Politik Rumah Kebangsaan

Ahmad Basarah: Bung Karno dan PDI Perjuangan Menolak Ateisme dalam Pancasila

Kamis, 07 Februari 2019 - 22:46 | 170.70k
Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah.
Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah.
FOKUS

Rumah Kebangsaan

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menegaskan Bung Karno sebagai pendiri bangsa menolak konsep ateisme dalam sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dirumuskan dalam nilai-nilai Pancasila.

Penolakan terhadap ateisme itu, kata Baskara, sapaan akrabnya, disampaikan Bung Karno dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 ketika menyampaikan gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Advertisement

Ia melanjutkan, saat menyampaikan tentang sila Ketuhanan, Bung Karno menjelaskan makna filosofi yang terkandung di dalamnya antara lain, tiap-tiap bangsa Indonesia bertuhan, bahkan bangsa Indonesia pun menjadi bangsa yang bertuhan.

Dari penjelasan tersebut, Bung Karno secara tegas menjelaskan bahwa sila Ketuhanan dalam Pancasila menolak konsep ateisme sebagaimana dianut dalam ideologi komunisme.

Dalam beberapa waktu belakangan ini, ateisme menjadi tren karena ucapan Rocky Gerung. Pasalnya, akademisi filsafat ini menilai Pancasila memungkinkan warga negaranya untuk memilih agama atau bahkan tidak beragama alias ateis.

Baskara menjelaskan, benar bahwa Pancasila bukanlah ideologi tertutup yang tidak bisa diberi makna apapun oleh setiap warga negaranya. Tetapi, Pancasila juga bukan ideologi terbuka yang boleh ditafsirkan secara bebas dan serampangan oleh setiap orang.

Menurut penjelasan Bung Karno, lanjut dia, Pancasila bukanlah ideologi yang bersifat tertutup ataupun terbuka, namun Pancasila sebagai ideologi yang bersifat dinamis.

Pancasila adalah filsafat berbangsa dan bernegara yang merupakan konsensus para pendiri negara yang digali dari kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Rujukan pemahaman atas sila-sila Pancasila tersebut tidak dapat dipisahkan dari maksud para pembentuk Pancasila saat itu.

Menurutnya, betapa kacaunya filsafat berbangsa dan pedoman bernegara kita jika 260 juta lebih rakyat Indonesia membuat tafsir sendiri-sendiri tentang sila-sila Pancasila dengan sebebas-bebasnya.

Sebagai ideologi dinamis, Pancasila memang dapat berkembang mengikuti dinamika zamannya. Akan tetapi falsafah dasarnya harus tetap berpedoman pada maksud para pembentuk Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, sebagaimana kesepakatan hasil sidang BPUPK yang menerima Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno sebagai dasar falsafah negara Indonesia merdeka.

"Hingga mengalami perkembangan dalam naskah Piagam Jakarta oleh Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945 dan mencapai kesepakatan teks final rumusan sila-sila Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)," kata  Baskara di sela-sela kegiatan Safari Politik Kebangsaan PDI Perjuangan di Cianjur, Jawa Barat, Kamis (7/2/2019).

Bung Karno menjelaskan atas paham Ketuhanan tersebut, bahwa tiap-tiap bangsa Indonesia menjalankan perintah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

Bahkan Bung Karno memberikan contoh dalam menjalankan perintah Tuhannya itu. "Yang beragama Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, yang beragama Kristen menurut petunjuk Isa Almasih. Dan agama-agama yang lain menurut petunjuk rasul-rasul, nabi-nabi, dan tokoh-tokoh agama dan kepercayaannya," ujar Wakil Ketua MPR RI ini.

Pidato Bung Karno tersebut kemudian diterima secara aklamasi oleh para peserta sidang BPUPK.

Dengan demikian, dasar falsafah sila-sila Pancasila yang dijelaskan Bung Karno dalam sidang BPUPK tersebut menjadi prinsip dasar yang terkandung dalam seluruh sila Pancasila termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, kata Ahmad Basarah, tafsir bebas yang mengatakan bahwa Pancasila membolehkan warga negara kita menjadi ateis atau tidak bertuhan adalah pandangan dan sikap Ketuhanan yang berbeda dan bertentangan dengan maksud para Pembentuk Pancasila dan Pembentuk Negara, serta dapat merusak prinsip dasar bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES