Kolaborasi Diperlukan untuk Mewujudkan Ekonomi Sirkular dalam Menanggulangi Dampak Fast Fashion

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menyatakan, kolaborasi yang kuat diperlukan untuk mewujudkan ekonomi sirkular sebagai bagian dari upaya menekan dampak negatif fast fashion di masyarakat.
"Fenomena fast fashion, di mana pakaian digunakan dalam waktu singkat, berpotensi menghasilkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan," ujar wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutannya pada diskusi daring bertema "Fast Fashion dan Dampaknya pada Lingkungan" yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/7).
Advertisement
Diskusi tersebut dipandu oleh Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, dan menghadirkan narasumber seperti Asri Hadiyani Giastuti (Perencana pada Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas), Prof. Dr. Endang Warsiki, S.TP., M.Si. (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, IPB), Petty S Fatimah (Chief Brand Officer Akademi Femina, Pengamat gaya hidup), dan Aryenda Atma (Founder & CEO PT. Daur Langkah Bersama/Pable). Indrastuti, wartawan Media Indonesia, juga hadir sebagai penanggap.
Lestari menyatakan bahwa limbah fashion memicu polusi air dan tanah serta menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. "Industri ini harus menyeimbangkan pertumbuhannya dengan adaptasi terhadap ancaman perubahan iklim akibat pencemaran lingkungan," tambah Lestari.
Lestari, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah, berharap agar para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat, memiliki kepedulian yang sama terhadap ancaman krisis lingkungan akibat fast fashion. "Perilaku merusak yang dibiarkan demi mengikuti tren dapat merusak ekosistem lingkungan tempat kita hidup," tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut.
Asri Hadiyani dari Bappenas mengungkapkan bahwa isu lingkungan global seperti perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati semakin berkembang. "Penggunaan material yang tidak berkelanjutan berkontribusi pada 70% emisi gas rumah kaca dan 90% potensi kehilangan keanekaragaman hayati global," kata Asri.
Asri menambahkan bahwa manusia cenderung membuang pakaian rata-rata setelah tujuh kali pakai, dan tiga dari lima pakaian bekas berakhir di tempat pembuangan akhir. Saat ini, Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara penghasil tekstil terbesar di dunia.
Dengan kondisi tersebut, Asri menekankan pentingnya praktik ekonomi sirkular yang mendorong penggunaan material dan sumber bahan baku yang lebih efisien, serta memperpanjang masa pakai barang. Ia juga menyoroti pentingnya penyediaan drop box untuk pengumpulan pakaian bekas sebagai upaya yang memerlukan dukungan dari banyak pihak, termasuk produsen tekstil.
Asri juga menyebutkan bahwa pemerintah sudah memiliki peta jalan untuk pengembangan ekonomi sirkular pada tekstil. Petty S Fatimah menambahkan bahwa berpakaian adalah bagian dari gaya hidup yang sangat mempengaruhi pilihan konsumsi sehari-hari, termasuk soal pakaian. "Masyarakat harus menyadari bahwa pilihan konsumsi pakaian mereka berdampak pada lingkungan," ujar Petty.
Petty menilai bahwa thrifting merupakan bagian dari ekonomi sirkular, tetapi thrifting di Indonesia saat ini sering kali melampaui batas dan mayoritas produknya berupa sampah. "Fenomena fast fashion akan selalu ada, sehingga harus dikelola dengan lebih bertanggung jawab," jelasnya.
Aryenda Atma, Founder & CEO Pable, menyatakan bahwa dengan populasi lebih dari 200 juta, Indonesia memproduksi 2,3 juta ton limbah tekstil, dengan 80% berakhir di tempat pembuangan akhir. "Jika tidak ada rencana aksi sirkular segera, pada 2030 limbah tekstil Indonesia diperkirakan mencapai 3,9 juta ton," kata Aryenda.
Aryenda mendorong penggunaan material ramah lingkungan dalam industri fashion, agar limbah pascakonsumsi mudah diolah kembali. Ia juga menyebutkan bahwa drop box belum menjadi solusi yang efektif karena masyarakat belum teredukasi dengan baik tentang cara penggunaannya.
Prof. Dr. Endang Warsiki dari IPB menjelaskan bahwa serat kain terdiri dari berbagai komposisi seperti katun dan polyester, yang dapat didaur ulang menjadi bahan dasar serat kain baru. "Proses daur ulang ini berpotensi membuka lapangan kerja baru dari limbah tekstil," ujar Endang.
Indrastuti, wartawan Media Indonesia, menyatakan bahwa masyarakat belum memahami cara memperpanjang masa pakai fashion yang mereka beli. "Indonesia butuh kampanye dan edukasi berkelanjutan untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap penerapan ekonomi sirkular di sektor tekstil," tambahnya.
Saur Hutabarat, wartawan senior, menilai bahwa teknologi untuk mewujudkan ekonomi sirkular di sektor tekstil sudah tersedia. Tantangan utama, menurutnya, adalah mengubah gaya hidup dari "more is less" menjadi "less is more" dan melembagakan ekonomi daur ulang hingga tingkat warga. "Mekanisme drop box harus terus digalakkan melalui komunikasi publik yang masif," tegasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |