
TIMESINDONESIA, MALANG – 15 Januari 1974 menjadi hari dengan suasana mencekam, demonstrasi mahasiswa yang awalnya fokus dalam menolak masuknya modal asing, berubah menjadi kerusuhan yang menyebabkan kerusakan di berbagai tempat di Jakarta disertai dengan penjarahan dimana-mana.
Dari berbagai sumber yang dihimpun MALANGTIMES peristiwa 15 Januari 1974 atau “Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)”, mencatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Advertisement
Baca Juga: Gerakan Mahasiswa Terdahsyat, Kini yang Hilang
Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pandangan pertama menyebut peristiwa itu sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.
Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar.
Menurut Guru Besar Sejarah Politik Universitas Negeri Malang, Prof Dr Hariyono, peristiwa Malari dapat dilihat dalam berbagai perspektif mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi dan siapa dalang dibalik kerusuhan dalam demonstrasi tersebut. Meskipun hingga saat ini masih 'gelap' untuk menjelaskan teka-teki tersebut.
"Kita jelaskan dalam konteks ekspektasi intelektual, dalam hal ini mahasiswa menginginkan sebuah kemajuan dan kemandirian yang tinggi kepada bangsa ini, namun harapan itu tidak didapati yang akhirnya memunculkan sikap-sikap kritis terhadap pemerintah," ungkap Hariyono.
Pertanyaan berikutnya, jelas Hariyono mengapa korupsi masih merajalela dan kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat pada masa itu.
"Pertumbuhan ekonomi tidak berbasis pada potensi ekonomi yang dimiliki bangsa Indonesia, terutama lebih banyak menggunakan modal asing, masuknya modal asing terutama dari Jepang, itulah yang menimbulkan keprihatinan dari kalangan mahasiswa, yang disampaikan seolah bangsa dijajah kembali," lanjutnya.
Diperparah lagi, lanjut Hariyono, kalangan intelektual banyak yang mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menyikapi masuknya modal asing yang menimbulkan ketidakpuasan, sehingga dilancarkan aksi dalam rangka mengkritisi kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, di dalam faksi Militer ketika itu ada faksi-faksi yang saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh dari Presiden Soeharto.
"Di kekuasaan ada faksi yang saling bersaing antara Ali Moertopo dengan Soemitro, dimana Soemitro relatif lebih moderat, sementara Ali Moertopo berbeda," katanya ketika ditemui MALANGTIMES.
Ali cenderung menggunakan gerakan mahasiswa untuk memperkuat posisi sekaligus meningkatkan konsolidasi di faksi mereka. Akibatnya, ketika peristiwa Malari meletus, ada indikasi yang melakukan demonstrasi tidak hanya mahasiswa tapi kelompok preman dari Senen yang mendapat perintah untuk memanaskan suasana.
"Dan dari kelompok preman itu memprovokasi demonstrasi menjadi anarkis, dan dari proses demo anarkis itu menjadi alasan bagi pemerintah maupun Ali Moertopo cs untuk melakukan tindakan represif," imbuhnya.
Demo yang berujung anarkis tersebut menciptakan stigma bahwa mahasiswa bukan lagi penjaga moral bangsa juga pelaku anarkisme, dalam konteks itu peristiwa Malari.
Fakta di lapangan, lanjutnya ada indikasi bahwa penggagalan protes moral kalangan intelektual dilakukan Ali Moertopo cs, sehingga bukan sebuah kebetulan kelompok preman pasca Malari terkonsolidasi dan memiliki Jaringan dengan Ali Moertopo.
Pasca peristiwa itu, Pangkopkamtib, Jenderal Soemitro tersisih "Jaringan mulai dikurangi oleh Suharto, pasca peristiwa itu justru tidak hanya mencerminkan dominasi modal asing, juga mencerminkan belum terkonsolidasinya kekuatan politik di Indonesia," jelasnya.
Sementara itu, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam seperti pernah dimuat Kompas edisi 16 Januari 2003 dalam tulisan Malari 1974 dan sisi gelap sejarah mengungkapkan ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo.
Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan”, diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang, Tanaka Kakuei. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang atau golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
"Berikutnya Soeharto amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria 'pernah jadi ajudan Presiden'." tulis Asvi.
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New York saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi, bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”.
Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi.
Soemitro mengungkapkan, Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen.
Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).
Sebaliknya, “dokumen Ramadi” mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus, “Ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu Jenderal Soemitro. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Sumber | : = |