Tangisan Ibu "Tjamboek Berdoeri" di Penjara Kalisosok

TIMESINDONESIA – ockquote>
"Tidak ada barang sedikitpun dalam pikiran saya juga hendak mengecilkan, menghina atau memandang rendah golongan manapun juga, segala kejadian dan pengalaman itu harus ditempatkan dalam keadaan yang berada di sekitar kami di masa itu. Penuturan tentang hal itu semua bermaksud memberikan lukisan pada saudara-saudara wartawan sekarang, kaum wartawan zaman Indonesia Merdeka!," pesan Kwee Thiam Tjing
Kutipan tulisan Kwee Thiam Tjing dalam kolom yang dimuat di Harian Indonesia Raya yang berjudul "Kenangan Pada Masa Jang Lalu", 22-26 Juli 1971 - Tangisan Ibu "Tjamboek Berdoeri" Di Penjara Kalisosok
Advertisement
MALANGTIMES - Kwee Thiam Tjing atau dirinya menyebut dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri, pernah masuk bui karena kecaman kerasnya terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ia dikenai sembilan delik pers pada 1926 sehingga membuatnya mendekam di penjara Kalisosok, Surabaya.
Kwee menceritakan dengan gamblang dalam berbagai tulisannya seperti yang dimuat dalam artikel "Tanggal Paling Tjilaka" di Soeara Publiek, Surabaya pada 5 Januari 1926 maupun dalam tulisannya di kolom harian Indonesia Raya yang terbit dalam kurun 1971-1972 tentang bagaimana suasana dalam penjara hingga tangisan sang Ibu ketika menjenguknya di penjara.
Dalam tulisannya yang berjudul "Kenangan Pada Masa Jang Lalu" ia mengawali cerita ketika barusaja diberangkatkan dari penjara Kalisosok pada Mei 1926, "Saya diberangkatkan dari penjara Kalisosok, di mana saya sudah mendekam sejak bulan Januari 1926 karena ditatan preventif (menunggu diadili), kemudian dihukum tiga bulan penjara sebab persdelict (delik pers) yang pertama," tulis Kwee.
Dia menceritakan karena sudah dihukum dia menggambarkan dimana dia harus memakai pakaian perantean (asal dari rantai), warna sawo matang yaitu celana kolor pendek bukan panjang, lewat lutut sedikit. "Baju idem dengan saku di bagian atas kiri, sarung lurik dengan ikat kepala corak hitam, dengan baju sebelah kiri tanda IV (Vierde Klas, nomor empat) dari kain putih," ceritanya.
Kelas tersebut berarti perantaian dengan hukuman di bawah satu tahun. Kalau satu sampai tiga tahun, kelas III, kemudian kelas II sampai lima belas tahun dan kelas I (top klas) selebihnya sampai yang dihukum seumur hidup.
"Tentang celana dalam, singlet dan sebagainya, jangan ditanya, karena semua itu tidak ada, tentu saja zonder (tanpa.red) sepatu atau selop, alias ke mana saja kami dibawa pergi selalu dengan kaki telanjang," tuturnya.
Dalam penuturannya Kwee harus berjalan dari pengadilan di Sawahan menuju penjara Kalisosok Surabaya dengan diborgol kedua tangannya "Masih Untung diborgol dengan rantai, tidak dengan stang besi," kisahnya.
Selama perjalanan ia bercerita dengan gamblang suasana ketika bertemu kawan dan kenalannya. "Di tengah jalan banyak kawan dan kenalan juga kasih saya minum, rokok dan sebagainya, tetapi ada juga yang melengos ke lain jurusan, malu rupanya punya kenalan yang di borgol dengan pakaian perantaian di sepanjang jalan," ujarnya.
Surat-surat kabar (yang bukan milik orang Belanda) protes terhadap perlakuan yang diberikan pada satu wartawan dari golongannya. Tetapi katanya 'fihak sana', penjara cuma punya satu mobil buat angkut orang tahanan atau hukuman ke pengadilan.
Dan hari itu justru harus dipakai untuk tahanan orang Eropa ke Raad van Justitie (pengadilan untuk orang eropa). Serta pasal pemborgolan, ini terserah kepada oppas polisi yang mengantar. "Kalau ia takut pesakitan akan lari kalau tidak diborgol, si pesakitan harus diborgol. En hiermee basta! (dengan demikian sudahlah!), ternyata di zaman itu pun bisa dijumpai kambing hitam yang berkeliaran," sambungnya.
Di Penjara Kalisosok ia ditempatkan di blok satu yang terdiri dari sembilan sel kecil, ukuran 2,5 x 4 M. Tiap sel punya tuji besi, di belakang ada ruangan sempit, cukup buat mandi dan cuci pakaian.
Dalam sejumlah artikel mengenai pengalamannya selama menjadi tahanan karena delik pers pada 1926, Kwee mengisahkan kunjungan ibunya. Sang Ibu tidak mampu tidur sejak penangkapannya dan menangis terus menerus. "Saya mengerti bagaimana anak lelaki pertama, mengikuti tradisi yang berlaku dalam masyarakat Tionghoa pada saat itu, diutamakan dan dibanggakan... "
Tak ada alasan yang masuk akal untuk perlakuan istimewa itu, tidak ada banyak perbedaan antara dirinya dengan saudara lainnya dalam pendapat Kwee. Hanya saja dia beruntung lantaran tradisi berlaku pada masyarakat Tionghoa pada saat itu.
Mimpi ibunya sudah hancur. "Mungkin (saya akan) bisa jadi dokter, jadi kepala dari perusahaan dagang yang besar, setidak-tidaknya bekerja sebagai sep toko dari toko Belanda. Maklumlah, batas pengharepan orang tua zaman itu tidak begitu luas seperti adanya apa yang bisa dicapai oleh generasi muda zaman sekarang. Dalam kalangan famili saya, masih hidupnya kaum tua, tradisi 'kuno' menurut istilah sekarang masih dijunjung tinggi," ungkap Kwee pada 19 Februari 1972.
Menurut pengantar dalam buku Menjadi Tjambeok Berdoeri, memoar Kwee Thiam Tjing, James T Siegel menjelaskan bahwa Kwee ketika itu percaya perasaan ibunya karena tahu tabiat ibunya, bukan karena beliau mengatakan sesuatu mengenai hal itu, paling tidak ketika menjenguknya.
"Buat hiburkan hatinya, saya tuturkan padanya seribu satu cerita,... Tetapi semua itu tidak digubris oleh ibu, ia pun tidak tanya apa-apa, tetapi dari matanya tang serius terus mengembeng air, saya tau bagaimana sedih dan perihnya waktu itu," ceritanya.
Tidak diragukan lagi bahwa ibunya sangat sedih menyaksikan anak lelakinya ditahan. Komentar Ben Anderson dalam tulisan tersebut di pengantar buku Indonesia Dalam Api dan Bara (IDAB) karya Kwee patut dikutip.
"Dia ditahan pada Januari 1926, belum berumur 26 tahun. Dia mengawali karir jurnalistiknya padan tahun 1924, dan kita tahu dari sumber-sumber kontemporer bahwa dia tokoh kontroversial dan terkenal dalam komunitas Tionghoa di Malang dan Surabaya, Ibunya mungkin membaca kolomnya, dan mungkin menyadari lebih dini bahwa ada kemungkinan anaknya masuk penjara. Namun saya cukup yakin bahwa di samping ketakutan, ibunya pasti bangga akan dirinya," ungkap Indonesianis Universitas Cornell, Amerika Serikat ini.
Hal itu lanjut Ben, karena banyak surat kabar lokal yang populer saat itu dimiliki jurnalis peranakan, suatu jenis karir baru yang bagi peranakan sebagaihalnya pengacara, dokter, dan sebagainya, misalnya, profesional ketimbang pengusaha.
Sebagaimana catatan Ben Anderson, kemungkinan besar sang ibu membaca kolomnya dan bangga akan dirinya. Tetapi Kwee menegaskan perbedaan, menempatkan dan memposisikan ibunya dalam dunia yang lampu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |
Sumber | : = |