihan, atau bahkan menggulingkan pemerintahan. Bagaimana kita mengelola dan mendistribusikan informasi ini menjadi pertanyaan moral dan etika yang mendesak.
Jean-Jacques Rousseau pernah mengatakan, "Manusia lahir bebas, dan di mana-mana ia dalam belenggu." Dalam konteks saat ini, belenggu tersebut bisa berarti ketidakmampuan untuk melawan syahwat kekuasaan atau tekanan untuk beradaptasi dengan norma-norma sosial yang mendorong kita ke arah tersebut.
Salah satu tantangan terbesar di zaman modern adalah menemukan keseimbangan antara keinginan pribadi dan kebutuhan masyarakat. Bagaimana seseorang dapat memenuhi ambisi pribadinya sambil tetap mempertahankan integritas dan berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat?
Michel Foucault, dalam karyanya tentang kekuasaan dan pengetahuan, menekankan bahwa kekuasaan sering kali bersifat tak kasat mata, namun selalu ada dan berfungsi. Dalam era informasi, kekuasaan ini semakin sulit untuk ditentukan, tetapi dampaknya pada individu dan masyarakat semakin besar.
Agar masyarakat dapat berkembang dan individu dapat mencapai potensi penuh mereka, penting bagi kita untuk mengakui dan menghadapi syahwat kekuasaan ini. Kita harus mempromosikan pendidikan, kesadaran, dan keterbukaan sebagai alat untuk mengatasi godaan syahwat yang tak terkendali.
Akhirnya, seperti yang dikatakan oleh filosof Albert Camus, "Pemberontakan manusia adalah keasliannya."
Untuk melawan syahwat kekuasaan yang mengancam integritas kita, kita harus berani memberontak. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kebenaran, integritas, dan tekad untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Menjadi individu yang berintegritas dalam dunia yang penuh godaan memerlukan keberanian dan ketekunan. Namun, dengan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan etika, kita dapat memastikan bahwa syahwat tidak menguasai kita, tetapi kita yang mengendalikannya demi kebaikan bersama. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |