Peristiwa

Mahasiswa di Tengah Gelombang Reformasi 1998

Selasa, 19 Januari 2016 - 15:53 | 237.55k
Reformasi 1998. (Foto: lensaindonesia)
Reformasi 1998. (Foto: lensaindonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – BERAWAL dari krisis ekonomi sejak Tahun 1997 yang membuat perekonomian Indonesia terpuruk. Kenaikan harga sembako, banyaknya PHK, tingginya angka pengangguran dan beberapa perusahaan swasta yang mengalami kerugian memancing mahasiswa untuk membuat aksi keprihatinan. 

Mei 1998, merupakan peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Munculnya huru hara ini tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis moneter yang telah berlangsung sejak juli 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar ke beberapa negara Asia lain termasuk di Indonesia dan Korea Selatan.

Advertisement

Krisis moneter berkembang menjadi krisis politik di dalam negeri. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun. Indonesia mulai bergolak. Dimulai di ibukota Jakarta, mahasiswa dan rakyat bersatu menuntut pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto turun.

Tidak hanya Jakarta, Mahasiswa dan segenap sivitas akademika di berbagai universitas di Indonesia tidak mau ketinggalan. Demonstrasi besar-besaran digelar di berbagai penjuru bangsa.

Usai pelantikan Kabinet Pembangunan VII pada awal bulan Maret 1998 ternyata kondisi bangsa dan negara semakin tidak membaik. Perekonomian juga tidak lekas stabil, akibatnya muncul masalah-masalah sosial.

Dengan kondisi seperti itu mengundang keprihatinan rakyat, puncaknya memasuki tahun 1998 mahasiswa di berbagai daerah mulai mengadakan demonstrasi.

Demonstrasi yang dimulai sejak bulan Februari 1998, semakin marak dan berani dengan tuntutan agar harga-harga diturunkan dan agenda reformasi segera dilaksanakan.

Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi dengan tuntutan: 

1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
2. Amandemen UUD 1945.
3. Penghapusan dwifungsi ABRI.
4. Otonomi daerah yang seluas-luasnya.
5. Supremasi hukum.
6. Pemerintahan yang bersih dari KKN.

Puncak dari demonstrasi tersebut adalah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 karena peluru petugas. Kerusuhan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari terbunuhnya agen-agen perubahan tersebut dan pada puncaknya 13, 14 dan 15 Mei 1998 meletuslah kerusuhan massal di Jakarta yang disusul kerusuhan di daerah-daerah lain di Indonesia.

Sementara Presiden Soeharto saat itu sedang berada di Kairo, Mesir, saat kerusuhan mengoyak Jakarta dan sejumlah kota lain pada 13 Mei 1998. Pemimpin Orde Baru itu menghadiri pertemuan KTT G-15.

Para mahasiswa yang tengah marah dengan Orde Baru, kian gusar. Mereka berencana kembali berdemo. Di kampus Trisaksi di Grogol, Jakarta Barat, digelar mimbar bebas. Ribuan orang datang, masuk ke area kampus atau di luarnya.

Dalam laporan akhirnya dikutip dari tulisan Yus Ariyanto, liputan6.com, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang dibentuk pemerintah menemukan, "Titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998." 

TGPF menyatakan, para pelaku kerusuhan bisa dibedakan dalam 2 golongan yakni, pertama, massa pasif yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif.

Kedua, provokator. Golongan ini umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.

"Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya," tulis TGPF dalam laporannya.

TGPF, yang dipimpin Marzuki Darusman, mendengar langsung kesaksian 3 korban perkosaan. Lalu, ada 10 kesaksian dari keluarga korban. Terakhir, ada 1 kesaksian dari pendamping korban.

Perihal korban yang tewas dan luka-luka, TGPF menemukan variasi jumlah. "Data Tim Relawan 1190 orang meninggal akibat ter/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka; data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat..." tulis TGPF. 

Pada 14 Mei sore di Kairo, Presiden Soeharto akhirnya angkat bicara di depan masyarakat Indonesia di sana. Ia mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan seperti itu. 

Soeharto tiba di Indonesia, pada 15 Mei 1998, setelah memperpendek kunjungannya. Jakarta masih bak kota hantu. Sebagian warga masih takut ke luar rumah. 6 hari kemudian, Soeharto mengundurkan diri yang membuat Orde Baru jatuh, dan bergulirlah Reformasi. 

Jatuhnya pemerintah Orde Baru sendiri tidak lepas dari peran mahasiwa dan gerakan mahasiswa yang secara massif melakukan aksi di berbagai Kota di Indonesia, dari organisasi ekstra kampus seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Juga berbagai gerakan mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam berbagai forum gerakan seperti Forkot (Forum Kota), LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta), Front Nasional, dan berbagai organisasi lainnya. 

Hal itu menunjukkan, semangat kesadaran terhadap perubahan bangsa dan negara Indonesia yang ditunjukkan generasi muda khususnya mahasiswa sangat tinggi. Dalam tahap itu tercurah harapan terhadap kondisi bangsa Indonesia dapat lebih baik dibanding dengan rezim sebelumnya, Orde Baru.

Pertanyaannya apakah tumbangnya rezim Soeharto tersebut sebagai sebuah kemenangan mutlak mahasiswa dan gerakan mahasiswa?, menjadi babak baru atau babak akhir dari hegemoni gerakan mahasiswa yang dipandang sebagai sebuah moral force atau gerakan moral. 

Menurut Fajroel Rahman dalam buku Mahasiwa Pelopor Penggerak People Power di tulisannya tentang Perjuangan: Membutuhkan Gerakan Reformasi Total 1998, mengungkapkan bahwa peralihan kekuasaan dari Jenderal (Purn) Soeharto kepada B.J. Habibie sebagai pucuk pimpinan Orde Baru hanyalah prolog bagi gerakan reformasi tahun 1998.

"Walaupun secara strategis dapat dilihat sebagai fondasi dari gerakan reformasi total tahap selanjutnya," tulis Fajroel. 

Karena, lanjut Fajroel peralihan kekuasaan tersebut merupakan awal dari tahap pertama gerakan reformasi total berupa tahap pembongkaran kesadaran kolektif atas struktur dan karakter menindas (kontradiktif) dari sistem ekonomi, politik, dan sosial budaya di bawah rezim Orde Baru. 

Sedangkan, untuk tahap kedua adalah tahap membumikan atau mematerialisasikan gerakan reformasi total 1998 pada struktur dan karakter politik, ekonomi, dan sosial budaya yang memanifestasikan kedaulatan rakyat.

"Tahap pertama ini dalam realitanya hanya melibatkan sekian kalangan elite mahasiswa, pemuda, dan profesional dan tidak berhasil memobilisasi kekuatan rakyat (people power)," lanjut Fajroel dalam tulisannya. 

Akibatnya, jelas Fajroel bahwa tahap kedua gerakan reformasi total 1998 tidak pernah terjadi sama sekali.

Sehingga, menurutnya mempertahankan dan mengembangkan secara paralel dan berkelanjutan kedua tahapan gerakan reformasi total dalam tahap setiap organisasi internal jaringan maupun antar jaringan organisasi kemahasiswaan dan organisasi-organisasi lainnya bebas kooptasi pemerintah.

Itu merupakan perangkat dasar masyarakat sipil, demokratis, dan terbuka sebagai manifestasi kedaulatan rakyat yang dicita-citakan bersama.

Hal yang paling mendasar adalah, apakah sebagai generasi di era modern pasca reformasi 1998, mampu mewujudkan, mengimplementasikan cita-cita reformasi yang telah menjadi harapan sebagai perangkat dasar manifestasi kedaulatan rakyat.

Atau, justru pasca reformasi 1998, mahasiswa terjebak dalam romantisme reformasi yang tidak berbentuk. Hanya terjebak dalam kedigdayaan ketika menumbangkan rezim namun tidak dimaknai mendalam, sehingga lupa terhadap cita-cita reformasi.

Tak pelak, besarnya arus modal yang masuk ke dalam sendi-sebdi kehidupan bangsa Indonesia memengaruhi gaya hidup mahasiswa, banyak yang melupakan bahwa esensi gerakan mahasiswa adalah gerakan moral, namun benarkah telah bergeser menjadi gerakan 'modal'?. Akan dipaparkan dalam  investigasi bersambung MALANGTIMES tentang Mahasiswa, Mode, dan Dunia Malam. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Publisher : Ahmad Sukmana
Sumber : =

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES